IKSAN MUBAEDI; A PROFILE
By alkanjawi
Bersama Iksan mubaedi penulis makan siang nasi
bungkus seporsi berdua untuk pertamakali di kampus. Makan nasi tiwul (nasi yang
ditanak dengan campuran gaplek) dengan wadah tepak atom. Sedangkan sayurnya
berupa gori yang dimasak rendang campur kangkung dibungkus kertas minyak.
Lauknya remukan gorengan tempe mendoan plus pretelan tepungnya yang kering,
serta kerupuk dua biji untuk melengkapi kebersamaan. Kesemua makanan itu dikeluarkannya
dari tas selempang kecil yang selalu semampir di pundaknya. Di sebelah timur
lantai dua gedung paskasarjana, adalah tempat yang cukup aman untuk makan dan
menjauh dari keramaian. Siang itu teman-teman kelas mengabarkan meraka sedang
makan siang bersama di dapur sambal. Tempat makan orang berkelas. Penulis,
junus dan iksan kurang terbiasa dengan kemewahan, lebih baik menghemat dan
makan sederhana. Menurut bahasa iksan, hal demikian itu dia bilang sebagai
“anti mainstream”. Itulah jargon andalannya untuk tidak ikut pada keumuman yang
kerap dilakukan anak-anak.
Katanya semua makanan itu dibawanya dari
kebumen. Bagi penulis, mungkin maksudnya dia membawa beras campur gaplek itu
berupa bahan mentah dari kebumen, lalu sesampainya di tempat kos, jogja dia
baru memasaknya. Kalau yang dibawa dari kebumen berupa nasi mateng, mungkin
saja bisa basi. Dan, sayurnya pun terasa masih hangat ketika dibuka pada waktu
siang itu. Kenapa tidak makan nasi putih?, begitu penulis tanya. Anti
maeinsteram; jawabnya. Itulah iksan mubaedi. Seorang pemuda asal darah kebumen
jawa tengah. Alumni PAI uin jogja. Punya minat tinggi terhadap kesenian dan
anak jalanan. Banyak melakukan kiprah seni di kampus, juga rumah singgah anak
jalanan di tempat daerahnya. Dia banyak belajar tentang kehidupan anak jalanan.
Hal ini cukup banyak mempengaruhi cara pandang dan pola pikirnya terhadap realitas
yang mengelilingi dirinya.
Karakter dasarnya memang terkesan slengekan. Suka
membalikkan fakta. Bilamana mayoritas orang berfikir dan menghendaki dari A
sampai Z, dia membelot dengan mengemukakan pendapat yang terbalik, yakni dari Z
ke A. Menurutnya, pengungkapan mengenai hal tersebut memang disengaja. Dia
mempunyai tujuan, biar setiap orang menemukan jalan dan cara berpikir sendiri.
Biar juga dalam satu komunitas itu tidak selalu seragam. Harus ada yang berbeda
supaya sebuah komunitas bisa dinamis dan terus terpancing untuk berpikir
menemukan sesuatu yang baru. Pemikiran semacam ini mengingatkan penulis, bahwa
keseragaman membawa kepada jumud dan tertutupnya pintu berpikir/berijtihad.
Dengan adanya perbedaan pendapat pada sebuah kelompok, diharapkan akan terjadi
konflik yang kemudian dicarikan solusi bersama. Ini adalah langkah cerdas untuk
membentuk sebuah komunitas supaya tetap mampu menghasilkan suatu kreativitas.
Dari sisi retoris, sudah barang maklum bila
orang kebumen merupakan penutur bahasa jawa logat ngapak. Iksan mubaedi salah
satunya, gaya berbicara santai dan logis. Penulis mengamati susunan kalimat
yang dia keluarkan dari bahasa verbalnya mayoritas induktif. Ucapannya yang
paling inti ada di pamungkas kalimat. Dengan sikap santai dan pengaturan tempo
yang lumayan baik, susunan itu nampak sempurna secara common sense. Tapi, bila
didengarkan dengan seksama, pembicaraan yang diungkapkan iksan mubaedi
seringkali tidak sempurna dan melenceng dari sasaran inti yang tepat.
Kebanyakan orang tidak mengangkap itu sebab logat khas ngapak lebih terdengar
lucu dan menutupi esensi pembicaraan yang dibawakan. Penulis menjadi tahu
karena bebrapa kali berbicara empat mata dengan iksan mubaedi, dan pada
kesempatan itu, dia nampak berusaha semaksimal mungkin memakai logak umum dan
mengurangi logat ngapaknya.
Secara style iksan mubaedi merupakan gambaran
dari model yang tidak jelas (tidak tetap dan berubah-ubah). Bisa jadi karena
ketidak konsistenan profile style itu, kemungkinan adalah implkasi dari konsep
pemikiran yang acak-acakan tanpa sistematisasi yang jelas pula. Misalnya, style
dasar pakaian yang dikenakannya adalah baju kaos berkerah, jaket, celana jins
dan sepatu. Di kesempatan lain, ia menampakkan diri dengan baju batik, celana
kain dan tanpa sepatu. Fenomena semacam ini adalah wujud dari ketidakserasian
komponen berpikir dengan realitas yang hendaknya dipatuhi dalam peraturan
kampus. Sytle penampilan ini membawa penulis pada penilaian sementara, kalau
iksan mubaedi ini pada saat tertentu yang dianggap penting, dia menggunakan
pakaian resmi, sedangkan jika situasi tidak teramat penting dalam keterlibatan
dirinya, dia cenderung apatis. Namun, yang penulis lihat pada intinya style
yang dibawakan itu semuanya simpel. Cara dan penampilan yang simpel itu
kemungkinan besar berhubungan dengan kebiasaannya yang tidak suka pada sesuatu
yang berlebihan dan mengarah pada pemborosan.
Dalam penglihatan sosial, iksan mubaedi secara
personal mendapat penilaian baik dari mayoritas teman kelas. Penulis
membenarkan itu. Iksan mubaedi kerapkali dalam pembicaraanya seperti selalu
diselipi dengan joke yang bertujuan merekatkan emosional dalam komunikasi umum.
Maka tak jarang yang terjadi adalah mengundang tawa audien saat dia berbicara.
Ini merupakan bukti kalau audien memperhatikan. Sisi sosial menjadi basis
kekuatan dalam pikirannya. Maka seringkali sikap berbagi dan menasehati cukup kerap
dia lakukan kepada teman-temannya. Keadaan demikian mengundang simpati teman
untuk membangun sebuah kesepakatan yang sehat tentang bagaimana bisa berhasil
atau sukses bersama dalam proses studi. Terahir yang penulis dengar langsung
darinya adalah, dia kembali memberikan saran pada teman-teman tentang
pentingnya kumpul bersama di selain waktu dan tempat dalam kelas. Pentingnya
pertemuan luar kelas ini ditujukan sebagiannya untuk memunculkan simpati kepada
teman-teman sekelas yang jarang masuk atau bahkan tidak pernah masuk.
Iksan mubaedi hendak memberi pemahaman tentang
kesadaran sosial dalam sebuah kelompok sosial. Kita sebagai orang terdidik mestinya
peka terhadap masalah yang sedang dialami oleh teman sendiri. Jika masalah
dapat ditemukan akarnya, bersama-sama kemudian masalah tersebut dicarikan
solusinya secara efektif. Bagi iksan, kegelisahan terkait eksistensi teman yang
terlupakan inilah yang menjadi sorotan utama masalah sosial yang terjadi di
kelas. Penulis sangat setuju pengaplikasikan ide cemerlang ini dengan segera.
Kemudian, dari divisi diskusi yang dikordinatori oleh saudara asep mukmar,
menegaskan pertemuan di luar waktu dan tempat kelas akan dilaksanakan sabtu
sore. Untuk tempat, usulan dari saodara ranu nada, bisa dinama saja asalkan
tempat yang tidak sepi dari makanan dan minuman. Mungkin maksudnya di tempat
nongkrong seperti kafe atau warung makan.
gambaran di atas adalah sekelumit tentang iksan
mubaedi yang penulis kenal. Di usianya yang hampir 25 ini, dia masih kurang
mampu membahasakan ide secara baik. Problem tentang pemahaman partikular nan
kurang menyeluruh terhadap satu konteks tertentu yang berkaitan dengan sebuah
kajian ilmu. Namun demikian, kepekaan sosial yang dia kemukakan menjadi titik
penting untuk memulai membuka halaman kesadaran bahwa satu kelas ini mengandung
makna satu proses dan satu tujuan. Bila kita semua diterima secara bersama pada
jurusan psipi, sudah barang tentu konsekwensi atau tanggung jawab tentang
kebersamaan proses dan hasil dapat pula dijaga untuk meraih keberhasilan
bersama. Jangan sampai keadaan sosial di kelas tidak kondusif sehingga timbul
masalah yang sifatnya kecil menjadi besar dan menjadi penghalang untuk selalu
mempertahankan kebersamaan sampai tiba waktu kelulusan.
(jogja, 10 November 2015)