Tampilkan postingan dengan label buku puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label buku puisi. Tampilkan semua postingan
Minggu, 26 Januari 2020
Air Hanya Ingin Mengalir
Ini tahun 2020,
Banyak langkah telah kutapakkan, banyak ulah yang kulikukan, banyak celah yang kukuakkan. Biar tidak apa, bahasa yang lain tidak mau mewakili untuk menjadi sungai tempat mengalir gumam yang dipenjara oleh bibir hitam ini.
Taulah!
Kurasa-rasa, sepertinya aku pernah tersesat di langit puncak sana. Ada kaligrafi indah yang menggurat takdir perjalananku. Semua tulisan dengan huruf aneh yang tersusun dari rangkaian tawa, tangis, ramai dan sepi itu berwarna merah bara. Anehnya, tulisan-tulisan itu selalu meleleh, menetes dan membentuk berbagai cerita baru di kolam retina mata.
Perjalanan yang tiada ujung. Aku mengira lelehan itu akan buyar ketika kuinjak dengan niat menghancurkan. Namun, aku mendapati hal lain, bahwa lelehan itu ternyata magma yang panas, cair tetapi keras.
Lalu aku ingin menjadi super kecil, masuk ke dalam nano diantara milyaran partikel samudera magma.
Aku melihat manusia air.
yang mengalir di sungai takdir.
Selasa, 07 Maret 2017
ALY D. MUSYRIFA
Selasa 7
March 2017
ALY D. MUSYRIFA
Launching buku puisi karya Penyair Aly D Musyrifa di gedung Teatrikal
perpustakaan UIN Sunan Kalijaga telah saya ikuti hingga rampung. Harap Anda
tahu, acara ini berbeda dari yang lain: pembacaan puisi-puisi oleh para tokoh,
tribut Penyair. Tidak ada diskusi, debat atau perang argument seperti di acara
launcing buku sastra pada umumnya. Dan, memang nampak sekali niatnya, acara diselenggarakan
untuk menaikdaunkan sang penyair. Hemat saya, sesungguhnya ini harus terjadi
dan spesial untuk mengharumkan nama penyair. Kenapa penyair? Karena penyair
itulah yang melahirkan puisi-puisi. Lebih dari itu, eksisnya penyair itu
menandai bahwa zaman kepenyairan masih belum sirna dari bumi Indonesia.
Saya tentu bukan hadirin penting di acara itu. Namun setidaknya penting
bagi saya perlu tahu kalau “O… ini to Penyair, atau penyair itu harus dipublikasi
supaya blablabla.” Dari acara ini, saya dan anak-anak generasi muda minimal jadi
tahu wajah penyair Aly D Musyrifa. Kita menjadi saksi atas penyair yang bergaya
menenteng puisi di kertas, membacanya sambil menata suaranya agar terdengar
mantap dan berwibawa di depan mata semua orang, sesekali ia berteriak nada
tinggi. Memukau setiap orang dengan lirik dan nada ritmis kata-katanya sendiri.
Sedalam kesadaran seorang penyair, tentu saja ia menguasai pengetahuan instrumen
show dan insting vokal dalam mendemonstrasikan puisi-puisinya, lebih-lebih untuk
tersampaikannya makna pesan supaya audiens terpengaruh dengan pikiran-pikiran
yang dikandung puisi-puisi itu.
Apa ada penyair yang tidak bisa membaca puisi? Kalau yang Anda
maksudkan membaca puisi dengan demonstrasi atau deklamasi, tidak semua penyair
bisa melakukan itu. Tetapi, sederhana saja, bukankah menulis itu adalah buah
dari membaca? Jadi proses menulis puisi itu, selain membaca puisi yang sudah
tertulis juga membaca ruh puisi yang bergerak di alam realitas, ruh puisi yang
cair di arus kehidupan dan belum terkristalisasi oleh kata. Maksud saya,
umpamakan wujud kata puisi itu adalah jabang bayi. Anda lihat bayi imut itu
adalah wujud pembekuan dari percintaan, nikmat, mangkel, marah, dan macam-macam
yang ahirnya dengan kesabaran dan harapan maka jadilah itu si bayi. Begitulah
kata-kata lahir.
Penyair Aly D. Musyrifa yang telah melahirkan banyak puisi, dapatlah
Anda menilai bahwa ia seorang manusia yang menemukan dan menjadi dirinya
sendiri. Dia jika sedang serius mengungkap makna, bergulat batinnya dengan
fenomena dan ekspektasi, memilah-milah dan merangkai kata, serasa dunia ini
berhenti berputar. Bintang-bintang bulan dan matahari hanya emblem artistika
yang menyertai khusu keasyikan menuju terciptanya karya yang indah. Saya rasa, Ia
berhasil menyusun ketenangan, yang mungkin oleh penyair lain ketenangan itu
masih menjadi sebuah pencarian besar.
Aly D. Musyrifa itu hanya satu. Sebagai penyair, ia bukan lain adalah
seorang yang bisa masuk dalam sirkulasi kehidupannya sendiri. Realitas dirinya
melahirkan puisi, di waktu yang bersamaan pula puisi telah mengukuhkan dirinya
sebagai manusia. Untuk ini, saya nyalikan diri menguntai selarik ungkapan sang
penyair itu.
“Sekali waktu, saya melihat seorang yang ternyata ia berjalan sendirian
begitu sangat keren. Semampai dan flamboyan. Sebelumnya, aku kira dia sedang
menari, melambaikan isyarat tangan yang perasannya sedang penuh dinamis, antara
bahagia atau sedih. Ia terus bergerak bahkanpun angin tidak berhembus. Ia menapakkan
kaki seolah tanah lah yang berkehendak mencium telapak kakinya. Ia menundukkan
kepala dan rambutnya yang panjang terurai itu seakan-akan menutupi wajah matahari.
Ia yang memperhatikan setiap langkah dengan teliti dan ketekunan seperti
rajawali. Ia yang menjinakkan degub badai dalam relung jantung dan merubahnya
menjadi angin sepoi. Ia yang begitu keren saat berjalan sendirian itu telah
memikat apa saja dengan gayanya berjalan. Ia Aly D Musyrifa adalah pesona.”
Kalau Anda bertanya siapa saya? Saya menjawab: saat ini aku adalah
kata-kata yang mempuisikan penyair.
possted by student
Kamis, 12 Mei 2016
Kadang Suka Kadang Biasa
puisi-puisi fuad hasan succen
Kadang Suka Kadang Biasa
Kadang-kadang
Dalam renungan apa saja terlihat tak jelas
Ingin ini ingin itu
Keinginan sulit untuk dibatasi
Apa yang membuat suka
Aku mencari keyamanan yang ternyaman
Detik
Setelah bergeser nyaman pergi tiada lagi
Bila sedang tidak peduli akan kadang
Lalu mulai mencoba sebuah kepastian
Kadang datang mengolok-olok dan caci
Kenapa suka, lihatlah betapa ia jelek sekali
Aku runtuh
Kepercayaan menjadi puing-puing
Tak mungkin menyusunnya kembali
Sebab hati juga retak sana sini
Lalu apalah daya
Bila memang kadang-kadang adalah niscaya
Biar cermin renungan ini kuhancurkan saja
Lalu buta segala rencana
Tanpa bayang keinginan
Ini itu adalah aku
Yang tanpa mata
Meluncur ke jurang hampa
---***---
Katakan Cinta
Apa ada cinta?
Ada!
Sudah disampikan dengan kata?
Kau bilang kau ini pemberani
Lihat di luar hujan masih deras
Orang-orang berpuisi tentang langit dan hujan
Kau tahukah dimana petir?
Ia tak pernah ada
Kalau tak mengagetkan
Atau menakutkan!
Apa kau ini masih pemberani?
Jika itu tidak benar lagi
Kau tak perlu jadi seperti petir
Jadilah saja seperti hujan
Setelah jatuhnya hanya sebuah kesepian
Kemana lagi selain menghampiri comberan
Bila ada cinta
Sampaikanlah rasa dengan kata
Sambarkan gelegar suara
Biar ia yang mendobrak gerbang telinga
Biar getar hati dalam istana
Kepada …
Yang membuatmu terpesona
---***---
Kupu-Kupu Merindu
Danau dan gunung dihiasi candi
Danau tempat mandi para bidadari
Dari gunung garuda mengintai sendiri
Saat melihat kain kampuh digelar jadi tirai
Seekor kupu-kupu di kembang membatu
Diam saja melihat air bergelombang membiru
Sedang gadis-gadis dari langit tinggal satu
Tak jadi mandi sebab lupa membawa air susu
Kepada awan si gadis menyeru
Wahai hujan turunlah disisiku
Balutkan air segar dari payudara sucimu
Agar wajah yang bingung menjadi lugu
Bila sudah cantik kuingin menemui manusia
Aku mau bertanya kepadanya tentang cinta
Aku ingin tahu rasanya jatuh cinta
Wahai manusia berilah aku asmara
Kupu-kupu yang diam lalu tergerak diri
Setelah dewi bidadari merindu belai
Kepak sayap lembut memantulkan derai
Di puncak gunung garuda merasa hati
Garuda perkasa menjelma seorang pria
Tampan paras dan senyum memesona
Dewi jelita terpukau memandangnya
Pria gagah menaruh cinta di dadanya
Bahagia berdua mereka di dunia
Membangun candi antara gunung dan telaga
Kupu-kupu masih tetap sebatang kara
Merindu pada khayalan yang tak pernah nyata
---***---
Langkah Pertama
Dari rasa terdalam di hati
Aku mendengar panggilan kecil
Hatiku melangkah senyap mengendap
Belati di tangan menikam jantung sendiri
Engkau gadis jelita yang baru melihat dunia
Merah biru cerita teramat tipis di mata
Jumpa singkat terbalut putih makna
Terpaut senyum termimpi pesona
Engkau yang riang hidup dalam mimpi
Malas dan fantasi teman sepanjang hari
Sedetik waktu berlalu senyum menyemangati
Cinta memang pada anak muda abadi
Katamu rindu mantra suci
Jauh sejengkal tak kuasa ingin selalu bersama
Katamu kangen kehendak setia
Betapa pandai bayang wajah mengelabuhi mata
Rasa mulai tumbuh semai cinta
Gusar dan riskan hampir sama
Bila tenggelam dalam kefanaan
Waspada selamanya tidaklah apa-apa
Anak muda yang mulai ditawan cinta
Bila segalanya telah serasa milik berdua
Ambillah belati dari jantung kefanaan
Biar dengan tangan kita tikam keabadian
Yogyakarta 2015
Jumat, 12 Februari 2016
Dari "JALAN MENEMBUS KEADILAN" sebuah prakata untuk antologi puisi Fuad Hasan
P
|
Selanjutnya, dengan ini, keinginan hati saya telah
terkabul sebagai usaha belajar mencoba mengumpul-satukan (mengamankan) karya puisi-puisi
dalam sebuah naskah manuskrip. Saya bersyukur mulai sadar: rupanya cukup banyak
tulisan-tulisan (baik artikel fiksi maupun non-fiksi) dalam bentuk file-file
yang terpisah-pisah berserakan dan tidak tertata dengan semestinya, hingga
ahirnya sering kali saya terlibat kesulitan untuk mene-mukan posisi tempat
keberadaannya. Kondifikasi naskah puisi ini, adalah wujud karya dokumentasi, khususnya
karya sastra saya agar dapat bernilai dengan adanya kemudahan untuk dibaca
kembali oleh siapa saja.
Dalam pada naskah ini, saya menyusun
puisi-puisi dengan latar antara lain; realita sosial dan budaya (bagian i),
proses kratif diri (bagian ii), serta narasi kecil dari bilik hati (bagian iii).
Problematika sosial serta dinamika budaya menjadi besar kuantitasnya, sehingga
menjadi warna khas yang menarik untuk saya masukkan dalam lembaran-lembaran
ini. Atas problem tersebut, saya majukan diri untuk mengungkap pesan makna
dengan bahasa yang semurni-murninya. Melalui gaya bahasa puitikal ini, saya dedahkan
ragam masalah realitas dengan bentuk puisi sebagai bungkus makna pesannya.
Dengan begitu saya beharap puisi ini dapat menjadi sudut pandang tersendiri
dalam membaca realita dan mengungkap kandungan makna di dalamnya sebagai upaya
membuka celah kemungkinan menemukan jalan keluar dan solusi. Puisi-puisi ini,
tanpa bermaksud jumawa, saya bilang sebagai karya sastera puisi terbaik saya.
Puisi dikata bagus yaitu; bilamana saya (atau
orang lain sebagai pembaca) ketika membaca puisi tersebut akan merasa tergerak
dan menemukan sudut pandang untuk berani melihat/ terjun ke dalam medan yang dihimpunnya.
Setelah itu, pembaca ikut serta memahami, mengkaji, dan memikirkan medan apa
yang ia temui dalam puisi itu. Apakah medan hukum, budaya, bahasa atau seni
atau yang lain. Maka, dari pemahaman itu lahirlah upaya inisiasi menemukan solusi
menurut yang dia mampu sesuai bidang berpikirnya. Itulah puisi yang menurut
saya bagus, terlepas dari segi estetik, kejujuran dan jauh dari munafik sebagai
karya sastera.
Tiga tema puisi yang saya masukkan dalam naskah
manuskrip ini yakni, pertama ialah aku sebagai manusia dengan alam. ‘Aku’
sebagai saya personal yang terlibat dalam perputaran jagad semesta ini,
terpancing untuk terjun mengamati perilaku korporat yang hendak menguasai
kekayaan alam Indonesia. Dari situ, ada rasa tidak rela kalau-kalau alam
Indonesia yang seharusnya digunakan oleh negara untuk kemakmuran rakyat malah
dinikmati oleh sekelompok orang saja. Beberapa puisi di sini adalah kristal
kekesalan saya pribadi atas ulah manu-sia yang dengan konspirasinya akan
membawa dampak kerusakan alam permai Indonesia. Bila bahasa yang saya gunakan
dalam puisi agak kasar, mungkin itu pengeja-wantahan ekspresi ketidakterimaan
yang sangat keras.
Kedua, mengenai keprihatinan pribadi atas gejolak
batin. Terkadang saya sebut sebagai pergolakan jiwa. Berbagai masalah kerap
kali timbul dan menyebabkan gelisah yang tak berkesudahan dalam batin. Utamanya
terkait perang ego dengan hati nurani. Suara-suara di dalam jiwa terdengar
bagai lonceng yang bersahutan dan sangat bising mengganggu ketenangan hati.
Perdebatan demi perdebatan antara suara hati dan ego inilah dinamo yang memutar
pikiran saya untuk tidak bisa diam. Segala sesuatu, (bahkan hanya sebatas
bayang) pasti tertangkap percakapan dan berlanjut pada perdebatan yang sengit.
Meski melelahkan tapi saya akui hal itu membuat rindu.
Tema bagian tiga adalah tentang luapan eskpresi
asmara ‘Aku’ sebagai seorang pemuda yang normal. Posisi ‘Aku’ sebagai sudut
pandang pertama; berusaha sebebas-bebasnya mengungkapkan pengalaman perasaan
berwarna warni terhadap perempuan. Lebih tepatnya bayangan seorang perempuan.
Ini puisi romantik saya masukkan di sini hanya sebagai komplemen. Versi utuh
‘Puisi Romantis’ yang juga deras mengalir selama kurun musim hujan, saya bikin
tersendiri dengan judul "Lirikan Hati". Bila lancar, insyaallah terbit pula
tahun ini.
Barangkali inilah prakata saya sampaikan.
Semoga bisa sedikit membuka daun pintu depan untuk sekalian pembaca memasuki
ruang puisi-puisi yang tersusun sederhana dalam buku ini. Selamat membaca!
Fuad Hasan
Yk, Februari 2016
Langganan:
Postingan (Atom)
Alam Pikir Orang Kita
Aktivitas paling tidak di hargai di sini, salah satunya adalah berpikir. Maka jangan sekali-kali mempertontonkan hal itu di depan umum! Me...
-
STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF (Bermuatan Karakter) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembentukan dan pengembangan sika...
-
STRATEGI PEMBELAJARAN PAKEM (Bermuatan Karakter) BAB I PENDAHULUAN Kegiatan pembelajaran merupkan proses kegiatan belajar da...
-
Pepatah Jawa dan Artinya Perenungan, penuh makna Bismilahirrahmaanirrahiim. Halo sobat pembaca, saya postingkan kumpulan pepatah Jawa y...
-
STRATEGI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERMUATAN KARAKTER BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Di dalam...
-
STRATEGI PEMBELAJARAN EKSPOSITORI BERMUATAN KARAKTER BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan belajar mengajar merupak...