Tampilkan postingan dengan label enak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label enak. Tampilkan semua postingan

Jumat, 16 November 2018

Di Bawah Kebahagiaan Semesta


Di Bawah Kebahagiaan Semesta
Byalkan

Pada setiap penantian yang disertai kesabaran, Insyaallah hasilnya akan membawa kebahagiaan. Begitulah kalimat bijak disampaikan angin lewat, memberi ucapan selamat dan sukses atas peristiwa terjadinya tunganan antara Dlakirman dengan seorang gadis yang diketahui bernama Rohani.

Moment bersejarah itu terjadi tanpa basa-basi. Seminggu sebelumnya, melalui telepon Dlakir memberitahu sekaligus membujuk orangtuanya untuk berkunjung ke rumah orangtua Rohani di Kota Semarang. Kiranya hari selasa tanggal 6 Februari. Tidak tanggung-tanggung, kunjungan itu sekalian mengusung agenda khitbah atau tunangan. Orangtua Dlakir mengindahkan, selanjutnya dari jarak jauh, mereka menyusun bekal apa saja yang perlu dipersiapkan, terutama mengenai 'serahan' dan makanan yang akan dibawakan untuk buah tangan.

Rupanya ada kehendak lain, acara 'harus' diajukan lebih cepat. yaitu, sehari sebelum tanggal 6. Tepatnya hari senin tanggal 5 Februari, Dlakir berangkat dari Jogjakarta menunggang kuda besi dengan temannya, Abdul Hadi. Pagi itu Kota Jogja sedang diguyur hujan cukup deras hingga pukul 9. Sebelum menuju Semarang, Dlakir lebih dulu mampir kantor tempat dia kerja di ringroad utara untuk mengambil gaji kerja selama bulan Januari. Sesampai di kantor lekas-lekas dia menuju bagian keuangan. Sebelum perjalanan mereka berdua mengisi perut dahulu, soto ayam di warung sebelah gedung kantor lembaga tempat ia bekerja.

Sembari makan, mereka memikirkan jalan pintas menuju Semarang selain jalur Jogja-magelang-semarang, Dlakir memutuskan mencoba lewat arah timur, yaitu Jogja-klaten-boyolali-salatiga-semarang. Meski belum hafal benar jalur yang akan ditempuh, tetapi dengan tekad dan optimis ahirnya Dlakir begitu berani untuk mengambil jalur itu. 

Katanya, kalaupun nanti tersesat di jalan, paling hanya mutar-mutar satu jam saja lamanya. Masih ada waktu untuk sampai Semarang sebelum bayangan matahari melebihi tombak.

Benarlah prediksi itu. Selepas wilayah arah Gondang Winagoen, Pabrik gula Klaten, Mereka menuju pintas ke utara dan mulai masuk arah desa-desa di pedalaman klaten, Dlakir yang mengemudi agak lupa jalan. ia benar-benar lupa ingatan jalan. Padahal seminggu lalu pernah melewati ketika naik bus. Tetapi, walau ragu, Dlakir tetap saja melanjutkan jalan dengan mantap. 

Saking besar optimisnya, motornya tiba-tiba melesak ke dalam rimbunan perbukitan yang jalannya tak beraspal. Matahari pun nyaris tidak terlihat karena tertutup tebalnya daun-pepohonan. Kondisi yang habis hujan membuat jalan becek dan licin. Di wilayah klaten (yang diduga itu) bagian barat, Dlakir berhenti sejenak. DIa positif tersesat. Mau tanya tapi tidak ada orang lewat. Sinyal internet lenyap dan tidak bisa mencari tahu arah jalan lewat googlemap.

Perjalanan lanjut, tanpa berhenti. Ahirnya mereka sampai jalur agak besar tapi rusak parah dengan seribu lubang. Hanya truk besar muatan pasir yang lewat. Di sini, setiap tikungan saya berhenti untuk bertanya pada orang. Ketemu dengan orang ngarit, ia mengatakan bahwa saya terlalu jauh dari arah menuju Boyolali. Kemudian dia menunjukkan arah yang panjang berliku. Saya percaya saja mengikuti petunjuknya, Daripada tersesat lebih jauh lebh baik saya mengikuti petunjukknya.

Satu jam penuh hanya muter-muter sedangkan waktu Duhur telah sampai, Dlakir baru masuk wilayah bertuliskan Jatinom. Lega betul dia menemukan sebuah kampung, setelah lama terpentok alas pohon-pohon dan jalan buntu. Kampung dengan rumah yang sepi seperti tak berpenghuni. Nyaris tidak ada orang yang kelihatan. Setelah menunggu di tepi jalan beberapa menit, untung besar, ahirnya ada orang lewat juga. Beruntunglah orang itu bisa ditanyai. Dlakir melepas kemudi, gentian Dulhadi berkendara melewati Boyolali... hingga Salatiga.

Selama pejalanan melewati jalur itu, rasanya alam benar-benar bersahabat. Suasana mendung mengayomi perjalanan mereka sampai masuk Bawen, Semarang. Baru hujan kembali turun saat mereka sampai daerah Ungaran.

Di sisi lain, rombongan keluarga Dlakir berangkat dari Pati jam 9 pagi. Menurut kabar dari mbah Hasan yang membawa rombongan itu dengan mobilnya, mereka sudah sampai di MAJT jam 12.30 WIB. Dlakir masih di SPBU Bawen, Istirhat sejenak meluruskan punggung dan ishoma sebentar. Rombongan dari Pati pun juga beristirahat dulu. Alhamdulillah mobilnya lancar kembali setelah tadi sempat mengalami rewel.

Dari arah selepas Salatiga itu, gantian Dlakir lagi di depan, memboncengkan Dulhadi. Sampai di ungaran hujan kembali turun. Deras sekali. Ini membuat kecepatan bekendara mereka harus diturunkan, maksimal 50 KM/jam. Jarak pandang jalur utama menuju Semarang yang mereka lewati cukup ramai. Lebih baik berkendara pelan mengutamakan keselamatan.

Jam setengah 2 Dlakir mengabari lagi rombongan dan memintanya untuk persiapan lanjut perjalanan. Sekitar 10 menit lagi sampai lokasi. Rombongan mobil yang belum tahu lokasinya, mereka menunggu di dekat SMP 8 Candisari, awalnya Dlakir minta supaya rombongan berhenti dan menunggu untuk dijemput di depan Javamall. Lokasinya lebih mudah karena di pinggir jalan raya. Tetapi rombongan sudah terlanjur menuju di SMP 8, jadi butuh waktu untuk mencari rombongan itu hingga ketemu.

Sudah jam 2, Dlakir dan rombongan sampai di depan rumah Rohani. Para penumpang mobil turun. Satu persatu diberi payung agar tidak basah oleh hujan. Rupanya penumpang mobil itu lebih banyak daripada perkiraan. Dlakir mengira isi rombongan cuma 7 orang. Namun tetapi semua ada 8 0rang dewasa dan 3 anak-anak. Belum lagi jajanan bawaan. Mungkin jumlah beban yang berat itu mengakibatkan mobilnya sempat mati mendadak.

Masuklah rombongan dengan membopong barang seserahan itu, keluarga Rohani berjajar di depan pintu untuk menyambut tamu. Dlakir sendiri cukup terkejut karena barang bawaan rupanya diluar perhitungan. Bawaan yang lengkap. Isinya macam-macam makanan, tak ketinggalan juga pakaian. Semua tamu sudah duduk memenuhi ruang tamu. Orang-orang sudah siap untuk memulai acara. Dlakir dan Dulhadi yang motoran dari Jogja terkena hujan nyaris basah, mereka pun langsung ikut acara tanpa sempat ganti baju.

Bapak Dlakir tiba-tiba menyalami orang dari keluarga Rohani yang duduk di dekatnya. Dia biang “Sampean niki ingkang besan kulo”. Mendengar kalimat itu, orang yang disalaminya merasa kaget. Ternyata salah orang. Maka seisi ruangan itupun tertawa. Orang yang kaget itu rupanya wali daripada keluarga Rohani yang bertugas sebagi penyambung lidah. Dengan begitu, pak wali langsung menunjukkan kepada bapak Dlakir tentang siapa calon besan yang sesungguhnya.

Acara dimulai dengan sambutan dari pak wali, kemudian dibalas oleh wali kelaurga Dlakir, mbah Marno. Penjelasan maksud kedatangan adalah untuk dodok lawang sekalian lamaran. Dua kegiatan yang secara prosedur formal seharusnya berurutan terpisahkan oleh jangka waktu itu, di situ dilakukan secara langsung. Bukan untuk menyalahi adat tradisi, tetapi karena jarak antara pati-semarang cukup jauh, maka pertimbangan efektivitas penggabungan dodok lawang dan lamaran itu dibarengkan.

Walaupun di ahir acara pihak perempuan merasa tidak biasa karena persitiwa dodok sekalian lamaran, tetapi tidak masalah sebab sebelumnya Dlakir sudah komunikasi dengan keluarga Rohani. Bahwa dia akan dodok lawang sekalian lamaran. Orang-orang yang tidak tahu wajar jika kaget. Namun memang sebaiknya tradisi itu memang harus lentur dan bisa diotak-atik untuk kemaslahatan selama tidak membahayakan.

Usai acara formal semua hadirin makan-makan bersama, menu lauk ayam daging. Tadinya kita akan disuguhi makan dengan ayam kampung milik sendiri. Berhubung banyak ayam di rumah tinggal nyembelih saja. Tetapi orangtua Dlakir tidak setuju kalau keluarga Rohani menyembelih ayam. Takutnya itu secara filosifis nanti akan memutus silaturahmi. Lebih jauh, itu bisa menandakan besok rumah tangga yang akan dibagun akan mengalami perpisahan.

Mengenai perubahan tanggal menjadi 5 Februari. Ini menyesuaikan dengan perhitungan Jawa, sebab tanggal 6 adalah hari selasa, bagi orang Jawa, hari terahir dalam pasaran itu tidak baik jika digunakan untuk membuat acara lamaran atau pernikahan. Maka diajukan hari senin. Justru jika senin tanggal 5 itu merupakan hari paling bagus dalam bulan itu untuk membuat acara.

Pukul 15:30 Wib, acara selesai. Gerimis pun belum juga reda. Rombongan kembali ke Pati. Sebelum semua menaiki mobil, Dlakir memegang tangan adik perempuannya dan memberikan amplop untuk mengganti semua biaya keperluan acara tersebut. Dlakir dan Dulhadi kembali ke Jogja. Motoran lagi, di sepanjang jalan terus gerimis. Dlakir sangat riangnya. Agenda lamaran sudah sukses, dengan restu alam semesta semua rangkaian acara itu terlaksana dengan selamat. "Kita semua bahagia." Katanya.



 Yogya, 21 februari 2018.

Senin, 11 Desember 2017

APA KARYA ABADI NENEK MOYANG NUSANTARA?

APA KARYA ABADI NENEK MOYANG NUSANTARA?
By Hassan Alkanjawi

Seorang mahasiswi mengangkat tangan, ia minta ijin bertanya saat diskusi berlangsung di Lingkaran Kosong malam ini.

“Silahkan.” Ucap saya.

“Emmm...gini, Tadi bapak menjelaskan mengenai sejarah "bangsa nusantara" kita. Sejak dahulu mereka sudah eksisten berperadaban, bahkan sejak ribuan tahun silam. Nenek moyang kita pengembara yang tangguh, bahkan konon sampai ke wilayah gurun dan sempat ketemu dengan Abraham (Ibrahin As). Pelaut-pelaut kita yang hebat dengan pengalaman segudang mampu menaklukkan gulungan liar gelombang atlantik. Juga para leluhur kita yang ikut partisipasi dalam diskusi forum-forum elite filsuf Yunani Kuno, sehingga menolong Plato dan muridnya Aristotle mencapai kebijaksaan tinggi. Dan, jauh sebelum itu Budha Gohutama mencapai inspirasi pencerahan dalam perenungan di daerah Kalioso, sepulang berkunjung dari dalem seorang Empu yang berdomisili di Sragen. Tapi mengapa peran bangsa kita yang hebat tersebut tidak abadi dalam catatan sejarah dunia?”

Sedikit tidak terduga. Pertanyaan macam ini terlebih dulu perlu dijawab dengan membongkar pondasi pengetahuan kesejarahan umat manusia. Empat orang di hadapan saya nampak antusias menunggu bibir saya bergerak. Apa kiranya kalimat yang bakal keluar untuk menurunkan keteganan neuron di otak mereka. Karena ini forum diskusi saya, seperti biasa, saya persilahkan dahulu audien menanggapi.

Sudarta angkat suara:

“Benar sekali. Kita memang punya peradaban yang sangat tua, setua prasasti usia manusia. Sebelum ke inti pertanyaan, saya ingin menambah bahasan dari sedikit yang mungkin terlewat, bahwa kita ini punya sikap rendah hati paling tinggi di dunia. Seringkali kita memilih sembunyi di balik begron dan lebih senang melihat orang lain berhasil sedangkan kita adalah tokoh utama di baliknya. Betul nggak?”

Kesadaran para mahasiswa tergoda untuk melihat sejenak ke dalam alam bawah sadar. Tidak ada yang menyangkal jawaban Darta di atas.

Hmmm… itu mungkin poin penting sumber jawaban pertanyaanmu itu. Dahulu kala, bangsa kita hidup dengan kebiasaan hobi khas orang goa. Biasa bersemedi dalam lorong-lorong gelap untuk mencari kesejatian rasa. Itu awal-awal. Dalam proses panjang mencari rasa tunggal dalam keheningan jiwa dan raga, sejauh ini kita sudah mampu adaptasi walau di suasana keramaian.” Tambah Tuskris.

Kepala Elia tidak bisa tenang. Perempuan berkacamata bulat itu nampaknya ingin juga segera bicara.

Emmm… Sejarah bangsa kita seperti jilbabku ini. Panjang dan lebar. Tapi ada yang lebih panjang tersimpan di dalamnya. ya, rambutku yang tebal dari susunan ribuah helai.  hehe... Informasi mengenai siapa sejatinya kita, hanya setetes tinta yang meresap di pena sejarahwan. Kita harus meneruskan literasi sejarah kita yang belum tersingkap.”

Sutoaji berdehem, tapi mimiknya mesam-mesem, sepeti mengiyakan.

“Sengaja kan kamu tidak membuka rambutmu yang indah itu. Saya kira leluhur kita sudah kenyang dengan urusan Ilah, Isme, isu-isu wacana intrik atau apapun yang ternyata semua itu tidak menghasilkan apa-apa kecuali ndas mumet. Maka sungguh bijaksana, mereka bersedia menepi, tafakur dalam palung kesunyian dan diam-diam terus eksperimen dengan segala kekayaan alam untuk menciptakan sesuatu yang sangat berguna untuk anak cucu kelak di masa depan. Saya kira, ada sebuah mahakarya yang dihasilkan dan manfaatnya begitu besar hingga detik ini. Mahakarya itu dikenal dengan sebutan: bumbu instan. Butuh lebih dari puluhan abad untuk proses ujicoba peracikan dan kompoisi demi melahirkan rasa yang tidak murtad dari imajinasi.”

“Bumbu Mi instan maksudmu, hahaha?” Tanya Sudarta. Walaupun namanya "bumbu Instan", tapi untuk mewujudkan itu butuh ribuan tahun dan harus melewati dialektika logis dengan para filsuf, bergelut dengan alam liar dan meditasi panjang. Rupanya tidak sia-sia, atas upaya leluhur, mahasiswa kere-aktif yang sering kelaparan seperti kita-kita bisa tertolong dengan makanan enak dan terjangkau, Mie instan.


  Sudah-sudah cukup. Mari kita cover diskusi ini dengan berterimakasih sebanyak-banyaknya kepada nenek omyang bangsa Indonesia. Dengan kesabaran, ketulusan dan kerja keras beribu-ribu tahun itu telah menemukan resep ajaib. Resep bumbu instan ini menjadi pertolongan pertama bagi anak-anak pelajar seperti kalian. Bersyukurlah kalian bisa menikmati warisan mahakarya leluhur yang bijaksana itu. Maka, bila tidak ditemukan bumbu instan, apa yang bisa dipertaruhkan untuk survive bagi para pencari ilmu di tanggal tua?  

***
seperti dilansir MAJALAH VEMALE  berkat jasa leluhur kita, Mie asal indonesia paing enak seduia.




POSTED student

jgj, 12-12-17



.,

Alam Pikir Orang Kita

Aktivitas paling tidak di hargai di sini, salah satunya adalah berpikir. Maka jangan sekali-kali mempertontonkan hal itu di depan umum! Me...