Humanisme; Manunggaling Kawula, Gusti!
Malam enam
hari menjelang Bulan Ramadhan 1437 H, saya melekan sampai pagi. “Melekan” arti terbatasnya
yakni terjaga dengan mata terbuka. Makna luasnya adalah terjaganya mata hati,
tidak tidur lahir batin, dan waskita diri memandang dengan mata alam semesta
untuk melihat fenomena-fenomena serta problematika yang (akan) terjadi pada keadaan
dunia.
Memandanglah mata
saya pada lokus Indonesia, dan jadi merah panas mata ini. Betapa tidak, kasus
demi kasus yang muncul ke permukaan dunia realitas nasional kita banyak dipenuhi
kabar buruk, salah satunya degradasi moral. Seorang Anak SD diperkosa 21 pria,
menyusul berita 2 minggu lusa pelajar SMP dicegat 16 lelaki, diperkosa dan
dibunuh di tengah hutan. Pembunuhan sadistis Mr. Cangkul dan kasus pencabulan
guru agama terhadap muridnya di sebuah SMA. Sungguh bergetar mata hati ini
menyaksikan kemanusiaan kita telah jauh terperosok dalam alam mahkluk
kebinatangan.
Lalu,
sebenarnya apa yang menggelincirkan akal sehat kita sehingga jatuh moralitas
dan keadaban kemanusiaan. Mungkin, karena keterlaluan melencengnya paradigma dalam
kita melangkah, atau salah tingkah laku kita dari pakem normatif ajaran
kebenaran agama. Atau versi ketiga, kita ini sudah sedemikian parahnya
disesatkan oleh nafsu jahat di dalam diri kita sendiri.
Saya tunggu pendapat
para ahli agama, ahli jiwa, ahli sosial, ahli budaya atau ahli apa saja untuk
mengungkapkan akar masalah dan solusi kongkrit tentang persoalan kita ini. Kita
benar-benar butuh obat manjur untuk penyakit yang sedang menggejala di sekujur
tubuh bangsa. Pangkal bulu alis sebelah kanan saya sampai gatal. Kenapa tak
kunjung para ahli itu “turun tangan” turut campur memberi solusi persoalan
seradikal mungkin. Kebanyakan kita malah menampakkan diri dengan cara mengecam,
mengutuk, membenci mereka (pelaku) untuk dihukum seberat-benarnya. Saya amat
mengira, kalau hukuman kebiri atau tembak tepat di jantung pelaku tidak bakal
efektif.
Persoalan
moral kemanusiaan kita ini begitu akut, banyak sebab yang menjadi imbas
anak-anak manusia kita kehilangan harkat kemanusiaannya. Saya ungkapkan
kegelisahan ini untuk renungan kita semua, namun, sebelumnya mohon maaf bila yang
saya ungkapkan masih kurang kuat: bahwa kita sebagai bangsa berketuhanan telah
kalah oleh gerakan-gerakan demokrasi yang digerakkan oleh “sang maha uang”. Uang
memaksa kita terbawa arus “ada uang ada tuhan”, artinya, “uang” menggiring
manusia menuju menuhankan “uang” itu sendiri.
Katakanlah manifestasi
“uang” itu adalah “kekuasaan”. Seorang yang memiliki “uang”, ia merasa bisa
bangkit eksistensialisme-nya untuk menguasai sesuatu secara fisik. Ia seolah
berkuasa membeli “buah di taman berpagar” atau bahkan bisa merampas dengan
paksa “buah” itu dan melemparkan uang segepok sebagai penggantinya. “Uang”
menjadi substansi materi telah berakibat pada manusia yang mengedepankan
kepuasan fisik untuk sebatas kepuasan “yang tampak”. Di hadapan uang, sekarang
manusia seperti benda yang bisa ditukar dengan harga. Dari “uang” tersebut membentuk
bawah kesadaran tentang “dengan uang kita bisa membeli segalanya.” Inilah kesadaran
palsu yang menghasilkan dehumanisasi di dunia sekarang.
Terusan kompleksitas
paradigma kita yang sulit lepas dari jerat benang kusut materialitas fisik,
nyatanya nalar pikir kita juga semakin lapuk untuk kuat mencerdasi diri dengan
ajaran agama. Maksud saya setiap ajaran agama pasti punya dasar menjunjung
harkat kemanusiaan yang menjadikan manusia sebagai aspek utama dari segala
macam kepentingan. Materialisme ternyata mambawa pada pendangkalan kecerdasan
diri untuk menerima keluhuran dari norma ataupun nilai-nilai ajaran agama. Saat
itu terjadi, hidup kita kehilangan kompas tujuan sehingga rusaklah arah diri
karena rusaknya kemurnian pandangan hati. Destruksi materialisme fisik pada kebeningan
dan ketenangan hati terdalam kemanusiaan kita, menjadikan kita semua tidak bisa
menerima kecerdasan pembeda. Kita tak tahu lagi batasan mana yang baik dan mana
yang buruk.
Kemungkinan
ketiga penyebab degradasi moral kemanusiaan kita, barangkali karena telah
begitu leluasanya elemen syaitoniyyah di jantung pusat kehidupan,
menyebar ke seluruh aliran darah, mengisi sendi-sendi, memenuhi urat kesadaran
kita hingga secara biologis kita terkendalikan untuk selalu berpikir dan
berbuat buruk serta putusnya urat malu di seluruh lapisan kehidupan kita. Belum
lagi, efek psikologis pengaruh syaitoniyyah yang nampak pada lemahnya
keinginan berbuat baik,
menipisnya kesabaran, dan hilangnya gairah untuk
aktualisasi diri menuju rahmatan lil alamin.
Masih belum
lengkap kiranya ungkapan di atas. Saya ingin menambahkan pemahaman untuk sisi
konstruk ontologis kamanusiaan kita. Sebagai mahluk yang diciptakan dengan
bentuk yang terbaik, tentu “dalaman” kita yang berwujud ruh dan jiwa sebagai
penggerak itu secara kualitatif lebih baik daripada jasad fisikal. Karena itu,
interelasi semua eleman yang “gaib” dan fisik akan mampu menembus pengetahuan
tentang etika juga estetika. Kesadaran tertinggi adalah menjadi hamba Tuhan
dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Kalau kita dapat menemukan
inti kemanusiaan kita sebagai “abdul rahman” hamba Tuhan, setingkat kita
akan naik derajat dan tugas menjadi “khalifah fil ardh” penjaga
keseimbangan dengan muatan-muatan kesadaran atas dasar martabat kemanusiaan.
Dalam konteks rekonstruksi hakikat humanis, restui saya menambahi pada kalimat filosofis legendaris
“manunggaling kawula gusti” sebagai aktivitas transenden dan pencapaian puncak
spiritualitas, dengan tanda koma (,) dan seru (!). Tambahan ini akan secara
total merubah maknanya.
Jadi, manungaling
kawula, kita hidupkan dengan menyatunya seluruh pengakuan eksistensi
kemanusiaan sebagai hamba kepada Gusti! dengan suka rela. Dan,
implikasinya kita menjadi sadar, tidak pernah ada dan segala kepemilikan kita ini
adalah sebab adanya sang Gusti. Cakrawala akal pikiran, samudera rasa hati dan batang
tubuh wadak ini semuanya adalah dari Gusti. Kita sebagai manusia manunggal
(berjamaah) dengan kerelaan berkumpul menyatu untuk saling belajar-mengajar,
mengkritik dan menerima kritik, membangun- menguatkan, mangasihsayangi satu sama
lain. Saling memperingatkan dari berbuat dosa, saling menjaga dari kesalahan,
serta saling menyelamatkan dari ketersesatan untuk bersama-sama menuju Tuhan
sebagai satu-satunya tempat kembali.
Bila krisis
moralitas yang muncul di dunia berasal dari manusia, maka jalan keluar paling
mungkin adalah mengembalikan manusia ke jalan kesejatiannya.
Alkanjawi,
bertapa di sungai gajahwong, 01 juni 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar