Senin, 11 Desember 2017

APA KARYA ABADI NENEK MOYANG NUSANTARA?

APA KARYA ABADI NENEK MOYANG NUSANTARA?
By Hassan Alkanjawi

Seorang mahasiswi mengangkat tangan, ia minta ijin bertanya saat diskusi berlangsung di Lingkaran Kosong malam ini.

“Silahkan.” Ucap saya.

“Emmm...gini, Tadi bapak menjelaskan mengenai sejarah "bangsa nusantara" kita. Sejak dahulu mereka sudah eksisten berperadaban, bahkan sejak ribuan tahun silam. Nenek moyang kita pengembara yang tangguh, bahkan konon sampai ke wilayah gurun dan sempat ketemu dengan Abraham (Ibrahin As). Pelaut-pelaut kita yang hebat dengan pengalaman segudang mampu menaklukkan gulungan liar gelombang atlantik. Juga para leluhur kita yang ikut partisipasi dalam diskusi forum-forum elite filsuf Yunani Kuno, sehingga menolong Plato dan muridnya Aristotle mencapai kebijaksaan tinggi. Dan, jauh sebelum itu Budha Gohutama mencapai inspirasi pencerahan dalam perenungan di daerah Kalioso, sepulang berkunjung dari dalem seorang Empu yang berdomisili di Sragen. Tapi mengapa peran bangsa kita yang hebat tersebut tidak abadi dalam catatan sejarah dunia?”

Sedikit tidak terduga. Pertanyaan macam ini terlebih dulu perlu dijawab dengan membongkar pondasi pengetahuan kesejarahan umat manusia. Empat orang di hadapan saya nampak antusias menunggu bibir saya bergerak. Apa kiranya kalimat yang bakal keluar untuk menurunkan keteganan neuron di otak mereka. Karena ini forum diskusi saya, seperti biasa, saya persilahkan dahulu audien menanggapi.

Sudarta angkat suara:

“Benar sekali. Kita memang punya peradaban yang sangat tua, setua prasasti usia manusia. Sebelum ke inti pertanyaan, saya ingin menambah bahasan dari sedikit yang mungkin terlewat, bahwa kita ini punya sikap rendah hati paling tinggi di dunia. Seringkali kita memilih sembunyi di balik begron dan lebih senang melihat orang lain berhasil sedangkan kita adalah tokoh utama di baliknya. Betul nggak?”

Kesadaran para mahasiswa tergoda untuk melihat sejenak ke dalam alam bawah sadar. Tidak ada yang menyangkal jawaban Darta di atas.

Hmmm… itu mungkin poin penting sumber jawaban pertanyaanmu itu. Dahulu kala, bangsa kita hidup dengan kebiasaan hobi khas orang goa. Biasa bersemedi dalam lorong-lorong gelap untuk mencari kesejatian rasa. Itu awal-awal. Dalam proses panjang mencari rasa tunggal dalam keheningan jiwa dan raga, sejauh ini kita sudah mampu adaptasi walau di suasana keramaian.” Tambah Tuskris.

Kepala Elia tidak bisa tenang. Perempuan berkacamata bulat itu nampaknya ingin juga segera bicara.

Emmm… Sejarah bangsa kita seperti jilbabku ini. Panjang dan lebar. Tapi ada yang lebih panjang tersimpan di dalamnya. ya, rambutku yang tebal dari susunan ribuah helai.  hehe... Informasi mengenai siapa sejatinya kita, hanya setetes tinta yang meresap di pena sejarahwan. Kita harus meneruskan literasi sejarah kita yang belum tersingkap.”

Sutoaji berdehem, tapi mimiknya mesam-mesem, sepeti mengiyakan.

“Sengaja kan kamu tidak membuka rambutmu yang indah itu. Saya kira leluhur kita sudah kenyang dengan urusan Ilah, Isme, isu-isu wacana intrik atau apapun yang ternyata semua itu tidak menghasilkan apa-apa kecuali ndas mumet. Maka sungguh bijaksana, mereka bersedia menepi, tafakur dalam palung kesunyian dan diam-diam terus eksperimen dengan segala kekayaan alam untuk menciptakan sesuatu yang sangat berguna untuk anak cucu kelak di masa depan. Saya kira, ada sebuah mahakarya yang dihasilkan dan manfaatnya begitu besar hingga detik ini. Mahakarya itu dikenal dengan sebutan: bumbu instan. Butuh lebih dari puluhan abad untuk proses ujicoba peracikan dan kompoisi demi melahirkan rasa yang tidak murtad dari imajinasi.”

“Bumbu Mi instan maksudmu, hahaha?” Tanya Sudarta. Walaupun namanya "bumbu Instan", tapi untuk mewujudkan itu butuh ribuan tahun dan harus melewati dialektika logis dengan para filsuf, bergelut dengan alam liar dan meditasi panjang. Rupanya tidak sia-sia, atas upaya leluhur, mahasiswa kere-aktif yang sering kelaparan seperti kita-kita bisa tertolong dengan makanan enak dan terjangkau, Mie instan.


  Sudah-sudah cukup. Mari kita cover diskusi ini dengan berterimakasih sebanyak-banyaknya kepada nenek omyang bangsa Indonesia. Dengan kesabaran, ketulusan dan kerja keras beribu-ribu tahun itu telah menemukan resep ajaib. Resep bumbu instan ini menjadi pertolongan pertama bagi anak-anak pelajar seperti kalian. Bersyukurlah kalian bisa menikmati warisan mahakarya leluhur yang bijaksana itu. Maka, bila tidak ditemukan bumbu instan, apa yang bisa dipertaruhkan untuk survive bagi para pencari ilmu di tanggal tua?  

***
seperti dilansir MAJALAH VEMALE  berkat jasa leluhur kita, Mie asal indonesia paing enak seduia.




POSTED student

jgj, 12-12-17



.,

Sabtu, 09 Desember 2017

TERBAKAR CEMBURU by Alkanjawi

TERBAKAR CEMBURU
byAlkanjawi

Jeda karena jarak rupanya telah mengikis kesetiaan. Diam-diam, hati menumpuk cemburu menjejali dada. Seperti gunung sekam. Nika menunggu sebuah pertemuan perang melawan pernyataan-pernyataan. Semua prasangka jadi tenaga. Kata-kata jadi senjata. Bayang wajah amat menyakitkan. Satu kata keluar dari mulut musuh adalah percik api yang menyulut sekam.
Nika sudah kehabisan energi kesabaran. Cinta yang pernah berbunga menjadi taruhan. Hari-demi hari hubungan runyam. Sudah satu minggu Canaren cuek membalas chat Nika. Semakin murka jika ingat saat memeriksa smartphone, ia melihat Canaren bisa begitu hangat dengan perempuan yang tak lain adalah temannya. Nika menelisik semua medsos, riwayat penggilan telepon, dan galeri. Otaknya semkin mendidih.
Kecurigaan, kalau dituruti akan berujung pada dua pilihan: menang atau menyesal.
Di sebuah sudut teras, malam itu, Nika menghadapi Canaren. Di tengah mereka meja kerap goyah karena pijakan tidak rata.
“Jangan berkata apa-apa dulu.” Kata Canaren.
Seakan persetan dengan cinta. Nika matanya melotot, tangannya geram dan suaranya tinggi, Ia menghardik Canaren tepat di depan muka. Amarah tidak terkontrol. Otot kendali di lehernya putus. Kata-kata menyemprot dari kerongkongan. Perempuan yang dibakar cemburu melampiaskan niat menghabisi lelakinya dengan amukan yang berkobar-kobar.
Sungguh tiada yang telah keluar dari mulut orang marah kecuali keburukan.
“…. Pokoknya aku ingin mas jujur. Mas ada perasaan ato gak sama si Dista!”
Hanya kata terahir itu didengar Canaren.
Selain katanya sendiri yang telah patah, Canaren tak berkata lagi. Ia membisu. Tangannya erat menggeggam tangan Nika. Canaren menjatuhkan pandangannya ke dalam gelas-gelas merah. Ia tidak kemana-mana. Ia menunggu sesuatu yang sangat penting terjadi Sesuatu yang rasanya begitu lama dinantikan: Diamnya Nika.
Perang seperti berat sebelah. Nika memojokkan lawan. Kata-kata terus menhunjam tiada henti. Sekalian kita tuntaskan malam ini. Luka bisa sembuh, tapi kecewa takan termaafkan.
“ Kalau memang gini sudahi saja. Dan, aku tahu kelakuan mas itu sebenarnya kayak apa?”
Kata-kata pamungkas yang dilempar keras. Nika menyebut Canaren begitu hina dan laknat. Tiada belas ia menjerumuskan lelakinya di benci oleh masa depan. Pembunuhan optimisme yang begitu kejam! Kata-kata itu belati telah menikam jantung ketulusan.
Tetapi, kesabaran adalah perisai yang tak mungkin tembus musibah apapun.
Sepasang tali mulai belajar mengikat. Di jalan mereka tempuh misteri dan seribu kemungkinan. Sekali-kali membahayakan. Kadangkala satu di antara mereka tersandung masalah dan terjatuh dalam kecewa yang tidak cukup disembuhkan air mata.
Namun jika suatu saat keduanya jatuh bersama, mungkin hanya dengan membunuh emosi kesetiaan bangkit lagi.

 Jgj 10 dec 17





oste by student 

Alam Pikir Orang Kita

Aktivitas paling tidak di hargai di sini, salah satunya adalah berpikir. Maka jangan sekali-kali mempertontonkan hal itu di depan umum! Me...