Ucapan Terima Kasih
by Alkanjawi
Tanggal 1 awal
ramadan 1437 H, secara personal saya berkali-kali mengucapkan terima kasih
untuk tiga hal: kesempatan berpuasa di hari pertama bulan mulia, kedatangan
sakit, dan hujan lebat waktu berbuka untuk daerah saya tinggal.
Mengenai ilmu
terima kasih, saya tergolong orang yang masih dangkal pemahamannya. Namun
begitu, tak pantang untuk surut belajar mengucap kata terima kasih secara
terang-terangan dengan lisan dan hati mencoba untuk tulus. Kenapa mesti
berterimakasih? Setahu saya, terima kasih adalah satu dari dua inti ajaran
keselamatan bagi semua agama, terlebih Islam. kita perlu terima kasih karena
apapun yang menjadi bagian fungsional dan struktural pembentuk kemanusiaan
kita, semuanya adalah pemberian Allah. Lebih mendasar dari itu, makanan dan
minuman yang tersedia sebagai hidangan, sehingga bisa kita konsumsi untuk
penghasil energi, tiada lain kecuali semua itu diberi oleh Allah. Tanpa segala
macam pemberian itu, kita takkan pernah bisa dan jadi apa-apa.
Lalu kata Allah
“wasykuruu lillah” kepada semua manusia, itu merupakan perintah yang
nyata untuk senantiasa kita berterimakasih. Seterusnya dari berterimakasih, ekspektasinya
adalah kita menjadi ingat kalau kita ini sebenarnya bukanlah siapa-siapa dan
tidak punya hak atas apa-apa kecuali “sesuatu” yang semuanya dimiliki Allah.
Setelah bisa berterima kasih, kita akan bisa legawa menerima aturan-aturan,
yang dengan itu kita dilindungi, diarahkan, dan dijaga oleh Allah untuk
kemudian kepadanya kita semua kembali dengan keadaan baik.
Kata terima
kasih berlaku universal untuk apa saja. Tetapi, yang paling tinggi derajat dan
hubungan terima kasih hanyalah kepada Allah. Maksud saya, ucapan terima kasih
pasti ada sangkut pautnya dengan Allah dan menjadi dasar konteks perlakukannya
kepada kita. Dalam sejarah bangsa yang dimenangkan, adalah bangsa yang pandai
dalam mensyukuri nikmat apapun, termasuk keadaan itu nampak buruk di sebagian mata
manusia. Raja Sulaiman putra Daud yang sukses dengan ilmu pengetahuan dapat
membangun kerajaan dan bangsa hingga disegani bangsa lain, pada posisinya
sebagai hamba, ia mengembalikan segala sesuatu yang dimilikinya dengan berkata
“apakah dengan kejayaan ini akan semakin membuatku kufur ataukah syukur”.
Sulaiman bertanya pada eksistensi terdalamnya, dan jawaban yang alamiah
mengemuka adalah Sulaiman mampu mensyukuri dengan mengakui bahwa semua itu
merupakan pemberian Allah yang harus disyukuri.
Beda halnya
pada sikap manusia di sisi lain, yang misalnya dengan karakter angkuh dan tidak
kenal kata terima kasih. Dalam cerita sejarah, sebutlah Fira’un. tokoh terbesar
yang menguasai seluruh dataran Mesir zaman kuno. Keangkukan itu menghalangi Fira’un
dan manusia pengikutnya untuk rendah hati, untuk syukur dan mengakui diri
sebagai ciptaan yang lemah. Balasan lisan yang tidak pernah mengatakan terima
kasih ialah ia akan dilumat oleh semua kehendak yang tak pernah terucap namun akan
tiba-tiba meledak di dalam jantung dirinya sendiri. Kenyataanya, Musa bukanlah
orang yang datang dari kerajaan luar melawan Fira’un, melainkan seorang anak
yang dibesarkan, diajar strategi, dan dilatih taktik berperang di lingkungan
kerajaan sendiri. Dan, memang seringkali kerusakan, kekacauan, dan kehancuran
segala sesuatu yang merasa besar nan tak tertandingi justru penghancurnya
adalah sesuatu yang berasal dari dalam sendiri.
Memang pada
dasarnya sikap terima kasih berkorelasi dengan sikap rendah hati. Bagi kita
yang membiasakan diri muhasabah, instrospeksi, menilai, dan menimbang kebaikan
dan keburukan diri, kita akan tahu kadar ukuran kita untuk menjadi yang nriman
atau yang mbangkang. Namun, bilamana orientasi dalam kehidupan yang kita
jalani bukan berdasarkan kadar kemanusiaan kita, yang terjadi adalah kita semakin
bodoh dan “dilupakan” untuk menapaki tangga kederajatan yang lebih tinggi
sebagai manusia.
Bodoh dan
pelupa bukan warisan gen seutuhnya. Manusia menjadi bodoh atau pelupa lebih
pada ketidakmampuan mereka dalam mengelola diri, ruang, dan waktu yang semua
itu dipasrahkan kepada manusia sebagai faktor penunjang kemuliaan derajat di
hadapan Allah. Manusia yang tidak mengerti apalagi mengamalkan syukur, ia akan
lebih pada ketergantungan eksternal dan mengabaikan potensi diri yang
sebenarnya sama. Peran Allah menjelma pada fungsi alamiah yang bisa kita arahkan
untuk kebaikan. Sesungguhnya memang begitulah salah satu cara Allah mengenalkan
diri untuk dikagumi oleh akal dan perasaan manusia sehingga mereka menemukan
kesejatian eksistensial.
Konsekuensi apabila
manusia tidak bersyukur, ia tidak akan menemukan kebenaran di masa sekarang dan
dilewatkan untuk urusan penting di masa depan. Sekedar perumpamaan, saat Anda
butuh tenaga untuk membenahi atap rumah yang bocor, dan misalnya tetangga Anda,
Tarji, ia berkata “Saya panggilkan Pak Karjo saja”. Datanglah Pak Karjo, ia
membenahi atap rumah Anda yang bocor. Setelah dapat “imbalan” dari Anda, pak
Karjo tidak berterimakasih pada Tarji yang memanggilnya, maka yang terjadi
adalah putusnya “tali rizki” yang terhubung antara Pak Karjo, Tarji, dan Allah
sebagai perantara hubungan mereka. Bila nanti kejadian serupa terulang, Pak
Karjo akan dilupakan Tarji untuk urusan yang lebih penting. Tarji secara
alamiah akan menunjuk orang lain untuk dihubungkan dengan kerja dan rizki yang
berkaitan dengan Allah.
Hari ini,
dalam satu waktu tiba-tiba menyeruak suara batin saya untuk mengucap syukur
pada Allah. Saya harap Anda memahami trifakta yang membuat saya berterimakasih:
puasa, sakit dan hujan.
Pedak
Baru, Bantul, 6 June 2016.
,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar