oleh Alkanjawi
Hari-hari setelah kematian Perwira
Naga Putih, Sanuraga kerapkali mendapati bisikan gaib yang mengganggu dirinya.
Bisikan itu datang saat menjelang malam. Waktu antara surup atau maghrib itu, Sanu
mencoba untuk tak melakuakan aktivitas kecuali bersama orang lain. Kekawatiran
bisikan gaib yang akan datang terus mengusik ketakutannya, ia takut terjadi
sesuatu di luar kendali dirinya. demi kebaikannya, lantas sanu memilih teman
yang pandai dalam hal ilmu gaib. Namanya Gustiasoro, seorang dewasa dari
pesantren Wunapraya di tepi pulau Mendo, ada sebuah gunung bernama Klawur dimana
terdapat sebuah padepokan yang jarang diketahui orang awam. Di situlah Soro belajar
menempa pengetahuan gaib dari kecil hingga sekarang turun gunung setelah
memutuskan untuk menikahi gadis desa dari kampung Sanu. Hal-hal penting yang
diutarakan Sanu kepada Soro berhubungan dengan keadaan ahir-ahir ini, Sanu sering
mendapat gangguan gaib. Soro pun tanggap dan berusaha mencarikan solusi
memecahkan kebingungan Sanu itu.
“Sanu, sejak kapan hal itu
terjadi padamu?” tanya Soro.
Sanu mencoba menghilangkan rasa
takut, ia menjawab “Baru sekitar 4 hari terahir, mas.”
“Aku lihat ada sesuatu yang
sedang mengikutimu, seperti sebuah pedang bercahaya putih bergagang naga. Aku
kurang tahu siapa yang menggerakkan sebilah pedang itu. Hawa yang kurasakan, pedang
itu tidak akan menyakiti atau melukaimu. Tapi bayang-bayang penghuni dari sisi
gelap pedang itulah yang sering kamu rasakan membuat kamu tidak nyaman dan
merasa terganggu. Memang, seperti ada lima naga hitam kecil jelmaan dari iblis
yang beringas dan kejam.”
“Terus aku harus bagaimana, mas?”
tanya Sanu.
“kalau boleh saya sarankan, kamu
harus melihat sendiri bagaimana bentuk wujud dari sesuatu yang mengganggumu itu,
biar kamu bisa berhadapan secara langsung. Hakikatnya mereka lebih lemah, dan
cenderung takut bila berhadapan secara langsung dengan manusia”
“Tapi bagaimana caranya?, apa mas
bisa membantu saya untuk bisa melihat meraka?” tanya Sanu lagi.
“Aku bisa, tapi ada yang lebih
berwenang untuk melakukan itu.”
“Siapa mas?”
“ibumu sendiri”
Sanu mendadak heran. Apa benar
ibu Dewitasari paham tentang kejadian ini. Sanu memang merahasiakan
kegusarannya ahir-ahir ini kepada ibu atau ayahnya. Ia kawatir bilasaja ibu Dewitasri
tahu, hal itu akan membuatnya bersedih akan keadaan anaknya. Karenanya,
diam-diam Sanu tidak memberitahukan ganggauan ini kepada keluarga. Sanu malah
tercengang ketika mendapat saran dari mas Soro.
“Mengapa harus ibu sendiri yang
bisa membantuku? Ibu sebagai orang biasa tidak mungkin bisa melakukan itu. Tapi
bagaimanapun, aku harus mencoba memberi tahu kepada ibuku tentang kejadian ini
seperti apa yang mas Soro sarankan.” Ujar Sanu.
***
“Ibu ada sesuatu yang hendak aku
bicarakan.”
“Ada apa, nak. Katakan saja pada
ibu?”
Sanu bercerita tentang pengalaman
selama ia kerap merasa diganggu oleh bisikan gaib itu. Ia juga bercerita
tentang pengalaman ini sudah ia bicarakan dengan mas Soro.
“Apa yang ibu rahasiakan
nampaknya akan segera terungkap. Ibu tidak bisa melakukan hal itu tanpa
persetujuan dari ayahmu, nak.”
“Ibu, apa yang sebenarnya
terjadi?” tanya Sanu penasaran.
“Beberapa hari yang lalu, ibu
dengar kabar Naga Perwira Putih di padepokan Bender telah mati. Dia adalah guru
kebatinan yang sakti tapi licik. Piawai dalam ilmu tenaga dalam, bahkan selama
ini belum ada yang sanggup menandingi kesaktian tenaga dalamnya. Ibu dan ayahmu
waktu muda dulu pernah menjadi muridnya. Perwira Naga Putih berkata jika ia akan
mati, ia akan mewariskan ilmu Naga Putih kepada anak pertama dari murid
pertamanya, yaitu ayahmu. Kamulah orang yang akan mewarisi ilmu dari bekas guru
kami itu. Aku tidak bisa menolak, sebab guru Naga Putih telah bersumpah jika
kami menolak hal itu, maka kutukan akan mengenai keluarga kami selama tujuh
turunan. Keluarga kami akan lumpuh dan kehilangan segalanya setelah malam
pertama pernikahan. Satu-satunya cara terhindar dari kutukan itu adalah dengan
merelakan ilmu yang dimiliki oleh Naga Perwira untuk diwariskan kepadamu. Rupanya
sudah saatnya ibu dan ayahmu membuka tirai gaib di mata batinmu.”
“Dewita…” suara Bratatanunjaya mendahului
derap langkah sendiri setelah ia membuka pintu dan memasuki ruang tamu.
“Kang Mas”. jawab Dewita.
“Aku sudah mendengar percakapan
kalian, aku segera mungkin undur dari sawah untuk menemui kalian. Hmm,
nampaknya peristiwa besar akan segera terjadi di kampung Pasulawang ini” kata Brata
sambil menghela nafas.
“Sanu, anakku. Membuka mata batin
bukan hal mudah. Ada pertaruhan yang bila kau gagal, maka tirai gaib itu akan
sobek dan tidak akan pernah bisa tertutup kembali. Membuka tirai gaib di mata
batinmu tidak bisa dilakukan sendirian tanpa adikmu, Kartika. Kartika yang
memegang kunci tirai gaibmu, sedangkan hanya ibumu yang bisa membuka dengan
kunci itu. Aku hanya akan menyalurkan tenaga dalam dan melindungi kalian dari
kekuatan jahat yang bisa saja muncul dari luar saat proses membuka tirai mata
batinmu.”
“Baiklah ayah. Di usia 20 tahun
ini, mungkin inilah yang akan menjadi pertaruhan terbesar yang pernah kualami.
Aku tidak takut untuk melihat segalanya, tidak takut menghadapi kegelapan dalam
diriku sendiri.”
BERSAMBUNG …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar