Jangan Senang Ditolong!
Hendaknya saat meminta
pertolongan, perhatikanlah sebelumnya tentang seberapa kadar kelemahan diri
kita untuk menerima ukuran pertolongan.
Sebenarnya maksud saya mengenai
ukuran itu, ada hubungannya dengan sifat kata kerja “tolong” yang berlaku tanpa
batas. Bila pada hari ini Anda ditolong oleh seseorang (yang entah kenal atau
asing), bisa jadi pertolongan itu akan terulang kembali karena Anda terulang
pada poisi butuh pertolongan. Begitu juga dalam hubungan Anda sebagai pemberi
pertolongan. Pada masa depan yang lain, Anda akan mempoisikan tangan diatas
sebagai penyelamat tangan-tangan lemah yang sedang berada di bawah. Perlu
diingat, prinsip dalam ukuran tolong menolong adalah kesesuaian atau
kesepadanan. Kelebihan walau hanya sedikit akan ada perhitungannya sendiri.
Kenapa harus tepat? Sebenarnya orang
butuh ditolong karena terkait kadar waktu atau kekurangan yang ia sedang
dialami. Begitu pula sebaliknya bagi penolong. Pagi-pagi, seorang tukang ojek di
desa pinggiran berangkat ke pasar untuk narik pelanggan. Sebelum sampai di
lokasi pelanggan pertamanya, tiba-tiba di tengah perjalanan ban motornya bocor.
Dengan terpaksa ia harus turun dan menemukan tukang tambal ban. Ia gelisah
sebab tidak membawa bekal uang yang cukup untuk keperluan memperbaiki motor.
Tukang ojek tidak mau merepotkan orang lain. Setelah berjalan dan ahitnya ketemu
dengan tukang tambal, ia hanya mampu membayar dengan jumlah uang separuh dari
tagihan. Ia meminta tolong supaya kekurangan tagihan itu bisa dibayarkan nanti
kalau sudah dapat rejeki. Sang tukang tambal rupanya baik hati dengan berkata: Ambil
dulu uang itu, bayarlah nanti setelah kamu ada uang.
Begitu gembira hati tukang ojek.
Sedangkan tukang tambal ban memang suka menolong dan terbiasa ikhlas.
Ada sebuah kelegaan hati yang
kemudian mengakibatkan sepanjang hari tukang ojek bisa bersyukur, padahal di awal
pagi sudah diuji dengan musibah ban motonya bocor. Kebaikan yang ditunjukkan
tukang tambal membuat tukang ojek menjadi berbaik prasangka, begitu juga
perasaan dan sikapnya terhadap semua orang hari itu. Tukang ojek sadar akan
kewajibannya untuk membayar bilamana ia sudah mendapatkan cukup uang dari hasil
kerjanya hari ini. Selain mengucapkan terimakasih kepada tukang tambal ban, ia
juga mengucapkan terimakasih pada setiap pelanggan. Lebih dari itu, ia bisa mensyukuri
dirinya secara lebih dalam; bersyukur musibah hanya berupa ban bocor, bukan
putus rem atau ditabrak kendaraan lain.
Memang wajar bila orang merasa
senang kalau menerima pertolongan. Tidak wajarnya apabila terkena musibah dan
sangat butuh pertolongan, tetapi ketika ada yang mengulurkan tangan, ia menolak
untuk menerima pertolongan itu. Ini mungkin berkaitan dengan prinsip. Tapi,
nalar sehat kita semua tentu paham kalau prinsip semacam itu sulit untuk
diterima logika umum. Saya sendiri, sungguh belum mampu untuk menolak
pertolongan siapa saja di saat sedang butuh.
Timbangan
Kehidupan kita sekarang sedang menjumpai
iklim yang bawaannya orang lebih mudah untuk meminta daripada memberi. Orang
lebih gampang minta tolong, mengandalkan orang lain daripada memilih
menyelesaikan permasalahhan (tanggung jawab) dengan bersikap tangguh dan
sportif. Mudahnya memperoleh segala macam kebutuhan dan jalan yang semakin
terbuka menjadikan mental kita lembek, manja dan ingin dituruti semua kemauan
yang kita miliki. Dengan sikap yang demikian itu, perkembangan jiwa dan
kekuatan raga akan menurun. Terlebih ketajaman kognitif dan sensitivitas
emosional sudah barang tentu menyusut secara drastis.
Ketergantungan dan terus menerus
mengandalkan orang lain secara mental ini membahayakan diri. Harap anda tahu,
bahwa potensi setiap manusia untuk berani dan menjadi problem solver adalah bagian
kekayaan pikiran yang tak terhingga nilainya. Apabila Anda tidak juga segera mengenali
potensi itu, dan berlagak bodoh untuk bersedia mengoptimalkannya, maka di lain
sisi Anda otomatis telah menelantarkan dan mengarahkan mental ke poisi lumpuh.
Dalam kelumpuhan, mental Anda bukan lagi “kritis”, tetapi sudah sampai pada
lapis “pematian” atas potensi kemanusiaan. Anda tidak akan bisa melakukan atau
menghadapi sesuatu secara merdeka. Saya kira, tiada yang lebih membosankan
menghadapi hidup (sekarang atau hari esok) ketika banyak jerat yang melilit
dada dan hak atas nafas kebebasan kita.
Seandainya, dalam kaitannya sistem
mobilisasi yang kita lakukan untuk membangun bangsa seperti sikap tukang ojek
di atas, kemungkinan besar macam-macam keruwetan akibat tradisi manja pemerintah
dan sikap miskin kongklomerasi akan bisa kita atasi. Pemerintah kita yang
terjebak halusinasi dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar merasa nyaman dengan mental
“kere”, hingga berakibat pada sikap selalu butuh pertolongan dan senang
menerima “bantuan” dari negara lain, akan bisa kita dihindarkan. Elit politik kita
terlalu dekat pada kekuasaan sehingga ingin mengeruk sebanyak-banyaknya
keuntungan, akan bisa kita netralkan untuk kepentingan nasional kita.
Atau, jangan-jangan semakin
tinggi kedudukan struktural seseorang, ia akan semakin senang untuk ditolong?
Alkanjawi, juni 03, 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar