Kemerdekaan Orang Berpuasa
By
alkanjawi
Salah satu
aspek fungsional puasa yang baru saya sadari hari ini; orang berpuasa memegang
kemerdekaan sebagai penyelamat kehidupan.
Sebelumnya,
bertahun-tahun lamanya saya termakan pola pikir sendiri, kalau puasa hanya akal-akalan
Allah untuk mencoba manusia sekuat mana menahan lapar dan dahaga. Setingkat
lebih “nalar”, puasa kemudian saya terjemahkan sebagai ujian yang sengaja Allah
wajibkan untuk mengukur tingkat ketakwaan manusia menjalani perintahnya. Karena
alasan pertama itu, masa kecil saya ketika datang bulan Ramadhan, tanpa
sepengetahuan orang lain saya biasa makan dan minum es di siang bolong. Kedua
dalam urusan ketakwaan, saya memilih bertahan tidak makan atau minum apa-apa
sampai tiba kumandang azan maghrib. Pola pikir purba tentang puasa yang dulu
pernah menghinggapi nalar itu, sepertinya kini sudah terbang dan menghilang.
Proses pengetahuan
manusia memang fleksibel dan mudah menerima atau dimasuki stimulan dari mana
pun. Semakin banyak bahan bacaan tentang puasa, saya menjadi terpikir puasa
adalah media untuk membersihkan jiwa dari “penyakit-penyakit dalam” yang tidak
bisa disembuhkan dengan alat-alat kedokteran moderen. Penyakit-penyakit dalam
itu terakumulasi dan mengendap dalam tubuh setelah 11 bulan lamanya kita bebas
makan dan minum apa saja yang entah dari mana dan dengan cara apa memperolehnya.
Saya terpikir
puasa adalah model penyembuhan dari dalam. Dari situ, mengalir penyataan
lanjutan: karena itu orang yang sedang sakit atau dalam perjalanan jauh boleh
untuk tidak berpuasa. Orang sakit yang dia ikhlas menerima keadaan sakit,
dosa-dosanya dimaafkan oleh Allah. Musafir perjalanan jauh yang niatnya tulus
mencari ridho Allah dan kemaslahatan manusia, oleh agama disamakan dengan
perjalanan menuju masuk surga. Saya mengartikan sakit dan perjalanan jauh (yang
menjadi syarat boleh tidak berpuasa) itu sama juga sebagai “metode penyembuhan yang
mirip” sebagaimana puasa.
Walaupun sakit
dan perjalanan jauh dapat mengurangi beban dosa kita, namun keduanya tidak
seimbang kelas penyembuhan dan “kualitas obat” yang dikandung dalam puasa
ramadhan. Maka, atas keringanan Allah, kita tetap wajib mengganti puasa di lain
waktu. Bila juga tidak memungkinkan puasa, gantinya bisa dengan sedekah.
Memberi kebahagiaan pada orang lain. Allah menghendaki puasa ini sebagai penyembuhan
diri supaya hidup kita menjadi selalu teriring kemudahan, dan tertutup dari
kesulitan-kesulitan di masa mendatang. Mengenai perintah puasa ini, kalau tidak
salah Nabi Muhammad mengatakan: Puasalah kalian agar kalian semua sehat.
Poin Penting
Sebagaimana
ibadah lain yang hukumnya wajib, puasa diatur sedemikian rigid mulai dari
waktu, cara, sampai ekspresi yang sulit untuk diotak-atik atau diperbarui
(kontekstualisasi) dengan cara apapun. Bukan terus maksud saya hendak merubah
kesepakatan tatanan ibadah tersebut. Namun, sebagai manusia pikiran-pikiran
aneh bisa saja melintas melewati hal apa saja. Misalnya dalam konteks kita
bernegara, Mas Joko tidak pantas menjadi presiden Indonesia, pantasnya dia itu
presidennya Amerika. Hal aneh semacam ini bisa saja menembus kebakuan normatif keberagamaan
kita. Juga termasuk ibadah wajib yang sudah jelas disusunkan segala macamnya oleh
para ulama dari nabi sebagai referensi utamanya.
Peritah puasa
akan tetap menjadi perintah sampai ketemu ahir hitungan hari dan bulan. Kita
semua yang dalam kondisi normal akan tetap tekena wajib ain untuk berpuasa pada
bulan ramadhan. Puasa mengembalikan kealamiahan kita semua untuk kebaikan lingkup
dunia dan kehidupannya. Skup lebih luas puasa meliputi segala dimensi lahir dan
batin, serta lapisan kemanusiaan. Puasa memerdekakan kita untuk hari ini dan
masa depan dengan mengenalkan batasan-batasan yang berguna menjaga ketetapan
kadar kemanusiaan.
Saya yakin, hewan
dan tumbuhan tidak perlu diperintahkan berpuasa, karena secara alamiah pada
waktu yang tepat mereka akan berpuasa dengan sendirinya. Kita yang diberi akal,
bisa berpikir merengkuh kebebasan, (kalau mau mengakui) sebenarnya kemerdekaan
yang kita harapkan adalah kemerdekaan metafisik sebebas-bebasnya atas makan dan
minum. Makan minum kekuasaan, kedudukan, kemashuran dengan cara mendominasi,
menekan yang lain untuk kepentingan kemerdekaan individual. Maka, tiada lain kemerdekaan
yang kita ingini semacam itu lebih cenderung ke arah kerusakan. Bukan
kemerdekaan yang mengusung keselamatan rahmatan lil alamin.
Sesungguhnya perintah
puasa bukan hanya sekedar melarang makan minum atau menghindari aktifitas fisik
yang membatalkannya. Puasa meliputi seluruh aspek kehidupan sosial, ekonomi,
budaya, dan pemerintahan yang berkaitan dengan manusia. Kita berpuasa selain
untuk diri sendiri, juga berfungsi untuk keseimbangan aspek kehidupan, pola
pikir, bangsa, bumi, dan alam semesta.
Menjadi
merdeka melalui berpuasa berarti kita mampu mengendalikan, mengekang, dan
melawan dari segala dorongan nafsu menguasai, menghegemoni, atau menjajah yang
itu secara prinsip bertentangan dengan kemerdekaan. Lapar, dahaga dan menahan
libido seksual adalah bagian fisikal eksoteris. Di balik itu, berjuta-juta
jenis nafsu jahat yang terus bergulat di bagian batin kita, sama sekali tidak
pernah telihat oleh realitas empiris. Puasa menembus nafsu yang bergeraknya di
alam batin, lalu mengobati, menyembuhkan dengan membuat batas-batas agar nafsu
tak bisa sekehendaknya sendiri.
Bagi kita yang
mampu membatasi nafsu dengan puasa, balasan pahalanya langsung dari Allah yang
Maha Besar. Bisa jadi semua jenis timbangan yang kita kenal, tidak akan mampu mengukur
besarnya pahala kita yang benar-benar berpuasa.
Pedakbaru, yk 2016
post by studen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar