Minggu, 09 Desember 2012

Mempersoalkan para Pembela Tuhan

Kaum muslim cenderung diam ketika meliat adanya hukuman mati untuk penista Islam. Namun, bukan berarti mereka sepakat akan tindakan itu.
Usman Kansong

NAMA Salman Rushdie mendadak kesohor di dunia Islam. Itu bukan lantaran ia seorang novelis, melainkan gara-gara ia dianggap menghujat Nabi Muhammad, Alquran, Islam, juga Tuhan, melalui novel Satanic Verses. Hari itu, 14 Februari 1989, pemimpin spiritual Iran Ayatullah Khomeini menyeru kaum muslim di seantero dunia menghukum mati Rushdie.

Tak sedikit kaum muslim yang menganggap serius seruan Ayatullah. Banyak yang berburu kepala Rushdie. Rushdie memang lolos dari vonis mati, sehat walafiat, hingga sekarang. Namun, penerjemah edisi bahasa Jepang novelnya dibunuh. Editor edisi Norwegia dan penerjemah edisi bahasa Italia luka-luka diserang orang tak dikenal.
Dunia Barat pun geger. Mereka menyadari bahaya vonis sesat, murtad, atau menghujat Islam, dari penguasa otoriter dan radikal di dunia Islam.
Fenomena vonis sesat, murtad, menghina Islam, serta respons Barat terhadapnya dan dampaknya bagi kebebasan beragama dan berekspresi mengusik perhatian Paul Marshall dan Nina Shea, keduanya peneliti pada Center for Religious Freedom, Hudson Institute, Amerika.
Keduanya menyurvei banyak negara muslim. Mereka menuangkan hasil survei dalam buku Silenced, How Apostasy and Blasphemy Codes are Choking Freedom Worldwide (Oxford University Press, 2011). Paul Marshall berkesempatan hadir di Jakarta mendiskusikan buku tersebut awal September lalu.
Marshall dan Shea menemukan pascaserangan 11 September 2001, vonis sesat, murtad, dan menghujat Islam meluas. Setelah serangan itu, Islamofobia dan ekspresi kebencian terhadap Islam meningkat. Beberapa di antaranya dianggap mengekspresikannya secara berlebihan hingga mendapat vonis penista Islam. Mereka pun menjadi target kemarahan kelompok radikal.
Itulah yang terjadi ketika koran Jylland-Posten, Denmark, menerbitkan kartun Nabi Muhammad pada 2005. Itu pula yang terjadi pada politisi Belanda Geert Wilders yang membuat film Fitna pada 2008.
Kasus Rushdie, Jylland-Posten, dan Wilders seolah mengonfirmasi bahwa ancaman hukuman mati hanya ditujukan pada penista Islam yang bukan muslim dan warga negara nonnegara muslim. Akan tetapi, Marshall dan Shea menemukan ancaman juga mendera kaum muslim di negara-negara muslim. Mereka antara lain para pembaru Islam dan kelompok muslim minoritas.
Di Indonesia, misalnya, Ulil Abshar Abdalla, yang ketika itu menjadi Koordinator Jaringan Islam Liberal, mendapat ancaman pembunuhan hanya gara-gara menulis opini tentang keharusan pembaruan Islam. Karena dianggap sesat, kaum minoritas Ahmadiyah dan Syiah di banyak negara muslim juga termasuk target serangan dan ancaman dari kelompok radikal.
Marshall dan Shea sampai pada kesimpulan bahwa hukuman mati akibat tudingan menistakan Islam telah melintasi sekat-sekat agama dan batas-batas negara.
Amerika sepertinya menjadi negara Barat yang sering menjadi target amarah dan ancaman. Paling mutakhir, pada 12 September 2012, Duta Besar AS untuk Libia Christopher Stevens dan tiga staf kedubes tewas terkena serangan roket kelompok radikal yang memprotes film Innocence of Muslims yang dianggap menghina Nabi Muhammad.
Ancaman hukuman mati karena dianggap mencela Islam mengancam orang dari berbagai kalangan, mulai novelis, kartunis, pembuat film, politikus, mereka yang berpindah agama, pembaru agama, hingga kelompok muslim minoritas.
Fenomena seperti itu tidak bisa dibiarkan. Selain merusak hubungan Islam-Barat, ia mengancam kebebasan berekspresi dan beragama. Oleh karena itu, Marshall dan Shea merekomendasi, terutama Barat, untuk menahan diri memberi stigma negatif pada Islam. Namun, Marshall dan Shea tidak menginginkan kebebasan berekspresi dan beragama menjadi terkubur karenanya. Mereka merekomendasi dialog intensif Islam-Barat.
Marshall dan Shea juga tidak menginginkan kaum muslim yang tidak sepakat dengan hukuman mati bagi mereka yang dituding menistakan Islam diam seribu bahasa (silenced). Jika tetap diam, kaum muslim sama saja mati bersama orang-orang yang dibunuh lantaran dituding menghina Islam. Diam (silenced) sepertinya menjadi kata kunci bagi Marshall dan Shea. Mereka menjadikannya sebagai judul buku ini.
Mendiang Presiden keempat Indonesia Abdurrahman Wahid ialah orang yang berani mengekspresikan ketidaksetujuannya terhadap ancaman hukuman mati bagi mereka yang dituduh menghina Nabi Muhammad, Alquran, Islam, juga Tuhan.
Itulah sebabnya Marshall dan Shea memasukkan tulisan Gus Dur sebagai pengantar buku mereka.
Gus Dur menulis keagungan Tuhan tak bakal pudar meski dicela, dihujat, dihina, dan dinistakan. Tuhan tak perlu dibela. Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang tidak mungkin punya musuh.
Lalu, mengapa masih ada muslim yang merasa telah membela Tuhan dengan menyerang bahkan membunuh mereka yang dianggap menistakan Tuhan?

Alam Pikir Orang Kita

Aktivitas paling tidak di hargai di sini, salah satunya adalah berpikir. Maka jangan sekali-kali mempertontonkan hal itu di depan umum! Me...