Dialog Kontemporer “Soal-soalan” Kedutan
kita ingin sampaikan sesuatu di sini
mengenai sifat dasar manusia yang khas, tentang: sifat manusia yang mampu merasakan
sebuah getaran yang terhubung ke dalam jiwanya, bukan hanya getaran yang berasal
dari dekat melainkan setiap getaran apapun walaupun jauh asalnya.
Jadi getaran itu katakanlah suatu
macam yang dapat kita ketahui melalui kedutan yang sering kali terjadi di wajah
kita, terutama di bagian sekitar mata. Primbon Jawa bilang kalau kita kedutan
di bibir itu petanda kita akan segera menyantap makanan lezat, bila kedut itu
di hidung itu artinya kita akan mencium aroma yang wangi segar, dus kedutan itu
terjadi di mata itu pertanda bahwa kita sedang dibicarakan oleh orang lain.
Dalam bahasa lain, ada orang lain yang sedang memikirkan dan membicarakan kita.
Maksud bicara dalam arti luas yaitu batin dan pikiran orang lain itu sedang ada
kita di dalamnya.
Nah, ini sebuah perumpamaan dari
orang yang telah mengalami masa “fokus menganggur.” Dia tidak sedang ingin bekerja
untuk orang lain, namun ia tengah sebebas-bebasnya mengeksplor kemampuan diri
yang dirasanya hal itu dapat berguna bagi pembentukan karakter unik dirinya.
Hasil eksplor ini tidak sepenuhnya terjadi (atau diadaptasi) dari alam nyata,
komunikasi yang diciptakan secara semidramatik ini adalah kelanjutan/ perluasan
dari kehidupan yang terbatas di alam dunia. Sambil begadang pastilah dapat kita
ambil manfaat atas “kerja” seorang yang sedang menjalani fokus ngangggur ini.
Hasil kreativitas kerja pengangguran
ini dibentuk dalam format dialog intim yang berjalan searah. Dua objek berbeda
satu adalah representasi dari seorang yang sedang fokus menganggur itu, dan
lawan dialognya adalah bayangannya sendiri, yakni sebuah bayangan yang
diimanensi dari kedut matannya sendiri. Objek bayangan itu di sini kita
gambarkan dengan dimensi “o”, dan “me” sebagai dimensi yang satunya. Simak
dialognya:
***
me : apa yang sedang kamu pikirkan?
Maksudnya, apa kamu sedang memikirkan aku?
O :
apa pertanyaan itu penting?
me : eem, nggak sih… tapi sekedar ingin
tahu saja, sebab mripat-ku ini sering kali kedutan. Ku kira kamu sedang
membatin dan memikirkan aku gitu.
O :
oh, ketahuan ya…
me : ketauan apanya?
O :
itu tuh, sebenarnya bukan aku yang mikirkan kamu. Tapi justru kamu sendiri
malah yang kepikiran terus sama aku? Iya kan… ah, sudahlah jangan boong
kalau kamu memang sering memikirkanku.
me : oohh gitu ya.. iya iya… aku sedang
kepikiran sama kamu terus!
O :
terus?
me : ya gak apa-apa sih,, aku sebenarnya
pengen kamu tahu kalau aku ahir-ahir ini sering terbayang-bayang sama kamu.
O :
itu mah urusanmu!
me : apa benar kamu tak memikirkan aku?
Tapi kenapa entah, aku ingin melihat kejujuran menghiasi wajahmu yang kupandang
itu.
O :
hmm,
me : apa?
O :
kalau memang aku memikirkanmu, kamu mau apa?
me : aku pengin tahu aja, berarti benar
kedutan itu menandakan aku sedang dikangenin sama seorang, dan ternyata orang
yang kangen sama aku itu kamu toh.
O :
gitu aja?
me : hmm, kamu suka sama aku?
O :
kalau emang suka, perempuan harus pandai merahasiakan itu kepada orang yang dia
sukai. Itu karena sifat malu yang harus terjaga. Bukan malu pada seorang yang
disukainya, tapi malu pada keadaan dimana bila itu diucapkan oleh seorang
perempuan, maka tentu akan ada yang banyak berubah dari kebudayaan kita. Kuharap kamu mengerti maksudku.
me : aku… aku suka sama kamu!
O :
aku tahu.
#Inaf, cukup!
Dinding tak lagi kosong kan. Nah, itu sederhana gambaran yang amat tak berguna sekali bukan. Kita sebenarnya punya problem budaya yang kurang terbuka. Tapi jangan lantas dianggap negatif. Cara mengungkapkan dengan cara yang lembut dan diam-diam itu justru bagian dari kebudayaan cinta yang eksotis. Akan terasa beda kalau cinta diungkapkan dengan gamblang oleh muda-mudi yang masih belum cukup matang dengan cara koar-koar dan latah. Akibatnya akan kurang baik bagi kesehatan kita sebagai masyarakat yang terdidik.
Dinding tak lagi kosong kan. Nah, itu sederhana gambaran yang amat tak berguna sekali bukan. Kita sebenarnya punya problem budaya yang kurang terbuka. Tapi jangan lantas dianggap negatif. Cara mengungkapkan dengan cara yang lembut dan diam-diam itu justru bagian dari kebudayaan cinta yang eksotis. Akan terasa beda kalau cinta diungkapkan dengan gamblang oleh muda-mudi yang masih belum cukup matang dengan cara koar-koar dan latah. Akibatnya akan kurang baik bagi kesehatan kita sebagai masyarakat yang terdidik.
Tak ada sulitnya berkata untuk
mengungkapkan cinta bagi kita, apalagi kita yang terbiasa cangkeman dan
banyak mulut. Namun bukankah selalu ada sesuatu yang lebih terhormat dan bisa
kita pakai sebagai penjaga kehormatan kita dalam proses menemukan kebenaran yang lebih indah diperjuangkan.
Memang harus begitu. Setidaknya menemukan hal terlebih dahulu untuk mengurangi awetnya sakit hati dan benci
karena tersakiti, di kemudian hari.
Yk,
21 February 2016.
Sumber
gambar disini
#stueden
Tidak ada komentar:
Posting Komentar