BY fuad hasan succen
Entah apa yang
membayangi saya sehingga pada hari-hari menjelang penghabisan usia seperempat
abad ini belum juga berani pacaran. Sungguh, memang ada semacam ganjalan kecil
di hati ketika ditanya senior yang sudah berkeluarga, “Sudah punya pacar
belum?” Sepotong jawaban saya: “Belum mas, atau mbak”. Juga manakala pulang ke
kampung halaman, berkunjung ke rumah kiai yang dahulu mengajarkan kitab
gundulan setiap sore. Dengan amat penasaran beliau-beliau berkata: “Sudah punya calon belum, Ad?” Mendapati kalimat-kalimat interogatif itu, saya tertunduk
dalam labirin kompleksitas, berputar-putar tanpa tepi, tanpa jalan keluar.
Sedangakan
melihat kawan pantar seperjuangan di tanah rantau ini, mereka telah “menggandeng”
pacar dan membawanya kesana kemari. Kawan-kawan yang di desa, seangkatan, semua
sudah menikah menjadi bapak atau ibu bagi anak-anak mereka. Saya dapat dibilang
“ketinggalan” dalam urusan perumahtanggaan. Banyak diantara kawan (dan juga
masyarakat umum) lingkungan kita yang bisa menarik hubungan antara pacaran
dengan pernikahan. Ibu-ibu di kampung begitu bangga anak gadisnya ditamui pria,
diajak jalan-jalan dan kembali membawakan oleh-oleh kesukaannya. Mungkin mereka
juga bisa menerima dengan segala resiko, mengartikan konsep pacaran sebagaimana
halnya pernikahan. Saya tidak paham dimana letak hubungan itu, juga tidak pula menemukan
relasi positif yang pas antara keduanya.
Secara
biologis saya sudah masuk pada masa-masa perfect sebagai lelaki.
Psikologis dan kemampuan-kemampuan improvisasi juga sangat mendukung. Mungkin dalam
hal kemapanan memang masih jauh dari harapan orang modern-materialis. Hidup di
kota orang pun lebih sering “nggelandang”, mencari sesuap nasi juga harus pontang-panting
banting tulang dan memeras keringat dulu. Tapi memang ini proses yang harus
saya lewati menuju cita-cita serta upaya nyata mengabulkan harapan orang tua.
Pahit itu bagian yang harus ada untuk mengimbangi manisnya hidup, meski dalam
bayangan. Jadi, mungkin tak teramat menjadi masalah, bila kepusingan saya
mencari jawaban-jawaban yang mampu melegakan dada senior dan guru-guru hasilnya
tetap buntu.
Terus terang,
saya tidak punya konsultan tentang hubungan asmara, bagaimana prospek
perpacaran, dan masa depan percintaan saya. Tidak pula banyak membicarakannya kepada
orang lain, ataupun keluarga sendiri. Jika mungkin Anda mempertanyakan normalitas
kelelakian saya. Tanpa melalui test atau diagnosa, saya bisa menjawab dengan
tegas bahwa saya adalah lelaki normal, saya bisa dan memang naluri saya
menyukai lawan jenis. Beberapa kali dalam masa dan lokasi tertentu saya sempat
naksir, suka, dan timbul pula “rasa aneh” kepada perempuan. Saya pikir ini
wajar, sewajar saya bisa merapikan semua rasa itu dan membingkainya sebagai
hiasan taman hati.
Sampai kapan?
“Dua tahun
lagi!” Jawab saya. Tak ada dasar empirik sama sekali, jawaban ini saya bikin
sekenanya saja. Jika kata-kata tersebut serius, saya kawatir beberapa
pertanyaan lain dari Anda akan menggeruduk saya. Dengan siapa? Orang mana? Kenal
dimana? Anaknya siapa? Neneknya baik atau nggak? Dan seterusnya tanpa halaman ahir.
Memang bagi orang kepo, pernyataan ini menarik untuk dibahas panjang kali kuadrat.
Tapi saya tidak tertarik membincangkannya.
Saya kira lebih
penting kita kemukakan bukan memfeeling diri sendiri. kita melihat fenomena
kaum muda era kekinian yang sedang menjalani pacaran. Mereka yang masih
mahasiswa, kursus, atau sekolah memilih pacaran itu sebenarnya apa motifnya,
bagaimana modus-modusnya, jenis pacaran seperti apa yang mereka praktikkan dan
seterusnya. Ini berkaitan dengan keputusan yang saya ambil terkait kenapa tidak
kunjung pula saya berpacaran seperti mereka. Sebabnya, meskipun kelihatannya
pacaran seperti urusan sepele dan sekunder, tapi kenyataanya pacaran itu
sendiri adalah bagian dari kehidupan kita, bagian dari sistem sosial masyarakat
semesta raya, yang menyambung termasuk dalam kosmos yang efeknya pada kehidupan
dunia dan segala macam isinya.
Entah dari
arah angin mana tradisi pacaran yang berlangsung di masyarakat kita sekarang. Dari
Barat atau bahkan dari Utara. Anak-anak muda kini bisa saja bebas mengartikan
cinta sebagai perilaku kebersamaan, kesalingmemegangan, saling “ketemuan” yang
muaranya mengarah pada pemuasan fisik dan kebutuhan dasar psikologis. Dalam hal
ini laki-laki dan perempuan tidak ada bedanya. Kedua pihak yang berbeda kodrat
insaniahnya, bila sudah bertemu dalam ruang ekslusif, rerimbunan atau
reremangan betapa mudah nilai-nilai moral pusaka wasiat orang tua luntur
seketika. Tanpa memikirkan norma yang hidup itu, anak-anak muda kita sebenarnya
telah menanggalkan kemanusiaan dan kembali menjadi hewaniah seutuhnya.
Jika begitu
negatif betul pacaran yang demikian adanya, tentu akibatnya bukan saja merusak
diri sendiri, tetapi juga menyakiti masyarakat dan anti terhadap pendidikan
karakter serta revolusi mental yang amat menggaung di tengah-tengah kita. Sebab
itu, intinya kita perlu saling mengingatkan, saling mengawasi lingkungan untuk
mencegah sebelum terjadi bencana moral dan krisis akhlak. Anak-anak muda memang
perlu diawasi, kalau perlu kita tempelkan CCTV pada lensa mata mereka demi
keamanan kemanusiaan nasional. Hehe.
Di sisi lain,
agak lumayan, bagi beberapa anak muda yang memaknai arti cinta dengan
aktualisasi pacaran, mereka kendalikan bersama untuk kepentingan jangka panjang.
Sebagai dua organisme yang berbeda pemikiran dan latar kultural, mereka mulai
merangkai, mencari titik temu pandangan yang produktif dalam bingkai kerja sama
visioner kesejahteraan hidup berkelanjutan. Dengan modal kebersamaan, mereka
menguntai impian sedemikian rupa, merancang proposal kerja dan pendukung lainnya,
tidak sedikit mereka yang berhasil menambah sisi kemandirian dan pengalaman
mengerjakan sesuatu untuk kepentingan hari depan. Anak muda yang berpacaran
dengan cara ini namanya kreatif.
Kreatif dari
sisi ekonomis. Dengan mereka mencoba-coba kesibukan produktif semacam itu,
secara otomatis tercipta daya guna pada proses belajar mereka menemukan
kepuasan material. Tapi, kita nyatanya tidak hidup hanya pada kenyataan ekonomi,
bukan? Kita hidup dalam naungan masyarakat yang menghormati budaya, adat,
religius, yang semua itu membuka celah lain untuk sulit merestui kebersamaan
dalam ikatan “pacaran”. Pacaran ekonomis berlangsung pada kesadaran nyata.
Sedangkan di bawah kedasaran ekomonis sifat dan naluri anak-anak muda saat
kesempatan dalam kebersamaan lain, pastinya ada sesuatu yang tetap terjalin
secara rahasia dan privat. Kita tetap berbaik sangka pada mereka, semoga
jaminan ekonomis yang mereka hasilkan tidak mempengaruhi pada kebutaan mata
hati dan menjadikannya “putih mata” dikemudian hari.
Jadi, kalau
saya tidak berpacaran, apakah itu salah?
Wallaualam,
saya hanyalah manusia biasa yang takut pada jebakan-jebakan yang tidak terlihat
dan tidak tersadari oleh segala keterbatasan saya. Juga tentang batasan-batasan
normatif yang saya pegangi, serta bayangan lain yang mungkin saja secara tak
terduga menyergap dalam kegelapan mata dan membuat saya pada akhirnya akan menyesal
tiada berdaya. Kepada para guru, saya bermohon doa dan bimbingan ke arah jalan
yang diridhoi Tuhan.
Yk,
11 maret 2016
posted by STUDEN#
1 komentar:
nice post mas.kunjungi sttelkom
Posting Komentar