RUMAH MENGHADAP KE TIMUR
By alkanjawi
Ketika
penyair saut situmorang membaca puisi di malam itu, panggung demokrasi kampus
timur sedikit hidup dimeriahkan tawa dan tepukan tangan. Anak-anak muda
berkumpul di remang-remang. Di tempat itu, laki perempuan mana bisa aku bedakan.
Aku tak betah duduk berlama-lama, dan… Aku pergi berjalan dari depan panggung
ke arah buritan. Lalu duduk bersender aku di pagar besi, lama kelamaan tubuhku melurut
dari sanderan dan terlentang di atas lempengan batu di bawahku.
Wajahku
menghadap langit, mataku berbicara pada awan yang bermendungkan gelisah.
Setetes air jatuh diterpa angin mengenai kaki telanjangku. Aku mulai menyadari,
ada ribuan bahkan miliaran titik air mengikutinya di atas sana. Titik-titik air
sudah melesat jatuh. Lantas saja aku berlari kecil untuk menyelamatkan diri. Biasanya,
air pertamakali hujan dapat membuat kulit menjadi gatal. Itu betul.
Berlarian pula
di belakangku orang-orang penonton acara, anak-anak muda yang katanya pembela
sastra, atau maksudnya, pembela sastrawan penyair, Saut situmorang, yang sedang
menjadi tersangka kasus pelecahan. Anak-anak pegiat sastra lintas kampus berkumpul
malam itu, astaga..., aku saksikan mereka betapa pandai nian memaki, mengumpat
dan menghujat pengkasus saut.
Juga, masih
kedengaran dari balik panggung, mereka mengolok-olok secara nyata dan juga
dramatik orang yang bernama denny JA. Miris mendengar orasi dan kata-kata yang
muncrat dari mulut anak-anak yang katanya pecinta sastra. Ah! Panggung
demokrasi kampus kita memang remang-remang betul.
Tak lama di
tengah aku sedang berlarian, hujan timpah begitu derasnya. Berpaling aku dari
jalan dan beralih menginap ke tempat berlindung. Aku tak sanggup bila hujan
menghajarku hingga basah kuyup. Sebuah tampat lapang, itu bernama gelanggang,
aku mengiup, menanti bahana hujan meredup. Di situ aku menyaksikan sesuatu yang
menjadi puisi ini:
RUMAHKU
MENGHADAP KE ARAH TIMUR
Malam di
derap hujan aku kedinginan
Di bawah
terpal besi di tepi halaman gedung gelanggang
merunduk disekap
angin dan percikan air
merinding
digrebek kilatan petir yang menyambar
malam ini
siapa yang membelaku
dari dingin
dan sepi yang menderu
dimana
selimut keberanian
dimana angan
untuk menerjang
di seberang
jalan aku mendekap lutut
suar lampu
jalan menyala teramat terang
seolah aku
bisa menghitung titik-titik hujan
saat dedaun
tertangkap oleh terangnya cahaya
sebatang
pohon berdiri menghalang
cahaya tembus
menggenang di antara
bayangan dan
asap
aku melihat
sebuah perhitungan
di antara
angin dan hujan bergemuruh petir
seekor
kupu-kupu putih memekarkan sayap
terbang
terhuyung melawan derai air
ia
berputar-putar mencari tempat hinggap
bukan tak
mungkin ia tersambar petir
bukan tak
mungkin ia lelah dan tergerus musibah
tapi
kupu-kupu itu tetap memekarkan sayap
terbang
berputar mencari tempat hinggap
kupu-kupu di
antara cahaya terang
malam
menyaksikan hujan yang kejam
bagi sebagian
orang
yang takut
menghadapi kenyataan
kupu-kupu itu
entah dari mana ia datang
bukankah ini
sudah larut malam
kupu-kupu kenapa
masih berterbangan
bukankah ini
sedang berlangsung hujan
kupu-kupu
melintas di pikiranku yang basah
melempem
setelah hujan kritik dan angin cemooh
kupu-kupu
mencari tempat hinggap
di sebatang
pohon kecil yang tumbuh di kepalaku
ia menyelinap
di balik daun-daun
aku menghela
napas panjang
bersukur atas
hilangnya kesakitan
kupu-kupu
yang tadi terbang di antara ke dua mataku
seorang
lelaki yang memeluk lututnya
sendiri remuk
dihantam sepi
meringkuk
disergap angin kecewa
tertunduk
dibekuk rasa tak berdaya
aku melihat
di arah mana kupu-kupu
rumah
gelanggang menghadap
ke arah timur
jauh terbentang
hujan dan
petir bersahutan
rumahku
menghadap ke arah timur
aku dan malam
panjang menebar impian
di antara
hujan yang disinari lampu jalanan
aku
mengiupkan diri di bawah terpal besi.
Yk, 13
January 2016.
#studen