Membaca “Indonesia Bagian Dari
Desa Saya”
Alkanjawi
Sore tadi bila tak mendung senja
pastilah indah. Tapi hujan, yang tergerai dari awan gelap begitu derasnya
membasahi bumi. Kampus timur, sepanjang jalan dari Pustaka Fatin, saya pinjam
sebuah buku karya Emha. “Indonesia Bagian Dari Desa Saya”. Saya sampaikan diri
menerjang basah untuk kuasa duduk di bangku tempat parkiran Kampus timur.
Persis di belakang panggung demokrasi. Lebatnya hujan membasahi setiap jengkal
peristiwa. Saya mulai membuka buku itu tanpa ragu. Segera ingin memuaskan rasa
ingin tahu, apa yang akan dibicarakan Emha. Seperti apa logikanya. Dan,
muatan-muatan apa yang berserakan di dalam setiap helai lembaran dari buku
terbitan kompas itu.
Jauh di atas sana langit gelap.
Suara geledek seolah membuat atap langit retak. Seolah saya menjadi terancam,
apakah yang saya baca ini bagian dari bacaan “terlaknat” sehingga langit tidak
rela dan mengutus halilintar untuk segera menyambar saya yang sedang membaca.
Tapi alhamdulillah, itu tidak terjadi. Di bilik kecil suara hati berbisik pelan
sekali. Ia berkata: suara gemuruh di langit itu bukan ancaman yang menakuti
setiap bulu kuduk di tengkuk yang menyangga kehidupanmu. Itu adalah suara
musik, drum yang dipukul, perkusi yang ditalu, kendang yang ditabuh, dan semua
alat musik yang dibunyikan oleh kegembiraan penghuni langit karena menyambutmu
sebagai pembaca. Subhanallah, maka saya tertunduk sejenak. Tuhan berilah mereka
ketabahan menerima karuniamu yang berbentuk gelegar menyertai hujan. Walaupun
nampak mengerikan suaranya, mendebarkan lecutan kilat petirnya, dan mengagetkan
suara dentumannya, tapi itu adalah karuniamu atas indera kami yang masih
berfungsi dengan baik. Tuhan, dengan itu semua, arahkanlah kami untuk
bersyukur.
Aku baca basmalah. Menyebut sang
maha pemurah dan penyayang. Romo Mangun memberi prakata untuk buku itu. Romo Mangun
Wijaya, jujur sekali dalam tulisannya itu benar-benar mengantarkan segenap
pembaca untuk tidak tersesat dan salah arah memandang belantara isinya. Romo Mangun
membesarkan hati “calon pembaca” untuk melihat dengan skup luas setiap tulisan-tulisan
yang murni tergurat dari kegelisahan seorang anak muda yang ingin
memperlihatkan kepada sekalian pembaca tentang hal-hal remeh tapi sangat penuh
makna. Kita dituntun untuk menghayati – minimal diri kita sendiri – atas
fenomena perubahan sikap hidup masyarakat. Desa yang bukan sekedar bayangan di
dalam sebuah negara, melainkan negara yang banyak mengintervensi atas desa dan
segala lini yang menyertainya. Desa asal dari segala macam yang kita sebut
sebagai Indonesia sekarang.
Tak diamlah halilintar sepanjang
saya meniti kata demi kata Romo Mangun Wijaya itu. Bahkan suaranya terus
menderu, mengiringi keramaian dalam pikiran saya yang diajak untuk bergejolak.
Sebagai manusia, yang muda, yang harus gelisah, yang mesti kritis, yang tidak
boleh lemah dan malas untuk mensiasati setiap kejadian untuk menggali hikmah
sebanyak mungkin, semampu dan sekuat kita menemukan apa yang dapat diungkap
sebagai kebaikan dan keindahan.
Desa era 70-an adalah desa yang
desa. Maksudnya, desa seperti gambaran geografis dengan tanah sawah menghampar hijau
dan rimbun pepohonan asri. Tak sekedar itu, desa era masa lalu itu membawa ciri
khas sebuah kehidupan yang sarat akan keterbukaan, unggah ungguh, gotong-royong
dsb. Tapi klise-nya, desa yang shot mudah terpantik oleh modernisme yang
secara cepat menjadi kebudyaan baru. Kebudayaan montor, kebudayaan layar tancep
dan lain sebagainya yang menunjukkan jumawanya keserbamewahan hidup. Benar
kesebamewahan hidup ini menjadi salah satu pemantik segala macam problem yang
menggejala luas di desa-desa lain. Emha memotret desa kelahirannya di Jombang
Jawa Timur. Dan, tentu saja pembaca tidak akan terpaku pada sebuah desa di Jombang
itu, melainkan seperti diantarkan untuk mengunjungi desa-desa lain dalam memori
kehidupan kita masing-masing.
Saya sendiri “mbrojol” ke
dunia era 90-an. Sangat mungkin, era 90-an di desa saya itu seperti tahun 80-an
di desa lain, atau era 70-an di desa yang lainnya. Desa saya itu jauh cukup
terpencil. Proses modernisasi di desa dengan datangnya alat-alat pelengkap
modernisasi itu baru menggejala setelah saya bisa mencium bau asap knalpot dari
speda motor satu-satunya di desa. “Semacam bau asing yang menawarkan impian dan
kemajuan.” Saya melihat dengan jelas – gambar-gambar hidup di televisi yang
hanya ada 3 biji di rumah-rumah tertentu– yang menakjubkan. Itulah modernisasi yang
mempertontonkan keajaiban. Tapi di satu sisi lainnya, betapa modernisasi dengan
alat-alat canggih itu sedemikian merusaknya bagi tatanan sistem budaya yang
sejak ratusan tahun dijaga ketat oleh desa.
Apa yang mengerikan? Perubahan!
Masyarakat desa kolektif menerima paradigma modernisme tanpa tendeng
aling-aling. Sebagian kecil masyarakat tetap berpegang pada jiwa adiluhung dan
normatika yang tidak nampak yang hidupnya ada dalam batin yang diyakini. Lama
berlalu lama, modernisme dengan kenyataan yang ditawarkannya itu sedikit banyak
mengisi ruang keyakinan dan menggeser jiwa adiluhung yang amat dijaganya dahulu.
Perubahan banyak menghilangkan inti desa. Dan, tanpa banyak disadari karena
desa telah kehilangan suatu pegangan prinsip, maka terjadilah kekacauan sistem
budaya dan tradisi yang dianggap menjadi kaku oleh masyarakatnya sendiri.
Tentu saja ini akibat sistemik.
Akibat dalam praktiknya lebih amat mengerikan. Modernisasi dalam sistem
pemerintahan, sejak masyarakat dikenalkan pada pemilu, umpamanya, praktis
sistem menjadi terkotak-kota dan tidak jarang ada yang terpecah belah. Watak
desa yang keras dan cenderung bersikeras bertandang cepat, pemilu berdampak
sengketa, sentimen, dan konflik yang menyisakan pilu. Terlebih, umat menjadi
juga terbelah sebab diam-diam digerakkan oleh kepentingan politik. Secara tidak
sadar ini terjadi ketika praktik solat hari raya, satu kelompok masyarakat memilih
berjamaah di lapangan, satunya lagi di masjid. Bukan masjid tidak muat kantetapi
umat sengaja dihimpun oleh individu tertentu untuk menambah kuantitas sebuah
harga tertentu pula.
Banyak sekali gambaran-gambaran tentang
kehidupan masyarakat kita yang dituliskan Emha kini seperti tidak berubah dari
pertumbuhan desa. Bahkan kita seringkali lihat akibat modernisme itu desa
semakin acak-acakan. Kita tahu masyarakat sampai hari ini tidak berhenti
berlomba-lomba menumpuk lumbung materi, meningkatkan gaya hidup, meghimpun
segala kemampuan untuk memperkaya diri dan untuk terlihat semakin megah. Kita
tahu di setiap rumah sekarang dilengkapi ruang parkir kendaraan, rumah berwajah
kaca, berlantai mengkilap. Hanya sebagian yang menjadi pemenang itu senang
membanggakan diri dengan cara demikian. Kaum lain dalam ekosistem menjadi
tumbal sejarah dengan menjangkit sakit hati berada dalam kemiskinan dan
kemelaratan.
Helilintar berlomba-lomba lagi
menyambar kesadaran. Kini di desa kita rasakan, sangat jarang orang
beristighfar di surau atau langgar-langgar di pinggiran kali. Suara-suara
pujian kepada Tuhan semakin lirih, suara salawatan semakin jarang digantikan
riuh ramai sound sistem dan kaset-kaset seharga 15 ribuan. Betapa masyarakat
kita lebih ringan tangan mengeluarkan uang sedikit untuk “membayar” nilai-nilai
yang luhur adiluhung itu. Sedang hujan senja membawaku terseret arus dan tenggelam
pada pikiran untuk berteriak-teriak: “haiii Halilintar! hebat nian menyambar
udara di langit yang gelap pekat.” Entah gelegar itu suara kegembiraan penghuni
langit atau kekecewaan yang mulai menebal pada awan yang menjadikannya gemuruh.
Yk, 19 February 2016
studen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar