Kamis, 01 September 2016

Makna Kerja ala Orang Jawa

Prinsip hidup ala Jawa:
:
Nyambut gawe diniati sing tenanan kanggo golek panguripan. Sukur bisa nguripi wong sing kekurangan. Sapa seneng andum bakal keduman, sapa seneng pawih bakal luwih.

Artinya:
Bekerja dengan niat yang sungguh-sungguh untuk mencari penghidupan. Syukur-Syukur bisa menghidupi orang yang kekurangan. Barangsiapa suka berbagi pasti akan mendapati, yang suka memberi pasti akan selalu lebih.




pepatah jawa dan artinya
bijak jawa
hidup bijak ala Jawa 



student

Tradisi Baik Sebelum Mengajar



Tradisi Baik Sebelum Mengajar
By Fuad Hasan



Seorang murid tiba-tiba mengajukan pertanyaan dengan nada lirih sewaktu kelas tengah tenang, “Pak, jadi guru itu sulit ngga sih?” Untuk beberapa detik, saya hanya bisa terdiam. Sejenak berdiri mematung di muka kelas, angan-angan saya menjelma bak anak-anak yang ada di balik bangku berjajar. Ya, saya seperti memuda, kembali merasakan masa duduk tenang sebagai murid yang sedang tekun belajar di bawah bimbingan guru.


“Itu pertanyaan, seperti pernah kutanyakan di masa lalu!” Batinku menjawab. Waktu seperti benar-benar berulang, Wajah guru-guru membentuk imajinasi senyuman di dalam cakrawala pikiran. Saya terigat mereka, spontan bibir bergumam: “Allahumma sholli ‘ala Muhammad.” Bersamaa sholawat itu, doaku deras nian mengalir ke samudera ketulusan guru-guruku. 


Ini dinamika usia yang tertali oleh ilmu, sanad perjuangan yang terus bersambung sebagai pewaris tradisi pengajar. Sebuah peristiwa menjadi awal mula, sebelum mulai mengajar, saya telah menyerahkan semua ilmu dan petunjuk pencerahannya kepada Allah. Setelah itu, surah Alfatihah kukirimkan untuk Gudang ilmu, Muhammad SAW, guru-guru ibu bapak, murid-murid dan ilmu itu sendiri.  


Semoga merutin, ini sebagai tradisi baik penjaga kehidupan ilmu dan kemuliaan orang-orang alim.


1 September 2016.
















Sabtu, 11 Juni 2016

Memaknai Lambang Hati, Lambang Cinta, Love

Memaknai Lambang Hati, Lambang Cinta, Love



Tanda kalau kamu mulai suka sama orang yaitu kamu akan tertarik pada si dia. Bawaanya, kamu akan menjadi selalu ingin mencari informasi, latar belakang, hobi, pengalaman, cita-cita dan segala macam yang ada hubungannya dengan si dia. Iya kan?

Nah, kondisi kepo semacam itu wajar saja. Asalkan dalam proses dan cara menemukan informasi pada orang yang mulai kamu sukai itu benar dan wajar. Benar itu maksudnya ya proses yang kamu lakukan untuk mendapatkan informasi itu secara terang-terangan dan tidak melanggar hukum. Kalau wajar itu artinya dalam kamu mencari informasi yang jangan aneh-aneh, misalnya sampai datang ke paranormal atau mbah dukun.

Mencari informasi tentang seseorang adalah langkah pertama kamu membangun kepercayaan. Percaya pada apa? Percaya bahwa cinta yang akan kamu selami akan mendapat restu dari semesta alam.  Pentingkah? Jelas! Jika dalam proses kamu tidak benar, alam semesta tidak akan pernah rela cinta yang positif datang kepadamu. Justru, kamu akan dibelenggu cinta yang akan membuatmu gelisah, nestapa, rindu tanpa ujung, atau bahkan kecewa. Jadi, pada poin awal ini kamu mesti hati-hati ya.

Lalu, bagaimana proses yang benar dan wajar mencari informasi tentang si dia? Nah, ini baru pertanyaan bagus. Sekarang yang kamu butuhkan adalah keberanian. Kamu harus mulai menyingkirkan rasa takut untuk jujur dan berbicara secara langsung kepada si dia. Ingat, cinta sejati adalah milik para pemberani. Mulailah latihan berbicara, yakin kan dirimu, dia yang membikinmu tertarik itu adalah sama-sama manusia. Manusia yang juga punya rasa tertarik satu sama lain.

Tak perlu bikin “kode-kodean” yang aneh-aneh. Itu tidak efektif. Menyampaikan sesuatu secara langsung kepada orang yang kita sukai itu terlihat lebih tulus dan “apa adanya”. Bukankah dalam cinta selalu mengutamakan yang apa adanya? Ya, cinta yang “ada apa”nya pasti selalu kandas dihempas kenyataan.

Pada posisi batinmu dipenuhi jutaan pertanyaan untuk kamu tanyakan sama di dia, dalam pikiranmu ada sebuah gelombang yang membentuk tanda tanya. Kalau pertanyaan itu begitu penting dan amat mengganggu pikiranmu, gelombang “tanda tanya” warnanya merah. Nah, gelombang tanda tanya yang muncul itu, jika tidak mendapat jawaban dari yang bersangkutan, ia akan selamanya menjadi tanda tanya. Ia akan menggantung dan membebanimu. Bisa jadi kepalamu akan pening sendiri karena tumpukan pertanyaan.

Maka sampaikanlah pertanyaan-pertanyaan kepomu itu. Maksud saya, supaya kalau tersampaikan ia akan mendapat respon. Kamu akan mendapat jawaban yang melengkapi tanda tanya dalam batinmu. Jawaban itu adalah pancaran atau “bayangan” dari tanda tanya yang tercipta karena ke-kepo-anmu pada orang yang kamu taksir. Jadi jika pertanyaanmu terjawab, maka otomatis lambang-lambang itu akan menjadi bersatu, dan terbentuklah lambang hati.


Tapi tanda tanya itu belumlah benar-benar bersatu. Masih ada tahapan lagi untuk menciptakan lambang hati menjadi “lambang cinta”. Akan ada proses yang rumit, menggemaskan, dan ini menjadi momen terindahmu dalam menjadikan lambang hati sebagai lambang cinta. sementara cukup sampai di sini dulu pembahasan lambang love ini… to be continue

Rabu, 08 Juni 2016

Kemerdekaan Orang Berpuasa

Kemerdekaan Orang Berpuasa
By alkanjawi

Salah satu aspek fungsional puasa yang baru saya sadari hari ini; orang berpuasa memegang kemerdekaan sebagai penyelamat kehidupan.

Sebelumnya, bertahun-tahun lamanya saya termakan pola pikir sendiri, kalau puasa hanya akal-akalan Allah untuk mencoba manusia sekuat mana menahan lapar dan dahaga. Setingkat lebih “nalar”, puasa kemudian saya terjemahkan sebagai ujian yang sengaja Allah wajibkan untuk mengukur tingkat ketakwaan manusia menjalani perintahnya. Karena alasan pertama itu, masa kecil saya ketika datang bulan Ramadhan, tanpa sepengetahuan orang lain saya biasa makan dan minum es di siang bolong. Kedua dalam urusan ketakwaan, saya memilih bertahan tidak makan atau minum apa-apa sampai tiba kumandang azan maghrib. Pola pikir purba tentang puasa yang dulu pernah menghinggapi nalar itu, sepertinya kini sudah terbang dan menghilang.

Proses pengetahuan manusia memang fleksibel dan mudah menerima atau dimasuki stimulan dari mana pun. Semakin banyak bahan bacaan tentang puasa, saya menjadi terpikir puasa adalah media untuk membersihkan jiwa dari “penyakit-penyakit dalam” yang tidak bisa disembuhkan dengan alat-alat kedokteran moderen. Penyakit-penyakit dalam itu terakumulasi dan mengendap dalam tubuh setelah 11 bulan lamanya kita bebas makan dan minum apa saja yang entah dari mana dan dengan cara apa memperolehnya.

Saya terpikir puasa adalah model penyembuhan dari dalam. Dari situ, mengalir penyataan lanjutan: karena itu orang yang sedang sakit atau dalam perjalanan jauh boleh untuk tidak berpuasa. Orang sakit yang dia ikhlas menerima keadaan sakit, dosa-dosanya dimaafkan oleh Allah. Musafir perjalanan jauh yang niatnya tulus mencari ridho Allah dan kemaslahatan manusia, oleh agama disamakan dengan perjalanan menuju masuk surga. Saya mengartikan sakit dan perjalanan jauh (yang menjadi syarat boleh tidak berpuasa) itu sama juga sebagai “metode penyembuhan yang mirip” sebagaimana puasa.

Walaupun sakit dan perjalanan jauh dapat mengurangi beban dosa kita, namun keduanya tidak seimbang kelas penyembuhan dan “kualitas obat” yang dikandung dalam puasa ramadhan. Maka, atas keringanan Allah, kita tetap wajib mengganti puasa di lain waktu. Bila juga tidak memungkinkan puasa, gantinya bisa dengan sedekah. Memberi kebahagiaan pada orang lain. Allah menghendaki puasa ini sebagai penyembuhan diri supaya hidup kita menjadi selalu teriring kemudahan, dan tertutup dari kesulitan-kesulitan di masa mendatang. Mengenai perintah puasa ini, kalau tidak salah Nabi Muhammad mengatakan: Puasalah kalian agar kalian semua sehat.

Poin Penting 

Sebagaimana ibadah lain yang hukumnya wajib, puasa diatur sedemikian rigid mulai dari waktu, cara, sampai ekspresi yang sulit untuk diotak-atik atau diperbarui (kontekstualisasi) dengan cara apapun. Bukan terus maksud saya hendak merubah kesepakatan tatanan ibadah tersebut. Namun, sebagai manusia pikiran-pikiran aneh bisa saja melintas melewati hal apa saja. Misalnya dalam konteks kita bernegara, Mas Joko tidak pantas menjadi presiden Indonesia, pantasnya dia itu presidennya Amerika. Hal aneh semacam ini bisa saja menembus kebakuan normatif keberagamaan kita. Juga termasuk ibadah wajib yang sudah jelas disusunkan segala macamnya oleh para ulama dari nabi sebagai referensi utamanya.

Peritah puasa akan tetap menjadi perintah sampai ketemu ahir hitungan hari dan bulan. Kita semua yang dalam kondisi normal akan tetap tekena wajib ain untuk berpuasa pada bulan ramadhan. Puasa mengembalikan kealamiahan kita semua untuk kebaikan lingkup dunia dan kehidupannya. Skup lebih luas puasa meliputi segala dimensi lahir dan batin, serta lapisan kemanusiaan. Puasa memerdekakan kita untuk hari ini dan masa depan dengan mengenalkan batasan-batasan yang berguna menjaga ketetapan kadar kemanusiaan.

Saya yakin, hewan dan tumbuhan tidak perlu diperintahkan berpuasa, karena secara alamiah pada waktu yang tepat mereka akan berpuasa dengan sendirinya. Kita yang diberi akal, bisa berpikir merengkuh kebebasan, (kalau mau mengakui) sebenarnya kemerdekaan yang kita harapkan adalah kemerdekaan metafisik sebebas-bebasnya atas makan dan minum. Makan minum kekuasaan, kedudukan, kemashuran dengan cara mendominasi, menekan yang lain untuk kepentingan kemerdekaan individual. Maka, tiada lain kemerdekaan yang kita ingini semacam itu lebih cenderung ke arah kerusakan. Bukan kemerdekaan yang mengusung keselamatan rahmatan lil alamin.

Sesungguhnya perintah puasa bukan hanya sekedar melarang makan minum atau menghindari aktifitas fisik yang membatalkannya. Puasa meliputi seluruh aspek kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan pemerintahan yang berkaitan dengan manusia. Kita berpuasa selain untuk diri sendiri, juga berfungsi untuk keseimbangan aspek kehidupan, pola pikir, bangsa, bumi, dan alam semesta.

Menjadi merdeka melalui berpuasa berarti kita mampu mengendalikan, mengekang, dan melawan dari segala dorongan nafsu menguasai, menghegemoni, atau menjajah yang itu secara prinsip bertentangan dengan kemerdekaan. Lapar, dahaga dan menahan libido seksual adalah bagian fisikal eksoteris. Di balik itu, berjuta-juta jenis nafsu jahat yang terus bergulat di bagian batin kita, sama sekali tidak pernah telihat oleh realitas empiris. Puasa menembus nafsu yang bergeraknya di alam batin, lalu mengobati, menyembuhkan dengan membuat batas-batas agar nafsu tak bisa sekehendaknya sendiri.

Bagi kita yang mampu membatasi nafsu dengan puasa, balasan pahalanya langsung dari Allah yang Maha Besar. Bisa jadi semua jenis timbangan yang kita kenal, tidak akan mampu mengukur besarnya pahala kita yang benar-benar berpuasa.


Pedakbaru, yk 2016




post by studen











Senin, 06 Juni 2016

Ucapan Terima Kasih

Ucapan Terima Kasih
by Alkanjawi

Tanggal 1 awal ramadan 1437 H, secara personal saya berkali-kali mengucapkan terima kasih untuk tiga hal: kesempatan berpuasa di hari pertama bulan mulia, kedatangan sakit, dan hujan lebat waktu berbuka untuk daerah saya tinggal.

Mengenai ilmu terima kasih, saya tergolong orang yang masih dangkal pemahamannya. Namun begitu, tak pantang untuk surut belajar mengucap kata terima kasih secara terang-terangan dengan lisan dan hati mencoba untuk tulus. Kenapa mesti berterimakasih? Setahu saya, terima kasih adalah satu dari dua inti ajaran keselamatan bagi semua agama, terlebih Islam. kita perlu terima kasih karena apapun yang menjadi bagian fungsional dan struktural pembentuk kemanusiaan kita, semuanya adalah pemberian Allah. Lebih mendasar dari itu, makanan dan minuman yang tersedia sebagai hidangan, sehingga bisa kita konsumsi untuk penghasil energi, tiada lain kecuali semua itu diberi oleh Allah. Tanpa segala macam pemberian itu, kita takkan pernah bisa dan jadi apa-apa.

Lalu kata Allah “wasykuruu lillah” kepada semua manusia, itu merupakan perintah yang nyata untuk senantiasa kita berterimakasih. Seterusnya dari berterimakasih, ekspektasinya adalah kita menjadi ingat kalau kita ini sebenarnya bukanlah siapa-siapa dan tidak punya hak atas apa-apa kecuali “sesuatu” yang semuanya dimiliki Allah. Setelah bisa berterima kasih, kita akan bisa legawa menerima aturan-aturan, yang dengan itu kita dilindungi, diarahkan, dan dijaga oleh Allah untuk kemudian kepadanya kita semua kembali dengan keadaan baik. 

Kata terima kasih berlaku universal untuk apa saja. Tetapi, yang paling tinggi derajat dan hubungan terima kasih hanyalah kepada Allah. Maksud saya, ucapan terima kasih pasti ada sangkut pautnya dengan Allah dan menjadi dasar konteks perlakukannya kepada kita. Dalam sejarah bangsa yang dimenangkan, adalah bangsa yang pandai dalam mensyukuri nikmat apapun, termasuk keadaan itu nampak buruk di sebagian mata manusia. Raja Sulaiman putra Daud yang sukses dengan ilmu pengetahuan dapat membangun kerajaan dan bangsa hingga disegani bangsa lain, pada posisinya sebagai hamba, ia mengembalikan segala sesuatu yang dimilikinya dengan berkata “apakah dengan kejayaan ini akan semakin membuatku kufur ataukah syukur”. Sulaiman bertanya pada eksistensi terdalamnya, dan jawaban yang alamiah mengemuka adalah Sulaiman mampu mensyukuri dengan mengakui bahwa semua itu merupakan pemberian Allah yang harus disyukuri.

Beda halnya pada sikap manusia di sisi lain, yang misalnya dengan karakter angkuh dan tidak kenal kata terima kasih. Dalam cerita sejarah, sebutlah Fira’un. tokoh terbesar yang menguasai seluruh dataran Mesir zaman kuno. Keangkukan itu menghalangi Fira’un dan manusia pengikutnya untuk rendah hati, untuk syukur dan mengakui diri sebagai ciptaan yang lemah. Balasan lisan yang tidak pernah mengatakan terima kasih ialah ia akan dilumat oleh semua kehendak yang tak pernah terucap namun akan tiba-tiba meledak di dalam jantung dirinya sendiri. Kenyataanya, Musa bukanlah orang yang datang dari kerajaan luar melawan Fira’un, melainkan seorang anak yang dibesarkan, diajar strategi, dan dilatih taktik berperang di lingkungan kerajaan sendiri. Dan, memang seringkali kerusakan, kekacauan, dan kehancuran segala sesuatu yang merasa besar nan tak tertandingi justru penghancurnya adalah sesuatu yang berasal dari dalam sendiri.

Memang pada dasarnya sikap terima kasih berkorelasi dengan sikap rendah hati. Bagi kita yang membiasakan diri muhasabah, instrospeksi, menilai, dan menimbang kebaikan dan keburukan diri, kita akan tahu kadar ukuran kita untuk menjadi yang nriman atau yang mbangkang. Namun, bilamana orientasi dalam kehidupan yang kita jalani bukan berdasarkan kadar kemanusiaan kita, yang terjadi adalah kita semakin bodoh dan “dilupakan” untuk menapaki tangga kederajatan yang lebih tinggi sebagai manusia.

Bodoh dan pelupa bukan warisan gen seutuhnya. Manusia menjadi bodoh atau pelupa lebih pada ketidakmampuan mereka dalam mengelola diri, ruang, dan waktu yang semua itu dipasrahkan kepada manusia sebagai faktor penunjang kemuliaan derajat di hadapan Allah. Manusia yang tidak mengerti apalagi mengamalkan syukur, ia akan lebih pada ketergantungan eksternal dan mengabaikan potensi diri yang sebenarnya sama. Peran Allah menjelma pada fungsi alamiah yang bisa kita arahkan untuk kebaikan. Sesungguhnya memang begitulah salah satu cara Allah mengenalkan diri untuk dikagumi oleh akal dan perasaan manusia sehingga mereka menemukan kesejatian eksistensial.

Konsekuensi apabila manusia tidak bersyukur, ia tidak akan menemukan kebenaran di masa sekarang dan dilewatkan untuk urusan penting di masa depan. Sekedar perumpamaan, saat Anda butuh tenaga untuk membenahi atap rumah yang bocor, dan misalnya tetangga Anda, Tarji, ia berkata “Saya panggilkan Pak Karjo saja”. Datanglah Pak Karjo, ia membenahi atap rumah Anda yang bocor. Setelah dapat “imbalan” dari Anda, pak Karjo tidak berterimakasih pada Tarji yang memanggilnya, maka yang terjadi adalah putusnya “tali rizki” yang terhubung antara Pak Karjo, Tarji, dan Allah sebagai perantara hubungan mereka. Bila nanti kejadian serupa terulang, Pak Karjo akan dilupakan Tarji untuk urusan yang lebih penting. Tarji secara alamiah akan menunjuk orang lain untuk dihubungkan dengan kerja dan rizki yang berkaitan dengan Allah.

Hari ini, dalam satu waktu tiba-tiba menyeruak suara batin saya untuk mengucap syukur pada Allah. Saya harap Anda memahami trifakta yang membuat saya berterimakasih: puasa, sakit dan hujan.


Pedak Baru, Bantul, 6 June 2016.




post by student 






Sabtu, 04 Juni 2016

Kepribadian Nomor Satu

Kepribadian Nomor Satu
by Alkanjawi

Untuk urusan perkenal-mengenalan sesama manusia, dan sebelum lebih jauh pada kata “menilai”, alangkah lebih baik kita mesti melihat segala sesuatunya berdasarkan kepribadian.

Menilai seseorang dalam suatu perkenalan memabng bukan perkara mudah, apalagi kalau anda tidak terbiasa menilai ke dalam diri. Tetapi kalau Anda memiliki kemampuan khusus untuk itu, sekali saja bertemu seseorang, menilainya sudah barang tentu mudah, dan berlanjut pada kritik atau saran atau apresiasi apapun. Terkait kemampuan khusus ini, orang-orang yang telah mengetahui dirinya sendiri dialah yang bisa melakukan.

Saya pribadi bukan bagian “orang pintar” yang tahu idealitas di balik realitas seseorang, melainkan baru pada tahap memasuki, mencoba menekuni, dan laku tapa pada journey ke dalam luasnya diri. Apa yang saya cari? Dalam perjalanan, rumus utama yang harus diterapkan adalah menentukan tujuan. Saya bertujuan menemukan ruang dan masa tak berbatas sehingga ketika saya menjumpai diri saya di dalam ruang itu, maka tidak ada yang lain kutemukan kecuali keserba-terbatasan sendiri. Mengapa batas? Karena hakikatnya kita semua adalah makhluk yang hanya mampu hidup dengan adanya batasan. Kita akan rusak, hancur dan celaka bila melanggar batasan-batasan.

Kemudaian, saya yakin kepada Tuhan sang pencipta, menciptakan manusia adalah untuk manusia itu sendiri. Dan, bila mungkin pertanyaan berlanjut: kenapa mesti manusia? Jawabannya, karena manusia adalah semesta ciptaan yang di dalam dirinya ditanam potensi menjadi kekasih. Dalam mencapai tingkat pada posisi kekasih ini, Tuhan sendiri mungkin akan senang mencoba-coba, meguji untuk sebuah kelayakan seorang pribadi menjadi abadi di sisinya.

Dalam kemanusiaan sendiri, banyak sekali unsur-unsur yang mengisi dan meliputinya, Ibarat lingkaran, proporsi utama yang memenuhi manusia sebenarnya adalah Allah. Namun, sebab-sebab lain bisa mungkin masuk dan mengebaki lingkaran kemanusiaan itu, termasuk iblis. Secara fisik. Meskipun manusia diciptakan dengan bentuk yang paling baik, tetapi seorang manusia adalah setitik debu yang hidup dari kumpulan daging dan tulang. Poisi manusia adalah menempel di permukaan bumi. Manusia sekecil ini dilekati oleh daya tarik bumi, sehingga mereka aman dan tidak terpental keluar dari peredaran, ketentuan-ketentuan, dan waktu yang semuanya telah di tetapkan Tuhan.

Substansi dan posisi yang memenuhi kemanusiaan itu, merupakan bahan utama dalam menemukan jalan menemukan hakikat diri. Di situ pula letak kesadaran yang menuntut untuk ditemukan. Pertanyaan akan siapa sebenarnya pribadi yang akan mengisi ruang alam semesta dari manusia yang hanya sekecil debu, akan terjawab sebagai wujud yang harus disadari secara total. Bila kelak di kemudian hari, manusia telah menghadap Tuhan, maka yang dilihat, dinilai, diterima Tuhan adalah ketakawaan yang mana tidak lain itu adalah segala perilaku yang melekat pada kepribadian manusia.

Sesungguhnya kepribadian diri manusia merupakan dasar kepribadian paling fundamental untuk realitas yang meruanglingkupinya. Pada ahirnya, kepribadian desa, kepribadian bangsa, kepribadian negara, kepribadian dunia, dan kepribadian alam semesta baik buruknya tergantung dengan kerpribadian manusia itu sendiri.

Alkanjawi, 4 June 2016.





post by studen  

Kamis, 02 Juni 2016

Jangan Senang Ditolong!

Jangan Senang Ditolong!

Hendaknya saat meminta pertolongan, perhatikanlah sebelumnya tentang seberapa kadar kelemahan diri kita untuk menerima ukuran pertolongan.

Sebenarnya maksud saya mengenai ukuran itu, ada hubungannya dengan sifat kata kerja “tolong” yang berlaku tanpa batas. Bila pada hari ini Anda ditolong oleh seseorang (yang entah kenal atau asing), bisa jadi pertolongan itu akan terulang kembali karena Anda terulang pada poisi butuh pertolongan. Begitu juga dalam hubungan Anda sebagai pemberi pertolongan. Pada masa depan yang lain, Anda akan mempoisikan tangan diatas sebagai penyelamat tangan-tangan lemah yang sedang berada di bawah. Perlu diingat, prinsip dalam ukuran tolong menolong adalah kesesuaian atau kesepadanan. Kelebihan walau hanya sedikit akan ada perhitungannya sendiri.

Kenapa harus tepat? Sebenarnya orang butuh ditolong karena terkait kadar waktu atau kekurangan yang ia sedang dialami. Begitu pula sebaliknya bagi penolong. Pagi-pagi, seorang tukang ojek di desa pinggiran berangkat ke pasar untuk narik pelanggan. Sebelum sampai di lokasi pelanggan pertamanya, tiba-tiba di tengah perjalanan ban motornya bocor. Dengan terpaksa ia harus turun dan menemukan tukang tambal ban. Ia gelisah sebab tidak membawa bekal uang yang cukup untuk keperluan memperbaiki motor. Tukang ojek tidak mau merepotkan orang lain. Setelah berjalan dan ahitnya ketemu dengan tukang tambal, ia hanya mampu membayar dengan jumlah uang separuh dari tagihan. Ia meminta tolong supaya kekurangan tagihan itu bisa dibayarkan nanti kalau sudah dapat rejeki. Sang tukang tambal rupanya baik hati dengan berkata: Ambil dulu uang itu, bayarlah nanti setelah kamu ada uang.

Begitu gembira hati tukang ojek. Sedangkan tukang tambal ban memang suka menolong dan terbiasa ikhlas.

Ada sebuah kelegaan hati yang kemudian mengakibatkan sepanjang hari tukang ojek bisa bersyukur, padahal di awal pagi sudah diuji dengan musibah ban motonya bocor. Kebaikan yang ditunjukkan tukang tambal membuat tukang ojek menjadi berbaik prasangka, begitu juga perasaan dan sikapnya terhadap semua orang hari itu. Tukang ojek sadar akan kewajibannya untuk membayar bilamana ia sudah mendapatkan cukup uang dari hasil kerjanya hari ini. Selain mengucapkan terimakasih kepada tukang tambal ban, ia juga mengucapkan terimakasih pada setiap pelanggan. Lebih dari itu, ia bisa mensyukuri dirinya secara lebih dalam; bersyukur musibah hanya berupa ban bocor, bukan putus rem atau ditabrak kendaraan lain.

Memang wajar bila orang merasa senang kalau menerima pertolongan. Tidak wajarnya apabila terkena musibah dan sangat butuh pertolongan, tetapi ketika ada yang mengulurkan tangan, ia menolak untuk menerima pertolongan itu. Ini mungkin berkaitan dengan prinsip. Tapi, nalar sehat kita semua tentu paham kalau prinsip semacam itu sulit untuk diterima logika umum. Saya sendiri, sungguh belum mampu untuk menolak pertolongan siapa saja di saat sedang butuh.

Timbangan
Kehidupan kita sekarang sedang menjumpai iklim yang bawaannya orang lebih mudah untuk meminta daripada memberi. Orang lebih gampang minta tolong, mengandalkan orang lain daripada memilih menyelesaikan permasalahhan (tanggung jawab) dengan bersikap tangguh dan sportif. Mudahnya memperoleh segala macam kebutuhan dan jalan yang semakin terbuka menjadikan mental kita lembek, manja dan ingin dituruti semua kemauan yang kita miliki. Dengan sikap yang demikian itu, perkembangan jiwa dan kekuatan raga akan menurun. Terlebih ketajaman kognitif dan sensitivitas emosional sudah barang tentu menyusut secara drastis.

Ketergantungan dan terus menerus mengandalkan orang lain secara mental ini membahayakan diri. Harap anda tahu, bahwa potensi setiap manusia untuk berani dan menjadi problem solver adalah bagian kekayaan pikiran yang tak terhingga nilainya. Apabila Anda tidak juga segera mengenali potensi itu, dan berlagak bodoh untuk bersedia mengoptimalkannya, maka di lain sisi Anda otomatis telah menelantarkan dan mengarahkan mental ke poisi lumpuh. Dalam kelumpuhan, mental Anda bukan lagi “kritis”, tetapi sudah sampai pada lapis “pematian” atas potensi kemanusiaan. Anda tidak akan bisa melakukan atau menghadapi sesuatu secara merdeka. Saya kira, tiada yang lebih membosankan menghadapi hidup (sekarang atau hari esok) ketika banyak jerat yang melilit dada dan hak atas nafas kebebasan kita.

Seandainya, dalam kaitannya sistem mobilisasi yang kita lakukan untuk membangun bangsa seperti sikap tukang ojek di atas, kemungkinan besar macam-macam keruwetan akibat tradisi manja pemerintah dan sikap miskin kongklomerasi akan bisa kita atasi. Pemerintah kita yang terjebak halusinasi dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar merasa nyaman dengan mental “kere”, hingga berakibat pada sikap selalu butuh pertolongan dan senang menerima “bantuan” dari negara lain, akan bisa kita dihindarkan. Elit politik kita terlalu dekat pada kekuasaan sehingga ingin mengeruk sebanyak-banyaknya keuntungan, akan bisa kita netralkan untuk kepentingan nasional kita.

Atau, jangan-jangan semakin tinggi kedudukan struktural seseorang, ia akan semakin senang untuk ditolong?

Alkanjawi, juni 03, 2016.





post by studen

Rabu, 01 Juni 2016

Siapa Nama Anak Kandung (Intelektualitas) Kita?

Siapa Nama Anak Kandung (Intelektualitas) Kita?

“Ia yang memikul dirinya”, ialah seorang lelaki gagah jiwanya. Ia menempuh laku berjalan jauh untuk memanjakan kekuatan kaki. Sesampai di tengah hutan belantara, tiba-tiba ketemulah ia dengan kerumunan orang-orang ramai sedang berdagang (seperti pasar). Ia dilempar pertanyaan “kisanak siapa, dari mana mau kemana?” ia sejenak diam. Kerumunan orang-orang itu bertambah banyak. Nampaknya bukan hanya manusia. Bayangan-bayangan lain ikut menelusup dalam pertanyaan keras itu. Ia menjawab “Aku Among Raga. Aku dari Aku hendak menemui Aku.”

Among Raga merupa menjadi pudarnya tali atas ikatan pertanyaan hakikat “siapa”. Belantara hutan dan riuh suara-suara itu rupanya ada di dalam dirinya sendiri. Among Raga berjalan jauh ke dalam diri. Among Raga adalah kiasan nama bagi setiap jiwa dan hidup menggerakkan raga, ia bisa nama saya, bisa nama anda, bisa nama siapa saja.

Kisah fiktif di atas bukan dari masa silam. Kisah tersebut saya bikin untuk kita pelajari tentang eksistensialisme dan keberlangsungan diri yang ada kaitannya dengan komunitas kita “komunitas tanpa nama”. Betapa nama itu bagi saya adalah seperti pertanyaan keras yang mengganjal dalam diri (dan seharunya kesadaran kolektif kita juga senada). Gara-gara tak kunjung dirubah nama itu, dada saya dipenuhi was-was tak terkendali,  pikiran negatif seperti mengintai untuk siap mempengaruhi semua sikap menjadi buruk.

Berikut ini salah satu alasan, kenapa batin saya selalu gusar karena sebuah nama.

Adalah tatkala zaman ketiga, segala macam apa saja cepat sekali berlajunya, teknologi, komunikasi, jaringan dari yang terang sampai yang gelap tumbuh dengan prosentase begitu pesat, padahal kita sangat sadar sedang menikmati produk instan dari itu semua. Kita menjadi telah mengemuka menjadi post agraris, post tradisionalis, atau post-post lain yang pada intinya kita sedang disugui modernitas yang masih menawan dan luar biasa. Akses kemudahan ini saya rasakan semakin mengikis dan sedikit menenggelamkan pondasi eksistensialitas manusia sebagai individu yang “person”. Lihatlah teknologi sosial media, berapa miliar akun yang bukan murni asli. Pengelola akun menyembunyikan identitas asli, mereka mengganti sebagian atau keseluruhan menjadi samaran semua.

Apa tuntutan dari kemudahan? Harapannya manusia semakin jujur dan menyatakan diri sebenar-benarnya. Tapi sungguh itu menjadi begitu sulit untuk dilakukan. Adanya kemudahan, justru kita berlomba-lomba membuat kemungkinan-kemungkinan baru yang jauh melepaskan diri dari realitas keaslian kita sendiri. Dan, yang terjadi berikutnya adalah pertanyaan yang hilang “siapakah aku?”

Seorang kawan saya, sebutlah namanya Dulkardeng, sejak lima tahun lalu menjadi pengguna banyak jejaring komunikasi pada sosial media. Saya amat yakin kalau anda mencari informasi tentang nama itu di internet dengan mengetik di secarh engine “Dulkardeng”, tidak ada satu kata pun yang merujuk ke dia. Dulkardeng menggunakan nama lain, nama alias, atau nama samaran untuk menutupi identitias aslinya sehingga ia menemukan keleluasaan untuk melakukan apa saja tanpa merasa kawatir akan ketahuan. Misalnya menggoda akun cewek atau memaki suatu kelompok yang tidak disukainya.

Banyak kemungkinan lain di luar pengetahuan Dulkardeng terkait privasi atau kemanan menggunakan media. Tetapi, justru karena ketidaktahuan itu, ia menjadi besar keberanian dan tajam taring untuk menjadi pemangsa bagi yang lainnya di kandang sosial media. Tentu saja ketika orientasi penggunaan nama itu tidak sesuai, ia akan kehilangan kesempatan menjadi positif di mata kebenaran.

Dulkardeng adalah analogi kecil. Di dunia ini, banyak kelompok lain yang ekslusif dan secara terang-terangan memberi pengumuman dari akun “anonimous” seperti sering dilakukan para hacker. Manusia bertopeng yang juga menyembuyikan identitas individu saat melakukan propaganda atau menyebar ancaman untuk kepentingan tertentu.

Jadi, pendapat sementara saya, di zaman modern ini justru kemanusiaan kita menjadi jauh lebih pengecut dari pada zaman sebelumnya. Kita menampakkan diri dengan wujud yang lain, sedangkan untuk berhadapan langsung face to face secara real tidak pernah berani. Kita tanpa nama menjadi berbahaya dan berpotensi membahayakan bagi yang lain. Tanpa identitas nyata, kita mudah dikuasai arwah pemangsa untuk ‘membunuh” orang lain. Kita tanpa hakikat tanda pengenal seperti pejalan yang menuju ketersesatan tanpa arah tujuan yang bermakna.

Harapan
“Komunitas tanpa nama “ adalah sebuah perkumpulan civitas anak-anak muda akademis Yogyakarta. Mereka sedang belajar menggali kemampuan kreativitas dan menuangkan gagasan atau pikiran mereka melalui karya tulis. Beberapa bulan telah berlaku, setiap seminggu sekali mereka bertemu untuk mengkaji, mengkritisi, merekonstruksi bahkan kadang dekonstruksi terhadap karya tulis yang mereka buat sendiri. Komunitas kecil nomaden ini menyimpan api kecil yang positif untuk menerangi (minimal) kegelapan di ruang kreativitas mereka sendiri.

Orientasi terciptanya sebuah nama kelompok ini maksud saya untuk mengisi “kekosongan” identitas sosial atau yang lainnya. “Komunitas tanpa nama”  hendaknya menjadi sifat temporer dan akan segera tergantikan dengan nama yang baik dan mampu mencerminkan filosifi kemanfaatan. Namun, sampai dua semester lewat, belum kunjung jua kita memperolah nama. Apakah sesulit itu untuk menentukan sebuah nama bagi komunitas? Dalam konteks ini, sungguh menemukan sebuah nama adalah kesulitaan yang maha benar.

Saya personlijk, tidak ingin membawa komunitas ini atau menjadi sebab bagi komunitas ini menuju ke belantara dunia underground. Tidak pula ingin stempel silang merah kultural mendarat di jantung atau seluruh kulit batang tubuh kita.

Sebagai bagian dari komunitas kecil ini, saya dan kita terjebak pada tarik ulur wacana perubahan nama. Saya lebih khawatir jika komunitas yang bersama-sama kita lahirkan ini tidak punya nama baik, sehingga pada saat jibril memberi ilham pengetahuan langit bagi setiap nama, kita terlewatkan. Saya takut, ketika masa pertanggung-jawaban tiba, nama kita disebut di depan gerbang ruang timbangan, kita tidak memberikan muatan kebaikan sama sekali. Saya ngeri, tanpa nama kita menjadi ancaman bagi ketenteraman dan keselamatan manusia.

Sekelumit menukil dari tradisi pemimpin para nabi, sesuatu kebaikan yang lahir mestinya kita sambut dengan gembira. Kemudian pasca kelahiran itu kita beri nama dengan nama-nama yang baik. Kreteria minimal baik itu adalah apabila orang mendengar nama itu disebut, ia akan merasa aman, nyaman dan bergairah untuk melakukan kebaikan. 

Pemberian nama pada komunitas kita ini saya kira tidak perlu lagi diulur-ulur.  Komunitas ini adalah anak intelektualitas kita, anak ideologis kita yang akan segera tumbuh dan membuahkan kreativitas untuk kemajuan bangsa. Setelah terpilihkan nama, kita akan bancaki, kita akan syukuri dengan memintakannya kepada Tuhan agar menjadi komunitas yang berkah dan bermanfaat dunia ahirat.

Dan, bila tetap bernama “komunitas tanpa nama” malah justru laiknya “pahlawan bertopeng” yang selalu menyembunyikan identitas dan kerja demi keselamatan khalayak banyak, secara apapun untuk zaman kekininan ini, saya tak berani memberi garansi.


Alkanjawi, 02 juni 2016.




post by Studen

Humanisme; Manunggaling Kawula, Gusti!

Humanisme; Manunggaling Kawula, Gusti!

Malam enam hari menjelang Bulan Ramadhan 1437 H, saya melekan sampai pagi. “Melekan” arti terbatasnya yakni terjaga dengan mata terbuka. Makna luasnya adalah terjaganya mata hati, tidak tidur lahir batin, dan waskita diri memandang dengan mata alam semesta untuk melihat fenomena-fenomena serta problematika yang (akan) terjadi pada keadaan dunia.

Memandanglah mata saya pada lokus Indonesia, dan jadi merah panas mata ini. Betapa tidak, kasus demi kasus yang muncul ke permukaan dunia realitas nasional kita banyak dipenuhi kabar buruk, salah satunya degradasi moral. Seorang Anak SD diperkosa 21 pria, menyusul berita 2 minggu lusa pelajar SMP dicegat 16 lelaki, diperkosa dan dibunuh di tengah hutan. Pembunuhan sadistis Mr. Cangkul dan kasus pencabulan guru agama terhadap muridnya di sebuah SMA. Sungguh bergetar mata hati ini menyaksikan kemanusiaan kita telah jauh terperosok dalam alam mahkluk kebinatangan.

Lalu, sebenarnya apa yang menggelincirkan akal sehat kita sehingga jatuh moralitas dan keadaban kemanusiaan. Mungkin, karena keterlaluan melencengnya paradigma dalam kita melangkah, atau salah tingkah laku kita dari pakem normatif ajaran kebenaran agama. Atau versi ketiga, kita ini sudah sedemikian parahnya disesatkan oleh nafsu jahat di dalam diri kita sendiri.

Saya tunggu pendapat para ahli agama, ahli jiwa, ahli sosial, ahli budaya atau ahli apa saja untuk mengungkapkan akar masalah dan solusi kongkrit tentang persoalan kita ini. Kita benar-benar butuh obat manjur untuk penyakit yang sedang menggejala di sekujur tubuh bangsa. Pangkal bulu alis sebelah kanan saya sampai gatal. Kenapa tak kunjung para ahli itu “turun tangan” turut campur memberi solusi persoalan seradikal mungkin. Kebanyakan kita malah menampakkan diri dengan cara mengecam, mengutuk, membenci mereka (pelaku) untuk dihukum seberat-benarnya. Saya amat mengira, kalau hukuman kebiri atau tembak tepat di jantung pelaku tidak bakal efektif.

Persoalan moral kemanusiaan kita ini begitu akut, banyak sebab yang menjadi imbas anak-anak manusia kita kehilangan harkat kemanusiaannya. Saya ungkapkan kegelisahan ini untuk renungan kita semua, namun, sebelumnya mohon maaf bila yang saya ungkapkan masih kurang kuat: bahwa kita sebagai bangsa berketuhanan telah kalah oleh gerakan-gerakan demokrasi yang digerakkan oleh “sang maha uang”. Uang memaksa kita terbawa arus “ada uang ada tuhan”, artinya, “uang” menggiring manusia menuju menuhankan “uang” itu sendiri.

Katakanlah manifestasi “uang” itu adalah “kekuasaan”. Seorang yang memiliki “uang”, ia merasa bisa bangkit eksistensialisme-nya untuk menguasai sesuatu secara fisik. Ia seolah berkuasa membeli “buah di taman berpagar” atau bahkan bisa merampas dengan paksa “buah” itu dan melemparkan uang segepok sebagai penggantinya. “Uang” menjadi substansi materi telah berakibat pada manusia yang mengedepankan kepuasan fisik untuk sebatas kepuasan “yang tampak”. Di hadapan uang, sekarang manusia seperti benda yang bisa ditukar dengan harga. Dari “uang” tersebut membentuk bawah kesadaran tentang “dengan uang kita bisa membeli segalanya.” Inilah kesadaran palsu yang menghasilkan dehumanisasi di dunia sekarang.  

Terusan kompleksitas paradigma kita yang sulit lepas dari jerat benang kusut materialitas fisik, nyatanya nalar pikir kita juga semakin lapuk untuk kuat mencerdasi diri dengan ajaran agama. Maksud saya setiap ajaran agama pasti punya dasar menjunjung harkat kemanusiaan yang menjadikan manusia sebagai aspek utama dari segala macam kepentingan. Materialisme ternyata mambawa pada pendangkalan kecerdasan diri untuk menerima keluhuran dari norma ataupun nilai-nilai ajaran agama. Saat itu terjadi, hidup kita kehilangan kompas tujuan sehingga rusaklah arah diri karena rusaknya kemurnian pandangan hati. Destruksi materialisme fisik pada kebeningan dan ketenangan hati terdalam kemanusiaan kita, menjadikan kita semua tidak bisa menerima kecerdasan pembeda. Kita tak tahu lagi batasan mana yang baik dan mana yang buruk.

Kemungkinan ketiga penyebab degradasi moral kemanusiaan kita, barangkali karena telah begitu leluasanya elemen syaitoniyyah di jantung pusat kehidupan, menyebar ke seluruh aliran darah, mengisi sendi-sendi, memenuhi urat kesadaran kita hingga secara biologis kita terkendalikan untuk selalu berpikir dan berbuat buruk serta putusnya urat malu di seluruh lapisan kehidupan kita. Belum lagi, efek psikologis pengaruh syaitoniyyah yang nampak pada lemahnya keinginan berbuat baik, 
menipisnya kesabaran, dan hilangnya gairah untuk aktualisasi diri menuju rahmatan lil alamin.

Masih belum lengkap kiranya ungkapan di atas. Saya ingin menambahkan pemahaman untuk sisi konstruk ontologis kamanusiaan kita. Sebagai mahluk yang diciptakan dengan bentuk yang terbaik, tentu “dalaman” kita yang berwujud ruh dan jiwa sebagai penggerak itu secara kualitatif lebih baik daripada jasad fisikal. Karena itu, interelasi semua eleman yang “gaib” dan fisik akan mampu menembus pengetahuan tentang etika juga estetika. Kesadaran tertinggi adalah menjadi hamba Tuhan dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Kalau kita dapat menemukan inti kemanusiaan kita sebagai “abdul rahman” hamba Tuhan, setingkat kita akan naik derajat dan tugas menjadi “khalifah fil ardh” penjaga keseimbangan dengan muatan-muatan kesadaran atas dasar martabat kemanusiaan.

Dalam konteks rekonstruksi hakikat humanis, restui saya menambahi pada kalimat filosofis legendaris “manunggaling kawula gusti” sebagai aktivitas transenden dan pencapaian puncak spiritualitas, dengan tanda koma (,) dan seru (!). Tambahan ini akan secara total merubah maknanya.
Jadi, manungaling kawula, kita hidupkan dengan menyatunya seluruh pengakuan eksistensi kemanusiaan sebagai hamba kepada Gusti! dengan suka rela. Dan, implikasinya kita menjadi sadar, tidak pernah ada dan segala kepemilikan kita ini adalah sebab adanya sang Gusti. Cakrawala akal pikiran, samudera rasa hati dan batang tubuh wadak ini semuanya adalah dari Gusti. Kita sebagai manusia manunggal (berjamaah) dengan kerelaan berkumpul menyatu untuk saling belajar-mengajar, mengkritik dan menerima kritik, membangun- menguatkan, mangasihsayangi satu sama lain. Saling memperingatkan dari berbuat dosa, saling menjaga dari kesalahan, serta saling menyelamatkan dari ketersesatan untuk bersama-sama menuju Tuhan sebagai satu-satunya tempat kembali.

Bila krisis moralitas yang muncul di dunia berasal dari manusia, maka jalan keluar paling mungkin adalah mengembalikan manusia ke jalan kesejatiannya.

Alkanjawi, bertapa di sungai gajahwong, 01 juni 2016.


Kamis, 12 Mei 2016

Kadang Suka Kadang Biasa



puisi-puisi fuad hasan succen


Kadang Suka Kadang Biasa

Kadang-kadang
Dalam renungan apa saja terlihat tak jelas
Ingin ini ingin itu
Keinginan sulit untuk dibatasi

Apa yang membuat suka
Aku mencari keyamanan yang ternyaman
Detik
Setelah bergeser nyaman pergi tiada lagi

Bila sedang tidak peduli akan kadang
Lalu mulai mencoba sebuah kepastian
Kadang datang mengolok-olok dan caci
Kenapa suka, lihatlah betapa ia jelek sekali

Aku runtuh
Kepercayaan menjadi puing-puing
Tak mungkin menyusunnya kembali
Sebab hati juga retak sana sini

Lalu apalah daya
Bila memang kadang-kadang adalah niscaya
Biar cermin renungan ini kuhancurkan saja
Lalu buta segala rencana

Tanpa bayang keinginan
Ini itu adalah aku
Yang tanpa mata
Meluncur ke jurang hampa

---***---

Katakan Cinta

Apa ada cinta?
Ada!
Sudah disampikan dengan kata?
Kau bilang kau ini pemberani

Lihat di luar hujan masih deras
Orang-orang berpuisi tentang langit dan hujan
Kau tahukah dimana petir?
Ia tak pernah ada
Kalau tak mengagetkan
Atau menakutkan!

Apa kau ini masih pemberani?
Jika itu tidak benar lagi
Kau tak perlu jadi seperti petir
Jadilah saja seperti hujan
Setelah jatuhnya hanya sebuah kesepian
Kemana lagi selain menghampiri comberan

Bila ada cinta
Sampaikanlah rasa dengan kata
Sambarkan gelegar suara
Biar ia yang mendobrak gerbang telinga
Biar getar hati dalam istana
Kepada …
Yang membuatmu terpesona

---***---

Kupu-Kupu Merindu

Danau dan gunung dihiasi candi
Danau tempat mandi para bidadari
Dari gunung garuda mengintai sendiri
Saat melihat kain kampuh digelar jadi tirai

Seekor kupu-kupu di kembang membatu
Diam saja melihat air bergelombang membiru
Sedang gadis-gadis dari langit tinggal satu
Tak jadi mandi sebab lupa membawa air susu

Kepada awan si gadis menyeru
Wahai hujan turunlah disisiku
Balutkan air segar dari payudara sucimu
Agar wajah yang bingung menjadi lugu

Bila sudah cantik kuingin menemui manusia
Aku mau bertanya kepadanya tentang cinta
Aku ingin tahu rasanya jatuh cinta
Wahai manusia berilah aku asmara

Kupu-kupu yang diam lalu tergerak diri
Setelah dewi bidadari merindu belai
Kepak sayap lembut memantulkan derai
Di puncak gunung garuda merasa hati

Garuda perkasa menjelma seorang pria
Tampan paras dan senyum memesona
Dewi jelita terpukau memandangnya
Pria gagah menaruh cinta di dadanya

Bahagia berdua mereka di dunia
Membangun candi antara gunung dan telaga
Kupu-kupu masih tetap sebatang kara
Merindu pada khayalan yang tak pernah nyata


---***---

Langkah Pertama

Dari rasa terdalam di hati
Aku mendengar panggilan kecil
Hatiku melangkah senyap mengendap
Belati di tangan menikam jantung sendiri

Engkau gadis jelita yang baru melihat dunia
Merah biru cerita teramat tipis di mata
Jumpa singkat terbalut putih makna
Terpaut senyum termimpi pesona

Engkau yang riang hidup dalam mimpi
Malas dan fantasi teman sepanjang hari
Sedetik waktu berlalu senyum menyemangati
Cinta memang pada anak muda abadi

Katamu rindu mantra suci
Jauh sejengkal tak kuasa ingin selalu bersama
Katamu kangen kehendak setia
Betapa pandai bayang wajah mengelabuhi mata

Rasa mulai tumbuh semai cinta
Gusar dan riskan hampir sama
Bila tenggelam dalam kefanaan
Waspada selamanya tidaklah apa-apa

Anak muda yang mulai ditawan cinta
Bila segalanya telah serasa milik berdua
Ambillah belati dari jantung kefanaan
Biar dengan tangan kita tikam keabadian

Yogyakarta 2015


Alam Pikir Orang Kita

Aktivitas paling tidak di hargai di sini, salah satunya adalah berpikir. Maka jangan sekali-kali mempertontonkan hal itu di depan umum! Me...