Rabu, 01 Juni 2016

Siapa Nama Anak Kandung (Intelektualitas) Kita?

Siapa Nama Anak Kandung (Intelektualitas) Kita?

“Ia yang memikul dirinya”, ialah seorang lelaki gagah jiwanya. Ia menempuh laku berjalan jauh untuk memanjakan kekuatan kaki. Sesampai di tengah hutan belantara, tiba-tiba ketemulah ia dengan kerumunan orang-orang ramai sedang berdagang (seperti pasar). Ia dilempar pertanyaan “kisanak siapa, dari mana mau kemana?” ia sejenak diam. Kerumunan orang-orang itu bertambah banyak. Nampaknya bukan hanya manusia. Bayangan-bayangan lain ikut menelusup dalam pertanyaan keras itu. Ia menjawab “Aku Among Raga. Aku dari Aku hendak menemui Aku.”

Among Raga merupa menjadi pudarnya tali atas ikatan pertanyaan hakikat “siapa”. Belantara hutan dan riuh suara-suara itu rupanya ada di dalam dirinya sendiri. Among Raga berjalan jauh ke dalam diri. Among Raga adalah kiasan nama bagi setiap jiwa dan hidup menggerakkan raga, ia bisa nama saya, bisa nama anda, bisa nama siapa saja.

Kisah fiktif di atas bukan dari masa silam. Kisah tersebut saya bikin untuk kita pelajari tentang eksistensialisme dan keberlangsungan diri yang ada kaitannya dengan komunitas kita “komunitas tanpa nama”. Betapa nama itu bagi saya adalah seperti pertanyaan keras yang mengganjal dalam diri (dan seharunya kesadaran kolektif kita juga senada). Gara-gara tak kunjung dirubah nama itu, dada saya dipenuhi was-was tak terkendali,  pikiran negatif seperti mengintai untuk siap mempengaruhi semua sikap menjadi buruk.

Berikut ini salah satu alasan, kenapa batin saya selalu gusar karena sebuah nama.

Adalah tatkala zaman ketiga, segala macam apa saja cepat sekali berlajunya, teknologi, komunikasi, jaringan dari yang terang sampai yang gelap tumbuh dengan prosentase begitu pesat, padahal kita sangat sadar sedang menikmati produk instan dari itu semua. Kita menjadi telah mengemuka menjadi post agraris, post tradisionalis, atau post-post lain yang pada intinya kita sedang disugui modernitas yang masih menawan dan luar biasa. Akses kemudahan ini saya rasakan semakin mengikis dan sedikit menenggelamkan pondasi eksistensialitas manusia sebagai individu yang “person”. Lihatlah teknologi sosial media, berapa miliar akun yang bukan murni asli. Pengelola akun menyembunyikan identitas asli, mereka mengganti sebagian atau keseluruhan menjadi samaran semua.

Apa tuntutan dari kemudahan? Harapannya manusia semakin jujur dan menyatakan diri sebenar-benarnya. Tapi sungguh itu menjadi begitu sulit untuk dilakukan. Adanya kemudahan, justru kita berlomba-lomba membuat kemungkinan-kemungkinan baru yang jauh melepaskan diri dari realitas keaslian kita sendiri. Dan, yang terjadi berikutnya adalah pertanyaan yang hilang “siapakah aku?”

Seorang kawan saya, sebutlah namanya Dulkardeng, sejak lima tahun lalu menjadi pengguna banyak jejaring komunikasi pada sosial media. Saya amat yakin kalau anda mencari informasi tentang nama itu di internet dengan mengetik di secarh engine “Dulkardeng”, tidak ada satu kata pun yang merujuk ke dia. Dulkardeng menggunakan nama lain, nama alias, atau nama samaran untuk menutupi identitias aslinya sehingga ia menemukan keleluasaan untuk melakukan apa saja tanpa merasa kawatir akan ketahuan. Misalnya menggoda akun cewek atau memaki suatu kelompok yang tidak disukainya.

Banyak kemungkinan lain di luar pengetahuan Dulkardeng terkait privasi atau kemanan menggunakan media. Tetapi, justru karena ketidaktahuan itu, ia menjadi besar keberanian dan tajam taring untuk menjadi pemangsa bagi yang lainnya di kandang sosial media. Tentu saja ketika orientasi penggunaan nama itu tidak sesuai, ia akan kehilangan kesempatan menjadi positif di mata kebenaran.

Dulkardeng adalah analogi kecil. Di dunia ini, banyak kelompok lain yang ekslusif dan secara terang-terangan memberi pengumuman dari akun “anonimous” seperti sering dilakukan para hacker. Manusia bertopeng yang juga menyembuyikan identitas individu saat melakukan propaganda atau menyebar ancaman untuk kepentingan tertentu.

Jadi, pendapat sementara saya, di zaman modern ini justru kemanusiaan kita menjadi jauh lebih pengecut dari pada zaman sebelumnya. Kita menampakkan diri dengan wujud yang lain, sedangkan untuk berhadapan langsung face to face secara real tidak pernah berani. Kita tanpa nama menjadi berbahaya dan berpotensi membahayakan bagi yang lain. Tanpa identitas nyata, kita mudah dikuasai arwah pemangsa untuk ‘membunuh” orang lain. Kita tanpa hakikat tanda pengenal seperti pejalan yang menuju ketersesatan tanpa arah tujuan yang bermakna.

Harapan
“Komunitas tanpa nama “ adalah sebuah perkumpulan civitas anak-anak muda akademis Yogyakarta. Mereka sedang belajar menggali kemampuan kreativitas dan menuangkan gagasan atau pikiran mereka melalui karya tulis. Beberapa bulan telah berlaku, setiap seminggu sekali mereka bertemu untuk mengkaji, mengkritisi, merekonstruksi bahkan kadang dekonstruksi terhadap karya tulis yang mereka buat sendiri. Komunitas kecil nomaden ini menyimpan api kecil yang positif untuk menerangi (minimal) kegelapan di ruang kreativitas mereka sendiri.

Orientasi terciptanya sebuah nama kelompok ini maksud saya untuk mengisi “kekosongan” identitas sosial atau yang lainnya. “Komunitas tanpa nama”  hendaknya menjadi sifat temporer dan akan segera tergantikan dengan nama yang baik dan mampu mencerminkan filosifi kemanfaatan. Namun, sampai dua semester lewat, belum kunjung jua kita memperolah nama. Apakah sesulit itu untuk menentukan sebuah nama bagi komunitas? Dalam konteks ini, sungguh menemukan sebuah nama adalah kesulitaan yang maha benar.

Saya personlijk, tidak ingin membawa komunitas ini atau menjadi sebab bagi komunitas ini menuju ke belantara dunia underground. Tidak pula ingin stempel silang merah kultural mendarat di jantung atau seluruh kulit batang tubuh kita.

Sebagai bagian dari komunitas kecil ini, saya dan kita terjebak pada tarik ulur wacana perubahan nama. Saya lebih khawatir jika komunitas yang bersama-sama kita lahirkan ini tidak punya nama baik, sehingga pada saat jibril memberi ilham pengetahuan langit bagi setiap nama, kita terlewatkan. Saya takut, ketika masa pertanggung-jawaban tiba, nama kita disebut di depan gerbang ruang timbangan, kita tidak memberikan muatan kebaikan sama sekali. Saya ngeri, tanpa nama kita menjadi ancaman bagi ketenteraman dan keselamatan manusia.

Sekelumit menukil dari tradisi pemimpin para nabi, sesuatu kebaikan yang lahir mestinya kita sambut dengan gembira. Kemudian pasca kelahiran itu kita beri nama dengan nama-nama yang baik. Kreteria minimal baik itu adalah apabila orang mendengar nama itu disebut, ia akan merasa aman, nyaman dan bergairah untuk melakukan kebaikan. 

Pemberian nama pada komunitas kita ini saya kira tidak perlu lagi diulur-ulur.  Komunitas ini adalah anak intelektualitas kita, anak ideologis kita yang akan segera tumbuh dan membuahkan kreativitas untuk kemajuan bangsa. Setelah terpilihkan nama, kita akan bancaki, kita akan syukuri dengan memintakannya kepada Tuhan agar menjadi komunitas yang berkah dan bermanfaat dunia ahirat.

Dan, bila tetap bernama “komunitas tanpa nama” malah justru laiknya “pahlawan bertopeng” yang selalu menyembunyikan identitas dan kerja demi keselamatan khalayak banyak, secara apapun untuk zaman kekininan ini, saya tak berani memberi garansi.


Alkanjawi, 02 juni 2016.




post by Studen

Humanisme; Manunggaling Kawula, Gusti!

Humanisme; Manunggaling Kawula, Gusti!

Malam enam hari menjelang Bulan Ramadhan 1437 H, saya melekan sampai pagi. “Melekan” arti terbatasnya yakni terjaga dengan mata terbuka. Makna luasnya adalah terjaganya mata hati, tidak tidur lahir batin, dan waskita diri memandang dengan mata alam semesta untuk melihat fenomena-fenomena serta problematika yang (akan) terjadi pada keadaan dunia.

Memandanglah mata saya pada lokus Indonesia, dan jadi merah panas mata ini. Betapa tidak, kasus demi kasus yang muncul ke permukaan dunia realitas nasional kita banyak dipenuhi kabar buruk, salah satunya degradasi moral. Seorang Anak SD diperkosa 21 pria, menyusul berita 2 minggu lusa pelajar SMP dicegat 16 lelaki, diperkosa dan dibunuh di tengah hutan. Pembunuhan sadistis Mr. Cangkul dan kasus pencabulan guru agama terhadap muridnya di sebuah SMA. Sungguh bergetar mata hati ini menyaksikan kemanusiaan kita telah jauh terperosok dalam alam mahkluk kebinatangan.

Lalu, sebenarnya apa yang menggelincirkan akal sehat kita sehingga jatuh moralitas dan keadaban kemanusiaan. Mungkin, karena keterlaluan melencengnya paradigma dalam kita melangkah, atau salah tingkah laku kita dari pakem normatif ajaran kebenaran agama. Atau versi ketiga, kita ini sudah sedemikian parahnya disesatkan oleh nafsu jahat di dalam diri kita sendiri.

Saya tunggu pendapat para ahli agama, ahli jiwa, ahli sosial, ahli budaya atau ahli apa saja untuk mengungkapkan akar masalah dan solusi kongkrit tentang persoalan kita ini. Kita benar-benar butuh obat manjur untuk penyakit yang sedang menggejala di sekujur tubuh bangsa. Pangkal bulu alis sebelah kanan saya sampai gatal. Kenapa tak kunjung para ahli itu “turun tangan” turut campur memberi solusi persoalan seradikal mungkin. Kebanyakan kita malah menampakkan diri dengan cara mengecam, mengutuk, membenci mereka (pelaku) untuk dihukum seberat-benarnya. Saya amat mengira, kalau hukuman kebiri atau tembak tepat di jantung pelaku tidak bakal efektif.

Persoalan moral kemanusiaan kita ini begitu akut, banyak sebab yang menjadi imbas anak-anak manusia kita kehilangan harkat kemanusiaannya. Saya ungkapkan kegelisahan ini untuk renungan kita semua, namun, sebelumnya mohon maaf bila yang saya ungkapkan masih kurang kuat: bahwa kita sebagai bangsa berketuhanan telah kalah oleh gerakan-gerakan demokrasi yang digerakkan oleh “sang maha uang”. Uang memaksa kita terbawa arus “ada uang ada tuhan”, artinya, “uang” menggiring manusia menuju menuhankan “uang” itu sendiri.

Katakanlah manifestasi “uang” itu adalah “kekuasaan”. Seorang yang memiliki “uang”, ia merasa bisa bangkit eksistensialisme-nya untuk menguasai sesuatu secara fisik. Ia seolah berkuasa membeli “buah di taman berpagar” atau bahkan bisa merampas dengan paksa “buah” itu dan melemparkan uang segepok sebagai penggantinya. “Uang” menjadi substansi materi telah berakibat pada manusia yang mengedepankan kepuasan fisik untuk sebatas kepuasan “yang tampak”. Di hadapan uang, sekarang manusia seperti benda yang bisa ditukar dengan harga. Dari “uang” tersebut membentuk bawah kesadaran tentang “dengan uang kita bisa membeli segalanya.” Inilah kesadaran palsu yang menghasilkan dehumanisasi di dunia sekarang.  

Terusan kompleksitas paradigma kita yang sulit lepas dari jerat benang kusut materialitas fisik, nyatanya nalar pikir kita juga semakin lapuk untuk kuat mencerdasi diri dengan ajaran agama. Maksud saya setiap ajaran agama pasti punya dasar menjunjung harkat kemanusiaan yang menjadikan manusia sebagai aspek utama dari segala macam kepentingan. Materialisme ternyata mambawa pada pendangkalan kecerdasan diri untuk menerima keluhuran dari norma ataupun nilai-nilai ajaran agama. Saat itu terjadi, hidup kita kehilangan kompas tujuan sehingga rusaklah arah diri karena rusaknya kemurnian pandangan hati. Destruksi materialisme fisik pada kebeningan dan ketenangan hati terdalam kemanusiaan kita, menjadikan kita semua tidak bisa menerima kecerdasan pembeda. Kita tak tahu lagi batasan mana yang baik dan mana yang buruk.

Kemungkinan ketiga penyebab degradasi moral kemanusiaan kita, barangkali karena telah begitu leluasanya elemen syaitoniyyah di jantung pusat kehidupan, menyebar ke seluruh aliran darah, mengisi sendi-sendi, memenuhi urat kesadaran kita hingga secara biologis kita terkendalikan untuk selalu berpikir dan berbuat buruk serta putusnya urat malu di seluruh lapisan kehidupan kita. Belum lagi, efek psikologis pengaruh syaitoniyyah yang nampak pada lemahnya keinginan berbuat baik, 
menipisnya kesabaran, dan hilangnya gairah untuk aktualisasi diri menuju rahmatan lil alamin.

Masih belum lengkap kiranya ungkapan di atas. Saya ingin menambahkan pemahaman untuk sisi konstruk ontologis kamanusiaan kita. Sebagai mahluk yang diciptakan dengan bentuk yang terbaik, tentu “dalaman” kita yang berwujud ruh dan jiwa sebagai penggerak itu secara kualitatif lebih baik daripada jasad fisikal. Karena itu, interelasi semua eleman yang “gaib” dan fisik akan mampu menembus pengetahuan tentang etika juga estetika. Kesadaran tertinggi adalah menjadi hamba Tuhan dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Kalau kita dapat menemukan inti kemanusiaan kita sebagai “abdul rahman” hamba Tuhan, setingkat kita akan naik derajat dan tugas menjadi “khalifah fil ardh” penjaga keseimbangan dengan muatan-muatan kesadaran atas dasar martabat kemanusiaan.

Dalam konteks rekonstruksi hakikat humanis, restui saya menambahi pada kalimat filosofis legendaris “manunggaling kawula gusti” sebagai aktivitas transenden dan pencapaian puncak spiritualitas, dengan tanda koma (,) dan seru (!). Tambahan ini akan secara total merubah maknanya.
Jadi, manungaling kawula, kita hidupkan dengan menyatunya seluruh pengakuan eksistensi kemanusiaan sebagai hamba kepada Gusti! dengan suka rela. Dan, implikasinya kita menjadi sadar, tidak pernah ada dan segala kepemilikan kita ini adalah sebab adanya sang Gusti. Cakrawala akal pikiran, samudera rasa hati dan batang tubuh wadak ini semuanya adalah dari Gusti. Kita sebagai manusia manunggal (berjamaah) dengan kerelaan berkumpul menyatu untuk saling belajar-mengajar, mengkritik dan menerima kritik, membangun- menguatkan, mangasihsayangi satu sama lain. Saling memperingatkan dari berbuat dosa, saling menjaga dari kesalahan, serta saling menyelamatkan dari ketersesatan untuk bersama-sama menuju Tuhan sebagai satu-satunya tempat kembali.

Bila krisis moralitas yang muncul di dunia berasal dari manusia, maka jalan keluar paling mungkin adalah mengembalikan manusia ke jalan kesejatiannya.

Alkanjawi, bertapa di sungai gajahwong, 01 juni 2016.


Alam Pikir Orang Kita

Aktivitas paling tidak di hargai di sini, salah satunya adalah berpikir. Maka jangan sekali-kali mempertontonkan hal itu di depan umum! Me...