Selasa, 08 November 2011

Positive Parenting, Cara-cara Islami Mengembangkan Karakter Positif pada Anak Anda


Judul : Positive Parenting, Cara-cara Islami Mengembangkan Karakter Positif pada Anak Anda
Pengarang : Mohammad Fauzil Adhim
Halaman : 280 hlm
Penerbit : Mizania
Kota Terbit : Bandung
Terbit : Juni 2007
Peresensi: Sismanto
19 April 2008 saya menyempatkan diri berjalan-jalan melihat peradaban Kalimantan timur, yang biasanya hanya terjebak pada rutinitas Kota Sangatta. Kota yang saya tuju adalah Samarinda, Ibu Kota Propinsi Kalimantan Timur.
Memang saya akui tidak mudah menemukan buku bagaimana mengasuh dan mendidik anak berdasarkan Islam. Buku-buku yang berkaitan dengan akhlak mereka batasi pada tataran aksi yang pada akhirnya adalah hanya keuntungan duniawi yang dicapai, dan sama sekali tidak menyinggung pahala atau dosa atas perbuatan yang meraka lakukan selama menjalani kehidupan di dunia. Problematika pendidikan di dunia Barat hanya mementingkan pada ketergantungan mereka atas solusi yang didasarkan pada pengalaman masa lalu dan data statistik. Tidak ada kesan “iman dan keyakinan” yang ditanamkan pada anak-anak pada proses ini.
Sementara buku praktis tentang parenting yang dating dari Barat kebanyakan menekankan pada kecerdasan dan sukses secara materiil, sementara buku dari Timur (termasuk Islam) sudah mengarah ke pembangunan karakter dan akhlak yang baik, namun kadang kurang membumi. Buku parenting ini mencoba menggabungkan sumber-sumber mutakhir Barat dan khazanah Islam yang sangat kaya bagaimana mendidik anak.
Pandangan saya terbelalak seketika melihat salah satu buku yang berjejal di rak-rak buku yang Gramedia Samarinda. Sebuah buku yang memang ditulis oleh orang yang tidak asing. Seorang penulis tetap kolom parenting majalah Suara Hidayatullah dan Pembina SDIT Hidayatullah Yogyakarta. Seorang yang punya cita-cita melahirkan generasi ulul albab, generasi pilihan yang cemerlang hidupnya, tajam pikirannya, jernih hatinya, kuuh jiwanya, dan kuat imannya. Sebuah obsesi yang tajam yang Beliau rangkum dalam buku Positive Parenting. Luar biasa.
Sekedar cerdas saja tidak cukup jika kita ingin mempersiapkan anak-anak yang mampu mengemban amanah pada jamannya, menggenggam dunia di tangannya, dan memenuhi hatinya dengan iman kepada Allah. Maka, menjadi orang tua harus berbekal ilmu yang memadai. Tidak cukup memberi member uang dan memasukkan mereka ke sekolah unggulan. Sebab sangat banyak hal tidak bisa di beli dengan uang (h.15).
Untuk itu, harus ada yang kita ubah. Jika kita mengingat nasehat Ali Ibnu Abi Thalib tentang anak-anak kita, tentang betapa mereka lahir untuk jaman yang akan dating dan bukan jaman saat kita menepuk dada hari ini, terasa betul harus kita siapkan bagaimana membangun visi hidup mereka. Harus kita siapkan pendidikan mereka dengan pendidikan yang menghiudpkan jiwa, menguatkan tekad, membangkitkan hasrat untuk berbuat baik, dan menempa sikap mental yang tangguh dan unggul untuk menentukan wajah masa depan.
Kita perlu berpikir bagaimana menjalankan tugas keayahbundaan yansg baik, yakni mengasuh, membesarkan, dan mendidik anak-anak secara positif. Kita harus bisa merangsang inisiatif-inisiatif mereka, menunjukkan penerimaan yang tulus, dan member perhatian yang hangat atas setiap kebaikan yang mereka lakukan. Kita perlu mengembangkan inisiatif positif dan melakukan pendekatan yang positif. Itulah positif parenting (h.141).
Secara sederhana positif parenting meliputi beberapa bagian. Pertama, konsep dasar yang melandasi. Kedua, sikap dasar yang perlu kita miliki dalam menerapkan psotif parenting (mendidik anak secara positif). Ketiga, prinsip-prinsip penting menjadi orang tua yang positif. Dan yang keempat, strategi mengasuh anak msecara positif agar membangkitkan potensi-potensi positif mereka, kecerdasan intelektual mereka, emosi mereka, dan juga dorongan moralistic-idealistik mereka yang bersumber pada kekuatan ruhiyah mereka (h.142).
Buku yang ditulis dengan bahasa yang cair, mengalir bagaikan air yang mengalir. Sesekali air itu tersangkut batu tapi tetap saja air itu mengalir kea rah yang ia tuju. Pun demikian dengan penulisnya, ia memberikan tambahan-tambahan contoh praktis yang kemudian mudah diaplikasikan.
Buku ini sangat membantu keluarga Islam yang ingin mendapatkan pendoman komplet tentang parenting. Salah satu cirri positive parenting yang digagas dalam buku ini adalah memandang anak dalam bentuk yang positif. Tingkah polah mereka menunjukkan potensi yang luar biasa yang ada dalam diri mereka. Sebuah buku panduan pengasuhan mendidik anak Islam modern yang akan mengubah diri dan keluarga anda. 
reff: http://mkpd.wordpress.com

Pendidikan Islam Multikultural Di Pesantren

Wajah  Multikulturalisme Pesantren
Judul Buku: Pendidikan Islam Multikultural Di Pesantren
Penulis: Dr. Abdullah Aly, M. Ag
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2011
Tebal: xvi + 368halaman
Peresensi: Supriyadi *)


Dalam praktik pendidikan dan kegiatan belajar-mengajar yang bernaung pada lembaga pendidikan, kerap kali terjadi diskriminasi yang diakibatkan oleh berbagai perbedaan. Di antara perbedaan tersebut adalah perbedaan kultur, agama, etnis, ras, dan lain sebagainya bahkan hingga perbedaan umur dan gender. Tidak jarang pula berbagai perbedaan tersebut berpengaruh pada proses pendidikan. Akhirnya, dalam hal itu terjadilah kesenjangan.
Sebagai sebuah solusi, pendidikan multikultural menawarkan pendidikan yang tidak melihat berbagai perbedaan tersebut, melainkan penghargaan segala perbedaan. Pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada siswa seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, kelas sosial, ras, kemampuan, dan umur agar proses belajarmenjadi efektif danmudah.Ruh atau esensi dari pendidikan multikultural itu sendiri adalah demokrasi, humanisme, dan pluralisme. Dengan demikian, fungsi dan tujuan dari pada pendidikan multikultural itu adalah melatih dan membangun karakter para peserta didik agar mampu bersikap demokratis, humanis, dan pluralis dalam lingkungan mereka.
Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural dilatarbelakangi oleh realitas kehidupan yang diskriminatif di Amerika Serikat. Oleh karena itu, muncullah gerakan hak-hak sipil yang memperjuangkan anti diskriminasi. Gerakan tersebut dikarenakan adanya praktik-praktik kehidupan yang diskriminatif, baik di tempat-tempat publik, di rumah-rumah, di tempat-tempat kerja, hingga di berbagai lembaga pendidikan.
Praktik kehidupan yang diskriminatif ini terjadi karena selama tahun 1950-an, Amerika hanya mengenal kebudayaan yang dominan dan mayoritas, yaitu kebudayaan kulit putih. Sementara golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut dikelompokkan sebagai minoritas dengan pembatasan hak-hak mereka. Padahal secara faktual, Amerika ketika itu dihuni oleh penduduk yang beragam asal-usulnya (hlm. 88).
Menguatnya gerakan-gerakan anti diskriminasi tersebut menjadi tonggak sejarah konsep multikulturalisme dalam pendidikan. Namun demikian, jauh sebelum zaman tersebut, telah terjadi pendidikan multikultural di dunia Islam pada masa Dinasti Abbasiyah. Hal itu tercermin dari berbagai lembaga pendidikan yang peserta didiknya berasal dari berbagai etnis, agama, umur, ras, dan lain sebagainya. Bahkan orang-orang Eropa pun menekuni ilmu pengetahuan di Timur (Islam) ketika Dinasti Abbasiyah berada pada puncak kejayaannya dalam bidang sains (ilmu pengetahuan).
Dalam konteks Indonesia era kini, pendidikan multikultural juga perlu diaplikasikan. Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan yang bernuansakan agama (Islam). Dalam implementasi pendidikan di pesantren, suasana multikultural sangat lekat. Di dalam sebuah pesantren, terdapat berbagai para peserta didik yang beragam. Dalam pesantren, terdapat para peserta didik yang berbeda-beda, baik dari segi etnis, bahasa, gender, kelas sosial, ras, kemampuan, dan umur.
Berbagai perbedaan tersebut sangat mampu dihargai oleh pesantren. Meski demikian, dalam pesantren tersebut hanya ada satu keragaman dalam beragama, yakni Islam. Multikulturalisme di pesantren hanya tidak menjangkau dalam ranah agama karena terkait dengan tujuan pesantren itu sendiri yang mengajarkan agama Islam. Meski demikian, justru agama bisa dijadikan media sebagai pembelajaran pendidikan multikultural secara teoretis dan pembekalan terhadap para peserta didik terhadap sikap yang demokratis, humanis, dan pluralis.
Walaupun mono-agama, pesantren sangat terbuka dengan berbagai perbedaan. Di dalam pesantren, terdapat berbagai peserta didik dari berbagai daerah yang membawa adat-istiadat mereka masing-masing ke pesantren. Berbagai umur peserta didik pun tidak dipermasalahkan dalam pesantren. Apalagi pesantren tradisional yang benar-benar menekankan kebersamaan dalam berbagai perbedaan. Sementara ajaran agama (Islam) juga mengajarkan untuk menghargai perbedaan dan anti diskriminasi. Dengan demikian, agama menjadi media dan alat untuk mengajarkan pendidikan multikultural.
Dr Abdullah Aly, MAg telah melakukan penelitian terhadap aplikasi pendidikan multikultural dalam sebuah pesantren, yakni di Pesantren Modern Islam Assalam, Surakarta. Dalam kesimpulannya, dinyatakan bahwa dalam dokumen kurikulum pesantren tersebut memuat nilai-nilai multikultural dan nilai yang kontradiktif terhadap nilai-nilai multikultural sekaligus (hlm. 338).
Penelitian yang dilakukan oleh Dr Abdullah Aly, MAg tersebut termaktub dalam buku yang berjudul “Pendidikan Islam Multikultural Pesantren”. Dengan membaca buku tersebut, para pembaca diajak untuk menjelajahi dunia pendidikan di pesantren yang berbasis agama Islam. Meskipun penelitian pada sebuah pesantren, hal itu tidak bisa dijadikan tolok ukur secara mutlak dalam referensi kepesantrenan dan multikulturalisme pesantren secara universal karena masing-masing pesantren yang ada juga memiliki berbagai karakteristik. Paling tidak, wajah multikulturalisme pesantren sedikit tersibak.
Akhirnya, pendidikan multikultural sangat perlu diaplikasikan dalam pendidikan di Indonesia. Telah kita ketahui bahwa di Indonesia ini terdapat berbagai etnis, agama, ras, dan berbagai perbedaan lainnya yang ada dari Sabang sampai Merauke. Untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa, implementasi pendidikan multikultural sangat solutif.
 
*) Peresensi adalah pengamat sosial pada Yayasan Ali Maksum, Yogyakarta

reff: http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/12/27538/Buku/Wajah_Multikulturalisme_Pesantren.html

Alam Pikir Orang Kita

Aktivitas paling tidak di hargai di sini, salah satunya adalah berpikir. Maka jangan sekali-kali mempertontonkan hal itu di depan umum! Me...