Tampilkan postingan dengan label emha ainun nadjib. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label emha ainun nadjib. Tampilkan semua postingan

Minggu, 02 September 2018

TOEDJOEH TJIRI ORANG PENDIAM


TOEDJOEH TJIRI ORANG PENDIAM

 
the meaning of introvert

Saja bikin ini tjatatan oentoek chalajak pembatja jang boediman, soepaja pembatja tahoe sisi ragam sifat chas daripada mackhloek jang bernama manoesia. 

Tentoe di antara kita samoeanja, pastinja ada seorang jang tida’ banjak oemoeng sama fihak lainnja, soeka bitjara ke dalam dirinja sendiri, kalaoepoen bitjara sama orang, itoe soeara lirih” njaris ta’ terdengar koeping, senangannja menjendiri, kelajaban di alam renoeng kesoenjian, minim intraktion dan djoega siboek sama oeroesannja.

Itoe orang matjam tjontoh terseboet boekan sijapa”, melainkan saja personlijk. Kian saja fikir”, kelak waktoe di djaman modern, ilmoe pengetahoean djiwa menjeboet itoe sikap pendiam samahalnja istilah introvert ataoe introversion. 

Ketahoeilah wahai sekalian pembatja jang terpeladjar. Bahoea sanja itoe orang jang kiranja poenja kepribadian pendiam ataoe introvert, ada matjam keoenikan bawa’an yang djika toean pembatja ketahoei, toean akan memproleh banjak sekali keoentoengan dalam berinteraksi dengannja. Namoen sebeloem itoe, perlu kiranja pembatja tehoe tjiri ataoe characteristic itoe introvert, jaitoe:

Satoe; orang pendiam sebenarnja poenja banjak idea atoe tjerita’ yang tersemboenji dengan rapih di dalam memory ingatannja.

Doea, orang pendiam poenja hasjrat besar oentoek mendjadi poesat perhatian. (Boekan handja dari kalangan manoesia sadja, lho!)

Tiga, orang pendiam menarik perhatian lainnja dengan tjara jang aneh. Namoen itoe soeatoe wujud tjara dia oendjoek kelebihannja. Oempamanja; omong” sendiri, mendadak tertawa, berisik dengan benda”, atau bergerak dengan tjepat tanpa satoe kata poen.

Empat, orang pendiam menjoekai satoe aliran moesik tertentoe, jang itoe amat menempel di intelegencienja, bahkan tjenderoeng maniac.

Lima, orang pendiam kaja kosa kata, njaman bertjakap dengan soeara jang pelan, tertata, dan ritmic. Djika toean sebagai communicannja mesti pasang koeping, sebab itoe soeara bisa sadja hampir” ta’ terdengar, bahkan dengan djarak jang tjoekoep dekat. 

Enam, orang pendiam poenja kepedoelian jang soenggoeh kepada orang-orang jang dia anggap dekat dengannja. 

Toedjoeh, orang pendiam senang poedjian namoen ia koerang pedoeli pada hiasan diri. Seringkali malas bersih,” serta gaja keseharian jang jorok pada semoea barang”nja. 

Jang toedjoeh di atas itoe meroepakan hal ahwal daripada pengamatan empiric diri saja oentoek kenali itoe tjiri introvert. Itoe semoea saja koempoel”, dan tentoe sadja dapat lebih banjak lainan lagi roepa”nja. Bilamana toean pembatja djoempa orang jang kiranja poenja tjiri” chas terseboet, maka oentoek mendapatkan itoe perhatian orang pendiam, toean dapat menelisik itoe toedjoeh sebagai koentji oentoek lebih modeah masoek ke dalam kehidoepan itoe orang.

Soemedang, Agoestoes 2018.






posted by student

Senin, 06 Juni 2016

Ucapan Terima Kasih

Ucapan Terima Kasih
by Alkanjawi

Tanggal 1 awal ramadan 1437 H, secara personal saya berkali-kali mengucapkan terima kasih untuk tiga hal: kesempatan berpuasa di hari pertama bulan mulia, kedatangan sakit, dan hujan lebat waktu berbuka untuk daerah saya tinggal.

Mengenai ilmu terima kasih, saya tergolong orang yang masih dangkal pemahamannya. Namun begitu, tak pantang untuk surut belajar mengucap kata terima kasih secara terang-terangan dengan lisan dan hati mencoba untuk tulus. Kenapa mesti berterimakasih? Setahu saya, terima kasih adalah satu dari dua inti ajaran keselamatan bagi semua agama, terlebih Islam. kita perlu terima kasih karena apapun yang menjadi bagian fungsional dan struktural pembentuk kemanusiaan kita, semuanya adalah pemberian Allah. Lebih mendasar dari itu, makanan dan minuman yang tersedia sebagai hidangan, sehingga bisa kita konsumsi untuk penghasil energi, tiada lain kecuali semua itu diberi oleh Allah. Tanpa segala macam pemberian itu, kita takkan pernah bisa dan jadi apa-apa.

Lalu kata Allah “wasykuruu lillah” kepada semua manusia, itu merupakan perintah yang nyata untuk senantiasa kita berterimakasih. Seterusnya dari berterimakasih, ekspektasinya adalah kita menjadi ingat kalau kita ini sebenarnya bukanlah siapa-siapa dan tidak punya hak atas apa-apa kecuali “sesuatu” yang semuanya dimiliki Allah. Setelah bisa berterima kasih, kita akan bisa legawa menerima aturan-aturan, yang dengan itu kita dilindungi, diarahkan, dan dijaga oleh Allah untuk kemudian kepadanya kita semua kembali dengan keadaan baik. 

Kata terima kasih berlaku universal untuk apa saja. Tetapi, yang paling tinggi derajat dan hubungan terima kasih hanyalah kepada Allah. Maksud saya, ucapan terima kasih pasti ada sangkut pautnya dengan Allah dan menjadi dasar konteks perlakukannya kepada kita. Dalam sejarah bangsa yang dimenangkan, adalah bangsa yang pandai dalam mensyukuri nikmat apapun, termasuk keadaan itu nampak buruk di sebagian mata manusia. Raja Sulaiman putra Daud yang sukses dengan ilmu pengetahuan dapat membangun kerajaan dan bangsa hingga disegani bangsa lain, pada posisinya sebagai hamba, ia mengembalikan segala sesuatu yang dimilikinya dengan berkata “apakah dengan kejayaan ini akan semakin membuatku kufur ataukah syukur”. Sulaiman bertanya pada eksistensi terdalamnya, dan jawaban yang alamiah mengemuka adalah Sulaiman mampu mensyukuri dengan mengakui bahwa semua itu merupakan pemberian Allah yang harus disyukuri.

Beda halnya pada sikap manusia di sisi lain, yang misalnya dengan karakter angkuh dan tidak kenal kata terima kasih. Dalam cerita sejarah, sebutlah Fira’un. tokoh terbesar yang menguasai seluruh dataran Mesir zaman kuno. Keangkukan itu menghalangi Fira’un dan manusia pengikutnya untuk rendah hati, untuk syukur dan mengakui diri sebagai ciptaan yang lemah. Balasan lisan yang tidak pernah mengatakan terima kasih ialah ia akan dilumat oleh semua kehendak yang tak pernah terucap namun akan tiba-tiba meledak di dalam jantung dirinya sendiri. Kenyataanya, Musa bukanlah orang yang datang dari kerajaan luar melawan Fira’un, melainkan seorang anak yang dibesarkan, diajar strategi, dan dilatih taktik berperang di lingkungan kerajaan sendiri. Dan, memang seringkali kerusakan, kekacauan, dan kehancuran segala sesuatu yang merasa besar nan tak tertandingi justru penghancurnya adalah sesuatu yang berasal dari dalam sendiri.

Memang pada dasarnya sikap terima kasih berkorelasi dengan sikap rendah hati. Bagi kita yang membiasakan diri muhasabah, instrospeksi, menilai, dan menimbang kebaikan dan keburukan diri, kita akan tahu kadar ukuran kita untuk menjadi yang nriman atau yang mbangkang. Namun, bilamana orientasi dalam kehidupan yang kita jalani bukan berdasarkan kadar kemanusiaan kita, yang terjadi adalah kita semakin bodoh dan “dilupakan” untuk menapaki tangga kederajatan yang lebih tinggi sebagai manusia.

Bodoh dan pelupa bukan warisan gen seutuhnya. Manusia menjadi bodoh atau pelupa lebih pada ketidakmampuan mereka dalam mengelola diri, ruang, dan waktu yang semua itu dipasrahkan kepada manusia sebagai faktor penunjang kemuliaan derajat di hadapan Allah. Manusia yang tidak mengerti apalagi mengamalkan syukur, ia akan lebih pada ketergantungan eksternal dan mengabaikan potensi diri yang sebenarnya sama. Peran Allah menjelma pada fungsi alamiah yang bisa kita arahkan untuk kebaikan. Sesungguhnya memang begitulah salah satu cara Allah mengenalkan diri untuk dikagumi oleh akal dan perasaan manusia sehingga mereka menemukan kesejatian eksistensial.

Konsekuensi apabila manusia tidak bersyukur, ia tidak akan menemukan kebenaran di masa sekarang dan dilewatkan untuk urusan penting di masa depan. Sekedar perumpamaan, saat Anda butuh tenaga untuk membenahi atap rumah yang bocor, dan misalnya tetangga Anda, Tarji, ia berkata “Saya panggilkan Pak Karjo saja”. Datanglah Pak Karjo, ia membenahi atap rumah Anda yang bocor. Setelah dapat “imbalan” dari Anda, pak Karjo tidak berterimakasih pada Tarji yang memanggilnya, maka yang terjadi adalah putusnya “tali rizki” yang terhubung antara Pak Karjo, Tarji, dan Allah sebagai perantara hubungan mereka. Bila nanti kejadian serupa terulang, Pak Karjo akan dilupakan Tarji untuk urusan yang lebih penting. Tarji secara alamiah akan menunjuk orang lain untuk dihubungkan dengan kerja dan rizki yang berkaitan dengan Allah.

Hari ini, dalam satu waktu tiba-tiba menyeruak suara batin saya untuk mengucap syukur pada Allah. Saya harap Anda memahami trifakta yang membuat saya berterimakasih: puasa, sakit dan hujan.


Pedak Baru, Bantul, 6 June 2016.




post by student 






Jumat, 15 April 2016

Imam dan posisinya




Setelah berpikir dan merenung tentang jalan sebuah keputusan yang akan diambilnya dalam urusan cinta, namun tak jua mendapati solusi yg srek, Alkan tidur lebih awal dari pada malam biasanya. Ia berdoa penuh hadap agar dapat gambaran ilham jawaban dari Tuhan melalui mimpi. Inilah narasi mimpi itu:
***
Di sebuah suaru yang berada di pinggir sungai tepian desa, waktu senja telah tiba dan azhan maghrib berkumandang. Alkan sangat kenal dengan surau itu, tak lain adalah tempat dimana waktu kecil dia belajar mengaji ilmu agama. Di dalam surau, suasana masih sepi, kelihatannya hampir tidak ada orang selain dirinya. Bahkan kiai pun tidak ada di dalam surau, padahal sholat jamaah sudah tepat waktunya.
Merasa ada orang yang baru datang di dalam surau, maka Alkan langsung berdiri untuk shalat mengajak jamaah orang tersebut. Alkan ingin sekali menjadi imam, dan jadilah meraka sholat berjamaah. Di kala niat takbiratul ikram, alkan melafalkan kalimat “imanan lillahi taala.”
Setelah takbir itu ia baru sadar, ternyata Alkan yang posisi berdirinya di tengah ruangan surau itu, ada beberapa orang lain yang dalam satu jamaah posisinya secara garis shaf berada di depan Alkan. Bahkan seorang yang sedang sama-sama sholat itu, posisinya hampir mendekati bilik tempat imam.
Setiap orang (sekitar 10) itu telah berdiri meghadap kiblat sebagai satu-satunya arah sholat. Alkan berdiri di dekat pintu sisi samping surau, dia berdiri paling kiri di antara orang-orang yang berdiri.
Dalam dirinya, Alkan jadi merasa ragu terhadap posisi ia berdiri. Akankah boleh, kalau dalam berjamaah imam sholat posisinya tidak di paling depan. Apakah sah atau tidak sholatnya itu. Kalau awal-awal dia yakin telah menjadi imam sholat, tapi rupanya, ternyata ada orang lain yang secara posisi berada di depannya, keyakinannya itu berubah menjadi keraguan antara sah atau tidak sah. Dia sangat bergejolak, namun tetap saja ia sekuat hati meyakinkan diri mengalahkan keraguan dan meneruskan sholatnya.
Alkan amatlah awam dalam masalah tersebut. Persoalan posisi ini adalah yang pertama kali dialaminya. Betapa dilema dia.
Namun, tiba-tiba saja di tengah orang sedang pada sholat itu, pak kiai datang dari pintu sisi. Kiai yang diikuti beberapa santrinya itu, sambil berjalan lantas saja berkata “sudah-sudah, sholat kalian tidak sah”.
Terbangunlah Alkan dari tidurnya. Sementara hari sudah berganti. 

inaf! interpretasi tobe continue...
Jumat kliwon, 8 rajab 1437 H. 15 April 2016.



posted by student

Kamis, 18 Februari 2016

Membaca “Indonesia Bagian Dari Desa Saya”

Membaca “Indonesia Bagian Dari Desa Saya”
Alkanjawi


Sore tadi bila tak mendung senja pastilah indah. Tapi hujan, yang tergerai dari awan gelap begitu derasnya membasahi bumi. Kampus timur, sepanjang jalan dari Pustaka Fatin, saya pinjam sebuah buku karya Emha. “Indonesia Bagian Dari Desa Saya”. Saya sampaikan diri menerjang basah untuk kuasa duduk di bangku tempat parkiran Kampus timur. Persis di belakang panggung demokrasi. Lebatnya hujan membasahi setiap jengkal peristiwa. Saya mulai membuka buku itu tanpa ragu. Segera ingin memuaskan rasa ingin tahu, apa yang akan dibicarakan Emha. Seperti apa logikanya. Dan, muatan-muatan apa yang berserakan di dalam setiap helai lembaran dari buku terbitan kompas itu.
Jauh di atas sana langit gelap. Suara geledek seolah membuat atap langit retak. Seolah saya menjadi terancam, apakah yang saya baca ini bagian dari bacaan “terlaknat” sehingga langit tidak rela dan mengutus halilintar untuk segera menyambar saya yang sedang membaca. Tapi alhamdulillah, itu tidak terjadi. Di bilik kecil suara hati berbisik pelan sekali. Ia berkata: suara gemuruh di langit itu bukan ancaman yang menakuti setiap bulu kuduk di tengkuk yang menyangga kehidupanmu. Itu adalah suara musik, drum yang dipukul, perkusi yang ditalu, kendang yang ditabuh, dan semua alat musik yang dibunyikan oleh kegembiraan penghuni langit karena menyambutmu sebagai pembaca. Subhanallah, maka saya tertunduk sejenak. Tuhan berilah mereka ketabahan menerima karuniamu yang berbentuk gelegar menyertai hujan. Walaupun nampak mengerikan suaranya, mendebarkan lecutan kilat petirnya, dan mengagetkan suara dentumannya, tapi itu adalah karuniamu atas indera kami yang masih berfungsi dengan baik. Tuhan, dengan itu semua, arahkanlah kami untuk bersyukur.
Aku baca basmalah. Menyebut sang maha pemurah dan penyayang. Romo Mangun memberi prakata untuk buku itu. Romo Mangun Wijaya, jujur sekali dalam tulisannya itu benar-benar mengantarkan segenap pembaca untuk tidak tersesat dan salah arah memandang belantara isinya. Romo Mangun membesarkan hati “calon pembaca” untuk melihat dengan skup luas setiap tulisan-tulisan yang murni tergurat dari kegelisahan seorang anak muda yang ingin memperlihatkan kepada sekalian pembaca tentang hal-hal remeh tapi sangat penuh makna. Kita dituntun untuk menghayati – minimal diri kita sendiri – atas fenomena perubahan sikap hidup masyarakat. Desa yang bukan sekedar bayangan di dalam sebuah negara, melainkan negara yang banyak mengintervensi atas desa dan segala lini yang menyertainya. Desa asal dari segala macam yang kita sebut sebagai Indonesia sekarang.
Tak diamlah halilintar sepanjang saya meniti kata demi kata Romo Mangun Wijaya itu. Bahkan suaranya terus menderu, mengiringi keramaian dalam pikiran saya yang diajak untuk bergejolak. Sebagai manusia, yang muda, yang harus gelisah, yang mesti kritis, yang tidak boleh lemah dan malas untuk mensiasati setiap kejadian untuk menggali hikmah sebanyak mungkin, semampu dan sekuat kita menemukan apa yang dapat diungkap sebagai kebaikan dan keindahan.
Desa era 70-an adalah desa yang desa. Maksudnya, desa seperti gambaran geografis dengan tanah sawah menghampar hijau dan rimbun pepohonan asri. Tak sekedar itu, desa era masa lalu itu membawa ciri khas sebuah kehidupan yang sarat akan keterbukaan, unggah ungguh, gotong-royong dsb. Tapi klise-nya, desa yang shot mudah terpantik oleh modernisme yang secara cepat menjadi kebudyaan baru. Kebudayaan montor, kebudayaan layar tancep dan lain sebagainya yang menunjukkan jumawanya keserbamewahan hidup. Benar kesebamewahan hidup ini menjadi salah satu pemantik segala macam problem yang menggejala luas di desa-desa lain. Emha memotret desa kelahirannya di Jombang Jawa Timur. Dan, tentu saja pembaca tidak akan terpaku pada sebuah desa di Jombang itu, melainkan seperti diantarkan untuk mengunjungi desa-desa lain dalam memori kehidupan kita masing-masing.  
Saya sendiri “mbrojol” ke dunia era 90-an. Sangat mungkin, era 90-an di desa saya itu seperti tahun 80-an di desa lain, atau era 70-an di desa yang lainnya. Desa saya itu jauh cukup terpencil. Proses modernisasi di desa dengan datangnya alat-alat pelengkap modernisasi itu baru menggejala setelah saya bisa mencium bau asap knalpot dari speda motor satu-satunya di desa. “Semacam bau asing yang menawarkan impian dan kemajuan.” Saya melihat dengan jelas – gambar-gambar hidup di televisi yang hanya ada 3 biji di rumah-rumah tertentu– yang menakjubkan. Itulah modernisasi yang mempertontonkan keajaiban. Tapi di satu sisi lainnya, betapa modernisasi dengan alat-alat canggih itu sedemikian merusaknya bagi tatanan sistem budaya yang sejak ratusan tahun dijaga ketat oleh desa.
Apa yang mengerikan? Perubahan! Masyarakat desa kolektif menerima paradigma modernisme tanpa tendeng aling-aling. Sebagian kecil masyarakat tetap berpegang pada jiwa adiluhung dan normatika yang tidak nampak yang hidupnya ada dalam batin yang diyakini. Lama berlalu lama, modernisme dengan kenyataan yang ditawarkannya itu sedikit banyak mengisi ruang keyakinan dan menggeser jiwa adiluhung yang amat dijaganya dahulu. Perubahan banyak menghilangkan inti desa. Dan, tanpa banyak disadari karena desa telah kehilangan suatu pegangan prinsip, maka terjadilah kekacauan sistem budaya dan tradisi yang dianggap menjadi kaku oleh masyarakatnya sendiri.
Tentu saja ini akibat sistemik. Akibat dalam praktiknya lebih amat mengerikan. Modernisasi dalam sistem pemerintahan, sejak masyarakat dikenalkan pada pemilu, umpamanya, praktis sistem menjadi terkotak-kota dan tidak jarang ada yang terpecah belah. Watak desa yang keras dan cenderung bersikeras bertandang cepat, pemilu berdampak sengketa, sentimen, dan konflik yang menyisakan pilu. Terlebih, umat menjadi juga terbelah sebab diam-diam digerakkan oleh kepentingan politik. Secara tidak sadar ini terjadi ketika praktik solat hari raya, satu kelompok masyarakat memilih berjamaah di lapangan, satunya lagi di masjid. Bukan masjid tidak muat kantetapi umat sengaja dihimpun oleh individu tertentu untuk menambah kuantitas sebuah harga tertentu pula.
Banyak sekali gambaran-gambaran tentang kehidupan masyarakat kita yang dituliskan Emha kini seperti tidak berubah dari pertumbuhan desa. Bahkan kita seringkali lihat akibat modernisme itu desa semakin acak-acakan. Kita tahu masyarakat sampai hari ini tidak berhenti berlomba-lomba menumpuk lumbung materi, meningkatkan gaya hidup, meghimpun segala kemampuan untuk memperkaya diri dan untuk terlihat semakin megah. Kita tahu di setiap rumah sekarang dilengkapi ruang parkir kendaraan, rumah berwajah kaca, berlantai mengkilap. Hanya sebagian yang menjadi pemenang itu senang membanggakan diri dengan cara demikian. Kaum lain dalam ekosistem menjadi tumbal sejarah dengan menjangkit sakit hati berada dalam kemiskinan dan kemelaratan.
Helilintar berlomba-lomba lagi menyambar kesadaran. Kini di desa kita rasakan, sangat jarang orang beristighfar di surau atau langgar-langgar di pinggiran kali. Suara-suara pujian kepada Tuhan semakin lirih, suara salawatan semakin jarang digantikan riuh ramai sound sistem dan kaset-kaset seharga 15 ribuan. Betapa masyarakat kita lebih ringan tangan mengeluarkan uang sedikit untuk “membayar” nilai-nilai yang luhur adiluhung itu. Sedang hujan senja membawaku terseret arus dan tenggelam pada pikiran untuk berteriak-teriak: “haiii Halilintar! hebat nian menyambar udara di langit yang gelap pekat.” Entah gelegar itu suara kegembiraan penghuni langit atau kekecewaan yang mulai menebal pada awan yang menjadikannya gemuruh.


Yk, 19 February 2016


studen.

Alam Pikir Orang Kita

Aktivitas paling tidak di hargai di sini, salah satunya adalah berpikir. Maka jangan sekali-kali mempertontonkan hal itu di depan umum! Me...