Kamis, 16 Maret 2017

RINDU



RINDU

BOLEHLAH saya memberitahu ke Anda kenapa manusia bisa merasa merindu. Rindu dalam artian paling awam yaitu keadaan dimana seorang sedang sendirian dan ingin dekat-dekat dengan sesuatu yang disukainya. Kalau sudah dekat dan bersama maka jadilah namanya syahdu; sebuah keadaan yang 180 derajat berlawanan dengan rindu. Jika rindu itu rasanya gelisah, bergejolak, sepi, bahkan sedih, maka syahdu adalah tenang, damai, ceria, dan menyenangkan.
Dari mana asalnya rindu? Rindu berasal dari kenangan yang indah di masa lalu. Kenangan sendiri terbentuk dari pengalaman di kala Anda bersama sesuatu itu, ketika saling memahami, dan saat dimana Anda sedang melakukan apa yang Anda sukai dengan tulus. Pengalaman manusia pada umumnya menanggap rindu sebagai suatu rasa yang harus dihilangkan atau minimal ditutup-tutupi. Sebab cenderung manusia menilai dirinya tidak cocok dihinggapi rasa rindu itu, ia merasa lebih layak kalau bahagia dan syahdu.
Saya ingin ajukan perspektif baru; hakikat adanya rindu sebagai bagian dari rahmat Tuhan adalah untuk mengingatkan Anda akan pentingnya mengetahui arti kesendirian. Demi menjunjung tinggi hukum alam semesta, bahwa haruslah seimbang manusia itu berada dalam keadaan sendirian dan bersama-sama. Tidak mungkin Anda akan menjadi manusia hebat kalau tidak mampu meresapi makna kesendirian, serta mustahil pula Anda bisa hidup kalau terus-menerus dalam kesendirian. Maka logikanya, rindu ada karena mengisi keadilan rasa yang Anda alami saat bersama-sama dan sebaliknya, jika Anda sehat, pasti dalam kebersamaan dengan objek kesukaan Anda, anda tidak lupa rindu pada kesendirian sebagai individu yang ingin sendirian.
Ketika manusia merindukan sesuatu objek apapun sebenarnya ia merindukan dirinya sendiri. Maksud saya, ketika Anda merasa sedang rindu, tidak lain karena pikiran Anda memancing perasaan untuk kembali membuka-buka file masa lalu dan berusaha menghadirkannya kembali. Nah, sesungguhnya hal ini merupakan persitiwa alamiah dan tanda bekerjanya sistem pembelaan diri guna menghalau akan ancaman kesedihan. Maka sangat keliru kalau Anda merasa rindu malah menjadi pilu, justru sebaliknya munculnya rasa rindu itu untuk menjadikan Anda tumbuh sebagai manusia yang kuat dan tajam perasaan batinnya.
Sengaja di sini saya cuma menuangkan yang ideal saja tentang rindu. Realitas rindu itu sama dengan phi. Ia berkali-kali lipatnya jumlah angka manusia dan amsalnya bisa saja tak terhingga. Anda misalnya, bukankah selama ini Anda tidak pernah menghitung berapa kali merasakan rindu. Saya kira jawabannya, memang kerinduan Anda begitu banyaknya sehingga tak bisa dihitung lagi. Jadi, hemat saya Anda tidak perlu membuang-buang waktu lagi memikirkan kenapa bisa rindu. Mengapa rindu sering membawa kesedihan. Atau cara menghilangkan rindu itu bagaimana. Bilamana Anda sedang merindukan sesuatu lebih baik Anda memanggil antusiasme diri untuk menyambut hangat rasa rindu itu. Anda akan mengerti syahdunya sejenak dalam kesendirian. 

by Alkanjawi, 16 March 2017


#student

Selasa, 14 Maret 2017

MEMELUK GADIS PENDOSA



MEMELUK GADIS GADIS PENDOSA
By Alkanjawi
Pukul setengah dua dini hari, kita baru beranjak setelah sekitar sejam duduk-duduk sambil nyusu cokelat di Burjo Barokah. Bersama teman, Dulakim dan Dulkasep, kita mengobrolkan substansi suatu objek padat di seberang jalan kita minum. Terrace, sebuah tempat hiburan malam yang dini hari masih ramai pengunjung. Parkiran depan penuh walaupun mobil-mobil berdatangan silih berganti. Gedung besar itu memang kelihatan sepi dari luar, namun suara jedak-jeduk musik disko dari dalamnya amat terasa menggetarkan area sekitaran. 
Bukan tentang objek suatu tempat yang kita bicarakan, melainkan sedikit tentang hiburan, gaya hidup, dan orientasi individu yang akrab dengan dunia gemerlap di daerah Babarsari itu.  
Inilah bagian sisi kota Yogya, seperti kota-kota lain dimana terdapat kebiasaan adaptif membangun lokasi hiburan sebagai penyedia layanan kepuasan bagi para pekerja yang otaknya dipenuhi pikiran penat. Mereka menghibur diri dengan minum minuman keras, berjoget bebas untuk bisa “terbang” dan sejenak lepas dari jerat masalah. Di sisi lain, gadis-gadis muda seumur 20-an yang bersih, wangi dan penampilan cantik berpakaian seksi menjadi pramuhibur bagi kalangan yang haus hiburan itu. Tak bisa dipungkiri, gadis-gadis muda itu so happy karena terlanjur tahu bagaimana mendapatkan keuntungan finansial dengan mudah. Kemolekan tubuh mereka masih dihargai cukup mahal oleh industri hiburan.  
Kita sambil ngobrol mulai memperhatikan para gadis yang keluar dari diskotik. Kita sengaja menaruh perhatian karena anak-anak gadis setelah keluar kemudian mereka berjalan menuju ke ruangan burjo tempat kita kongkow. Mereka nampak capek tapi sibuk memeriksa smartphome sambil minum es soda dan ngobrol ditemani cowok seusia. Saya lihat cowok-cowok itu bukan dari dalam Terrace, mereka memakai jaket agak tebal. Saya menduga cowok-cowok ini pacar mereka, atau jika tidak, anak-anak gadis itu adalah mahasiswi, dan teman-teman cowok itu mungkin sekedar teman kuliah yang menjemput mereka sepulang kerja part-time.
Dulakim teman saya berkata lirih: “saya kasihan dengan mereka” katanya sambil bibirnya menunjuk ke arah gadis-gadis cantik itu. “kenapa bang”. Sahut saya. Dia memandang kalau anak-anak gadis itu kerja part-time sebab mereka membutuhkan uang untuk beli keperluan-keperluan mewah. Semua itu untuk memperlihatkan hidup yang bergaya. Mereka malu atau tidak berani minta kepada orang tua dan terpaksa kerja paruh waktu untuk mendapat honor yang cukup besar. Sebagaimana pengalaman teman saya, untuk ukuran tempat hiburan tersebut, kira-kira gadis-gadis itu satu jam dapatlah kalau 500 ribu.
“Kasihannya kenapa bang?” kejar saya. Ia menjelaskan: Ya itukan kalau mereka masih muda. Masih laku kalau tubuhnya masih kencang, kulitnya masih mulus, kalau menggoda masih menggairahkan. Coba kalau nanti sudah usia 35 atau 40 tahunan, kamu lihat wanita-wanita di Malioboro yang kakinya ada tato, atau wanita yang bahunya terbuka kalau berpakaian, itu yang mau sama mereka siapa? Kamu mau sama mereka?
Masuk akal juga penjelasannya. “saya sebenarnya tidak tega melihat mereka”. Tandasnya. Jikalau ada kesempatan, Dulakim ingin sekali menyelamatkan mereka dari dunia gelap. Coba pikirkan, mereka (gadis-gadis) itu pasti mau, bahkan sangat senang kalau ada laki-laki baik yang datang dan mengajaknya menikah, membimbing mereka meninggalkan kebiasaan buruk itu. Kalau nanti bersuami, pasti mereka maunya dapat yang baik-baik. Jika disuruh memlilih, mereka tidak akan mau kalau menikah dengan lelaki yang biasa berlangganan di situ.
Termanggut-manggut saya mendengar tuturan Dulakim. Tak terasa saya lihat gelas sudah sampai di pangkal dasarnya. Minuman sudah habis, sementara dahaga belum mau pisah dari tenggorokan. Maklum, sebelumnya kita menghabiskan dua jam melatih vokal dengan lagu-lagu rock melayu di tempat karoke Shangrilla di daerah yang sama. Dulkasep masih ah-oh. Ia kurang paham tentang bagaimana kerja malam di tempat hiburan. Namun, duduk-duduk di warung Burjo itu kiranya sudah lebih dari cukup sebagai hiburan tersendiri baginya karena sejak tadi mukanya kusut. Habis marahan sama pacar. Katanya.
Sampai tulisan ini diketik, saya belum bisa berhenti berpikir tentang anak-anak gadis di klabnight itu. Apa benar mereka bekerja karena terpaksa? Apa iya mereka bersedia lacur kepada orang-orang berduit supaya bisa dapat duit? Untuk apa diut itu? Lalu, siapakah yang tanggung jawab kepada mereka? Siapa yang bersedia mengentaskan mereka dari lahan yang basah akan dosa itu? Jika ini berlangsung terus-terusan, siapa yang mesti disalahkan? Runyam kan masalahnya!
Diskotik telah menjadi lokal kecil tempat sumber masalah yang pelik untuk dicari jalan keluar. Di Yogya ada ratusan jumlahnya. Ribuan banyanknya di Indonesia, dan jutaan lain tersebar di seluruh dunia. Seolah-olah tempat hiburan telah menjadi kebiasaan yang lazim dan lumrah di tengah masyarakat kota. Namun begitu, rasanya masih mengganjal di jalan nalar akal sehat saya; perbuatan yang mendewakan nafsu itu tidak pantas dilakukan oleh manusia.
Tidakkah anak-anak gadis itu tahu efek buram jangka panjang untuk dirinya, keluarga atau generasi yang mereka turunkan kelak? BIla tak ada yang memperingatkan mereka akan kebaikan di dalam tempat itu, maka rasanya sungguh layak berdosa setiap pejuang kebaikan dari agama manapun di kota ini. Lebih-lebih para pendeta, kiai, bikhu, atau orang-orang pendakwah suci dari LDII, HTI, NU, Muhammadiyah, kalangan sufi. Jikalau persoalan tentang gadis-gadis itu luput dari perhatian mereka, maka tamatlah riwayat saya. Loh, kok malah saya yang tamat? Saya ini kan bukan siapa-siapa!
 Oh God… Please help me.
“Sesungguhnya wanita-wanita yang baik-baik itu untuk laki-laki yang baik-baik.”
 Apakah ayat ini hendak menegaskan bahwa memang ada wanita yang dikuasai oleh nafsu sehingga ia memilih tunduk pada nafsunya sendiri dan ingkar kepada Allah. Ingkar yang artinya abai terhadap pesan-pesan kebaikan sehingga cahaya hidayah terhalang oleh gerhana egoisme nafsu. Jika itu terjadi, maka terjadilah. (mumet). Kalau memang persoalan gadis-gadis itu adalah bagian dari “kehendak,” mengapa hati saya tidak terima melihat mereka berada dalam kehancuran itu. Apakah ketidakterimaan hati saya ini sama dengan ketidakterimaan mereka menjalani nasib buruk sebagai manusia asusila?
 Ya Allah, jika Engkau mengutus saya “memeluk” gadis-gadis itu dengan kasih sayang sebagai manusia, maka perlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Mu. Sesungguhnya persolalan ini bukanlah hal yang ringan sehingga pikiran saya menjadi terbebani karenanya. Kalau saya memilih lari meninggalkan masalah ini, apakah sama halnya saya lari menuju membuat masalah dengan-Mu. Bila kelak di hari pembalasan, karena masalah ini Engkau memerintah malaikat mencegat saya di gerbang surga, maka saya tidak akan melakukan apapun selain menyerah dan tunduk kepada-Mu.
Shubuh, 14 March 2017.




posted by student

Selasa, 07 Maret 2017

ALY D. MUSYRIFA



Selasa 7 March 2017
ALY D. MUSYRIFA
Launching buku puisi karya Penyair Aly D Musyrifa di gedung Teatrikal perpustakaan UIN Sunan Kalijaga telah saya ikuti hingga rampung. Harap Anda tahu, acara ini berbeda dari yang lain: pembacaan puisi-puisi oleh para tokoh, tribut Penyair. Tidak ada diskusi, debat atau perang argument seperti di acara launcing buku sastra pada umumnya. Dan, memang nampak sekali niatnya, acara diselenggarakan untuk menaikdaunkan sang penyair. Hemat saya, sesungguhnya ini harus terjadi dan spesial untuk mengharumkan nama penyair. Kenapa penyair? Karena penyair itulah yang melahirkan puisi-puisi. Lebih dari itu, eksisnya penyair itu menandai bahwa zaman kepenyairan masih belum sirna dari bumi Indonesia.
Saya tentu bukan hadirin penting di acara itu. Namun setidaknya penting bagi saya perlu tahu kalau “O… ini to Penyair, atau penyair itu harus dipublikasi supaya blablabla.” Dari acara ini, saya dan anak-anak generasi muda minimal jadi tahu wajah penyair Aly D Musyrifa. Kita menjadi saksi atas penyair yang bergaya menenteng puisi di kertas, membacanya sambil menata suaranya agar terdengar mantap dan berwibawa di depan mata semua orang, sesekali ia berteriak nada tinggi. Memukau setiap orang dengan lirik dan nada ritmis kata-katanya sendiri. Sedalam kesadaran seorang penyair, tentu saja ia menguasai pengetahuan instrumen show dan insting vokal dalam mendemonstrasikan puisi-puisinya, lebih-lebih untuk tersampaikannya makna pesan supaya audiens terpengaruh dengan pikiran-pikiran yang dikandung puisi-puisi itu.
Apa ada penyair yang tidak bisa membaca puisi? Kalau yang Anda maksudkan membaca puisi dengan demonstrasi atau deklamasi, tidak semua penyair bisa melakukan itu. Tetapi, sederhana saja, bukankah menulis itu adalah buah dari membaca? Jadi proses menulis puisi itu, selain membaca puisi yang sudah tertulis juga membaca ruh puisi yang bergerak di alam realitas, ruh puisi yang cair di arus kehidupan dan belum terkristalisasi oleh kata. Maksud saya, umpamakan wujud kata puisi itu adalah jabang bayi. Anda lihat bayi imut itu adalah wujud pembekuan dari percintaan, nikmat, mangkel, marah, dan macam-macam yang ahirnya dengan kesabaran dan harapan maka jadilah itu si bayi. Begitulah kata-kata lahir. 
Penyair Aly D. Musyrifa yang telah melahirkan banyak puisi, dapatlah Anda menilai bahwa ia seorang manusia yang menemukan dan menjadi dirinya sendiri. Dia jika sedang serius mengungkap makna, bergulat batinnya dengan fenomena dan ekspektasi, memilah-milah dan merangkai kata, serasa dunia ini berhenti berputar. Bintang-bintang bulan dan matahari hanya emblem artistika yang menyertai khusu keasyikan menuju terciptanya karya yang indah. Saya rasa, Ia berhasil menyusun ketenangan, yang mungkin oleh penyair lain ketenangan itu masih menjadi sebuah pencarian besar.
Aly D. Musyrifa itu hanya satu. Sebagai penyair, ia bukan lain adalah seorang yang bisa masuk dalam sirkulasi kehidupannya sendiri. Realitas dirinya melahirkan puisi, di waktu yang bersamaan pula puisi telah mengukuhkan dirinya sebagai manusia. Untuk ini, saya nyalikan diri menguntai selarik ungkapan sang penyair itu.
“Sekali waktu, saya melihat seorang yang ternyata ia berjalan sendirian begitu sangat keren. Semampai dan flamboyan. Sebelumnya, aku kira dia sedang menari, melambaikan isyarat tangan yang perasannya sedang penuh dinamis, antara bahagia atau sedih. Ia terus bergerak bahkanpun angin tidak berhembus. Ia menapakkan kaki seolah tanah lah yang berkehendak mencium telapak kakinya. Ia menundukkan kepala dan rambutnya yang panjang terurai itu seakan-akan menutupi wajah matahari. Ia yang memperhatikan setiap langkah dengan teliti dan ketekunan seperti rajawali. Ia yang menjinakkan degub badai dalam relung jantung dan merubahnya menjadi angin sepoi. Ia yang begitu keren saat berjalan sendirian itu telah memikat apa saja dengan gayanya berjalan. Ia Aly D Musyrifa adalah pesona.”
Kalau Anda bertanya siapa saya? Saya menjawab: saat ini aku adalah kata-kata yang mempuisikan penyair. 


possted by student

Alam Pikir Orang Kita

Aktivitas paling tidak di hargai di sini, salah satunya adalah berpikir. Maka jangan sekali-kali mempertontonkan hal itu di depan umum! Me...