Siapa Nama Anak Kandung (Intelektualitas) Kita?
“Ia yang
memikul dirinya”, ialah seorang lelaki gagah jiwanya. Ia menempuh laku berjalan
jauh untuk memanjakan kekuatan kaki. Sesampai di tengah hutan belantara,
tiba-tiba ketemulah ia dengan kerumunan orang-orang ramai sedang berdagang
(seperti pasar). Ia dilempar pertanyaan “kisanak siapa, dari mana mau kemana?”
ia sejenak diam. Kerumunan orang-orang itu bertambah banyak. Nampaknya bukan
hanya manusia. Bayangan-bayangan lain ikut menelusup dalam pertanyaan keras itu.
Ia menjawab “Aku Among Raga. Aku dari Aku hendak menemui Aku.”
Among Raga merupa
menjadi pudarnya tali atas ikatan pertanyaan hakikat “siapa”. Belantara hutan dan
riuh suara-suara itu rupanya ada di dalam dirinya sendiri. Among Raga berjalan
jauh ke dalam diri. Among Raga adalah kiasan nama bagi setiap jiwa dan hidup
menggerakkan raga, ia bisa nama saya, bisa nama anda, bisa nama siapa saja.
Kisah fiktif
di atas bukan dari masa silam. Kisah tersebut saya bikin untuk kita pelajari
tentang eksistensialisme dan keberlangsungan diri yang ada kaitannya dengan
komunitas kita “komunitas tanpa nama”. Betapa nama itu bagi saya adalah seperti
pertanyaan keras yang mengganjal dalam diri (dan seharunya kesadaran kolektif
kita juga senada). Gara-gara tak kunjung dirubah nama itu, dada saya dipenuhi
was-was tak terkendali, pikiran negatif
seperti mengintai untuk siap mempengaruhi semua sikap menjadi buruk.
Berikut ini
salah satu alasan, kenapa batin saya selalu gusar karena sebuah nama.
Adalah tatkala
zaman ketiga, segala macam apa saja cepat sekali berlajunya, teknologi,
komunikasi, jaringan dari yang terang sampai yang gelap tumbuh dengan
prosentase begitu pesat, padahal kita sangat sadar sedang menikmati produk instan
dari itu semua. Kita menjadi telah mengemuka menjadi post agraris, post
tradisionalis, atau post-post lain yang pada intinya kita sedang disugui
modernitas yang masih menawan dan luar biasa. Akses kemudahan ini saya rasakan
semakin mengikis dan sedikit menenggelamkan pondasi eksistensialitas manusia
sebagai individu yang “person”. Lihatlah teknologi sosial media, berapa miliar
akun yang bukan murni asli. Pengelola akun menyembunyikan identitas asli,
mereka mengganti sebagian atau keseluruhan menjadi samaran semua.
Apa tuntutan
dari kemudahan? Harapannya manusia semakin jujur dan menyatakan diri
sebenar-benarnya. Tapi sungguh itu menjadi begitu sulit untuk dilakukan. Adanya
kemudahan, justru kita berlomba-lomba membuat kemungkinan-kemungkinan baru yang
jauh melepaskan diri dari realitas keaslian kita sendiri. Dan, yang terjadi berikutnya
adalah pertanyaan yang hilang “siapakah aku?”
Seorang kawan
saya, sebutlah namanya Dulkardeng, sejak lima tahun lalu menjadi pengguna
banyak jejaring komunikasi pada sosial media. Saya amat yakin kalau anda
mencari informasi tentang nama itu di internet dengan mengetik di secarh
engine “Dulkardeng”, tidak ada satu kata pun yang merujuk ke dia. Dulkardeng
menggunakan nama lain, nama alias, atau nama samaran untuk menutupi identitias
aslinya sehingga ia menemukan keleluasaan untuk melakukan apa saja tanpa merasa
kawatir akan ketahuan. Misalnya menggoda akun cewek atau memaki suatu kelompok
yang tidak disukainya.
Banyak
kemungkinan lain di luar pengetahuan Dulkardeng terkait privasi atau kemanan
menggunakan media. Tetapi, justru karena ketidaktahuan itu, ia menjadi besar keberanian
dan tajam taring untuk menjadi pemangsa bagi yang lainnya di kandang sosial
media. Tentu saja ketika orientasi penggunaan nama itu tidak sesuai, ia akan
kehilangan kesempatan menjadi positif di mata kebenaran.
Dulkardeng
adalah analogi kecil. Di dunia ini, banyak kelompok lain yang ekslusif dan
secara terang-terangan memberi pengumuman dari akun “anonimous” seperti sering
dilakukan para hacker. Manusia bertopeng yang juga menyembuyikan identitas
individu saat melakukan propaganda atau menyebar ancaman untuk kepentingan
tertentu.
Jadi, pendapat
sementara saya, di zaman modern ini justru kemanusiaan kita menjadi jauh lebih
pengecut dari pada zaman sebelumnya. Kita menampakkan diri dengan wujud yang
lain, sedangkan untuk berhadapan langsung face to face secara real
tidak pernah berani. Kita tanpa nama menjadi berbahaya dan berpotensi
membahayakan bagi yang lain. Tanpa identitas nyata, kita mudah dikuasai arwah
pemangsa untuk ‘membunuh” orang lain. Kita tanpa hakikat tanda pengenal seperti
pejalan yang menuju ketersesatan tanpa arah tujuan yang bermakna.
Harapan
“Komunitas
tanpa nama “ adalah sebuah perkumpulan civitas anak-anak muda akademis
Yogyakarta. Mereka sedang belajar menggali kemampuan kreativitas dan menuangkan
gagasan atau pikiran mereka melalui karya tulis. Beberapa bulan telah berlaku,
setiap seminggu sekali mereka bertemu untuk mengkaji, mengkritisi,
merekonstruksi bahkan kadang dekonstruksi terhadap karya tulis yang mereka buat
sendiri. Komunitas kecil nomaden ini menyimpan api kecil yang positif untuk
menerangi (minimal) kegelapan di ruang kreativitas mereka sendiri.
Orientasi
terciptanya sebuah nama kelompok ini maksud saya untuk mengisi “kekosongan”
identitas sosial atau yang lainnya. “Komunitas tanpa nama” hendaknya menjadi sifat temporer dan akan
segera tergantikan dengan nama yang baik dan mampu mencerminkan filosifi
kemanfaatan. Namun, sampai dua semester lewat, belum kunjung jua kita memperolah
nama. Apakah sesulit itu untuk menentukan sebuah nama bagi komunitas? Dalam
konteks ini, sungguh menemukan sebuah nama adalah kesulitaan yang maha benar.
Saya
personlijk, tidak ingin membawa komunitas ini atau menjadi sebab bagi komunitas
ini menuju ke belantara dunia underground. Tidak pula ingin stempel silang
merah kultural mendarat di jantung atau seluruh kulit batang tubuh kita.
Sebagai bagian
dari komunitas kecil ini, saya dan kita terjebak pada tarik ulur wacana
perubahan nama. Saya lebih khawatir jika komunitas yang bersama-sama kita
lahirkan ini tidak punya nama baik, sehingga pada saat jibril memberi ilham pengetahuan
langit bagi setiap nama, kita terlewatkan. Saya takut, ketika masa
pertanggung-jawaban tiba, nama kita disebut di depan gerbang ruang timbangan,
kita tidak memberikan muatan kebaikan sama sekali. Saya ngeri, tanpa nama kita
menjadi ancaman bagi ketenteraman dan keselamatan manusia.
Sekelumit
menukil dari tradisi pemimpin para nabi, sesuatu kebaikan yang lahir mestinya
kita sambut dengan gembira. Kemudian pasca kelahiran itu kita beri nama dengan
nama-nama yang baik. Kreteria minimal baik itu adalah apabila orang mendengar
nama itu disebut, ia akan merasa aman, nyaman dan bergairah untuk melakukan
kebaikan.
Pemberian nama
pada komunitas kita ini saya kira tidak perlu lagi diulur-ulur. Komunitas ini adalah anak intelektualitas
kita, anak ideologis kita yang akan segera tumbuh dan membuahkan kreativitas
untuk kemajuan bangsa. Setelah terpilihkan nama, kita akan bancaki, kita akan
syukuri dengan memintakannya kepada Tuhan agar menjadi komunitas yang berkah
dan bermanfaat dunia ahirat.
Dan, bila tetap
bernama “komunitas tanpa nama” malah justru laiknya “pahlawan bertopeng” yang
selalu menyembunyikan identitas dan kerja demi keselamatan khalayak banyak, secara
apapun untuk zaman kekininan ini, saya tak berani memberi garansi.
Alkanjawi,
02 juni 2016.
post by Studen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar