Senin, 16 November 2015

IKSAN MUBAEDI; A PROFILE By alkanjawi

IKSAN MUBAEDI; A PROFILE

By alkanjawi

Bersama Iksan mubaedi penulis makan siang nasi bungkus seporsi berdua untuk pertamakali di kampus. Makan nasi tiwul (nasi yang ditanak dengan campuran gaplek) dengan wadah tepak atom. Sedangkan sayurnya berupa gori yang dimasak rendang campur kangkung dibungkus kertas minyak. Lauknya remukan gorengan tempe mendoan plus pretelan tepungnya yang kering, serta kerupuk dua biji untuk melengkapi kebersamaan. Kesemua makanan itu dikeluarkannya dari tas selempang kecil yang selalu semampir di pundaknya. Di sebelah timur lantai dua gedung paskasarjana, adalah tempat yang cukup aman untuk makan dan menjauh dari keramaian. Siang itu teman-teman kelas mengabarkan meraka sedang makan siang bersama di dapur sambal. Tempat makan orang berkelas. Penulis, junus dan iksan kurang terbiasa dengan kemewahan, lebih baik menghemat dan makan sederhana. Menurut bahasa iksan, hal demikian itu dia bilang sebagai “anti mainstream”. Itulah jargon andalannya untuk tidak ikut pada keumuman yang kerap dilakukan anak-anak.   

Katanya semua makanan itu dibawanya dari kebumen. Bagi penulis, mungkin maksudnya dia membawa beras campur gaplek itu berupa bahan mentah dari kebumen, lalu sesampainya di tempat kos, jogja dia baru memasaknya. Kalau yang dibawa dari kebumen berupa nasi mateng, mungkin saja bisa basi. Dan, sayurnya pun terasa masih hangat ketika dibuka pada waktu siang itu. Kenapa tidak makan nasi putih?, begitu penulis tanya. Anti maeinsteram; jawabnya. Itulah iksan mubaedi. Seorang pemuda asal darah kebumen jawa tengah. Alumni PAI uin jogja. Punya minat tinggi terhadap kesenian dan anak jalanan. Banyak melakukan kiprah seni di kampus, juga rumah singgah anak jalanan di tempat daerahnya. Dia banyak belajar tentang kehidupan anak jalanan. Hal ini cukup banyak mempengaruhi cara pandang dan pola pikirnya terhadap realitas yang mengelilingi dirinya.

Karakter dasarnya memang terkesan slengekan. Suka membalikkan fakta. Bilamana mayoritas orang berfikir dan menghendaki dari A sampai Z, dia membelot dengan mengemukakan pendapat yang terbalik, yakni dari Z ke A. Menurutnya, pengungkapan mengenai hal tersebut memang disengaja. Dia mempunyai tujuan, biar setiap orang menemukan jalan dan cara berpikir sendiri. Biar juga dalam satu komunitas itu tidak selalu seragam. Harus ada yang berbeda supaya sebuah komunitas bisa dinamis dan terus terpancing untuk berpikir menemukan sesuatu yang baru. Pemikiran semacam ini mengingatkan penulis, bahwa keseragaman membawa kepada jumud dan tertutupnya pintu berpikir/berijtihad. Dengan adanya perbedaan pendapat pada sebuah kelompok, diharapkan akan terjadi konflik yang kemudian dicarikan solusi bersama. Ini adalah langkah cerdas untuk membentuk sebuah komunitas supaya tetap mampu menghasilkan suatu kreativitas.

Dari sisi retoris, sudah barang maklum bila orang kebumen merupakan penutur bahasa jawa logat ngapak. Iksan mubaedi salah satunya, gaya berbicara santai dan logis. Penulis mengamati susunan kalimat yang dia keluarkan dari bahasa verbalnya mayoritas induktif. Ucapannya yang paling inti ada di pamungkas kalimat. Dengan sikap santai dan pengaturan tempo yang lumayan baik, susunan itu nampak sempurna secara common sense. Tapi, bila didengarkan dengan seksama, pembicaraan yang diungkapkan iksan mubaedi seringkali tidak sempurna dan melenceng dari sasaran inti yang tepat. Kebanyakan orang tidak mengangkap itu sebab logat khas ngapak lebih terdengar lucu dan menutupi esensi pembicaraan yang dibawakan. Penulis menjadi tahu karena bebrapa kali berbicara empat mata dengan iksan mubaedi, dan pada kesempatan itu, dia nampak berusaha semaksimal mungkin memakai logak umum dan mengurangi logat ngapaknya.

Secara style iksan mubaedi merupakan gambaran dari model yang tidak jelas (tidak tetap dan berubah-ubah). Bisa jadi karena ketidak konsistenan profile style itu, kemungkinan adalah implkasi dari konsep pemikiran yang acak-acakan tanpa sistematisasi yang jelas pula. Misalnya, style dasar pakaian yang dikenakannya adalah baju kaos berkerah, jaket, celana jins dan sepatu. Di kesempatan lain, ia menampakkan diri dengan baju batik, celana kain dan tanpa sepatu. Fenomena semacam ini adalah wujud dari ketidakserasian komponen berpikir dengan realitas yang hendaknya dipatuhi dalam peraturan kampus. Sytle penampilan ini membawa penulis pada penilaian sementara, kalau iksan mubaedi ini pada saat tertentu yang dianggap penting, dia menggunakan pakaian resmi, sedangkan jika situasi tidak teramat penting dalam keterlibatan dirinya, dia cenderung apatis. Namun, yang penulis lihat pada intinya style yang dibawakan itu semuanya simpel. Cara dan penampilan yang simpel itu kemungkinan besar berhubungan dengan kebiasaannya yang tidak suka pada sesuatu yang berlebihan dan mengarah pada pemborosan.

Dalam penglihatan sosial, iksan mubaedi secara personal mendapat penilaian baik dari mayoritas teman kelas. Penulis membenarkan itu. Iksan mubaedi kerapkali dalam pembicaraanya seperti selalu diselipi dengan joke yang bertujuan merekatkan emosional dalam komunikasi umum. Maka tak jarang yang terjadi adalah mengundang tawa audien saat dia berbicara. Ini merupakan bukti kalau audien memperhatikan. Sisi sosial menjadi basis kekuatan dalam pikirannya. Maka seringkali sikap berbagi dan menasehati cukup kerap dia lakukan kepada teman-temannya. Keadaan demikian mengundang simpati teman untuk membangun sebuah kesepakatan yang sehat tentang bagaimana bisa berhasil atau sukses bersama dalam proses studi. Terahir yang penulis dengar langsung darinya adalah, dia kembali memberikan saran pada teman-teman tentang pentingnya kumpul bersama di selain waktu dan tempat dalam kelas. Pentingnya pertemuan luar kelas ini ditujukan sebagiannya untuk memunculkan simpati kepada teman-teman sekelas yang jarang masuk atau bahkan tidak pernah masuk.

Iksan mubaedi hendak memberi pemahaman tentang kesadaran sosial dalam sebuah kelompok sosial. Kita sebagai orang terdidik mestinya peka terhadap masalah yang sedang dialami oleh teman sendiri. Jika masalah dapat ditemukan akarnya, bersama-sama kemudian masalah tersebut dicarikan solusinya secara efektif. Bagi iksan, kegelisahan terkait eksistensi teman yang terlupakan inilah yang menjadi sorotan utama masalah sosial yang terjadi di kelas. Penulis sangat setuju pengaplikasikan ide cemerlang ini dengan segera. Kemudian, dari divisi diskusi yang dikordinatori oleh saudara asep mukmar, menegaskan pertemuan di luar waktu dan tempat kelas akan dilaksanakan sabtu sore. Untuk tempat, usulan dari saodara ranu nada, bisa dinama saja asalkan tempat yang tidak sepi dari makanan dan minuman. Mungkin maksudnya di tempat nongkrong seperti kafe atau warung makan.

gambaran di atas adalah sekelumit tentang iksan mubaedi yang penulis kenal. Di usianya yang hampir 25 ini, dia masih kurang mampu membahasakan ide secara baik. Problem tentang pemahaman partikular nan kurang menyeluruh terhadap satu konteks tertentu yang berkaitan dengan sebuah kajian ilmu. Namun demikian, kepekaan sosial yang dia kemukakan menjadi titik penting untuk memulai membuka halaman kesadaran bahwa satu kelas ini mengandung makna satu proses dan satu tujuan. Bila kita semua diterima secara bersama pada jurusan psipi, sudah barang tentu konsekwensi atau tanggung jawab tentang kebersamaan proses dan hasil dapat pula dijaga untuk meraih keberhasilan bersama. Jangan sampai keadaan sosial di kelas tidak kondusif sehingga timbul masalah yang sifatnya kecil menjadi besar dan menjadi penghalang untuk selalu mempertahankan kebersamaan sampai tiba waktu kelulusan.

(jogja, 10 November 2015)


Alam Pikir Orang Kita

Aktivitas paling tidak di hargai di sini, salah satunya adalah berpikir. Maka jangan sekali-kali mempertontonkan hal itu di depan umum! Me...