Sabtu, 12 Maret 2016

Kalau Saya Tidak Pacaran, Apa Itu Salah?

BY fuad hasan succen

Entah apa yang membayangi saya sehingga pada hari-hari menjelang penghabisan usia seperempat abad ini belum juga berani pacaran. Sungguh, memang ada semacam ganjalan kecil di hati ketika ditanya senior yang sudah berkeluarga, “Sudah punya pacar belum?” Sepotong jawaban saya: “Belum mas, atau mbak”. Juga manakala pulang ke kampung halaman, berkunjung ke rumah kiai yang dahulu mengajarkan kitab gundulan setiap sore. Dengan amat penasaran beliau-beliau berkata: “Sudah punya calon belum, Ad?” Mendapati kalimat-kalimat interogatif itu, saya tertunduk dalam labirin kompleksitas, berputar-putar tanpa tepi, tanpa jalan keluar.

Sedangakan melihat kawan pantar seperjuangan di tanah rantau ini, mereka telah “menggandeng” pacar dan membawanya kesana kemari. Kawan-kawan yang di desa, seangkatan, semua sudah menikah menjadi bapak atau ibu bagi anak-anak mereka. Saya dapat dibilang “ketinggalan” dalam urusan perumahtanggaan. Banyak diantara kawan (dan juga masyarakat umum) lingkungan kita yang bisa menarik hubungan antara pacaran dengan pernikahan. Ibu-ibu di kampung begitu bangga anak gadisnya ditamui pria, diajak jalan-jalan dan kembali membawakan oleh-oleh kesukaannya. Mungkin mereka juga bisa menerima dengan segala resiko, mengartikan konsep pacaran sebagaimana halnya pernikahan. Saya tidak paham dimana letak hubungan itu, juga tidak pula menemukan relasi positif yang pas antara keduanya.

Secara biologis saya sudah masuk pada masa-masa perfect sebagai lelaki. Psikologis dan kemampuan-kemampuan improvisasi juga sangat mendukung. Mungkin dalam hal kemapanan memang masih jauh dari harapan orang modern-materialis. Hidup di kota orang pun lebih sering “nggelandang”, mencari sesuap nasi juga harus pontang-panting banting tulang dan memeras keringat dulu. Tapi memang ini proses yang harus saya lewati menuju cita-cita serta upaya nyata mengabulkan harapan orang tua. Pahit itu bagian yang harus ada untuk mengimbangi manisnya hidup, meski dalam bayangan. Jadi, mungkin tak teramat menjadi masalah, bila kepusingan saya mencari jawaban-jawaban yang mampu melegakan dada senior dan guru-guru hasilnya tetap buntu.

Terus terang, saya tidak punya konsultan tentang hubungan asmara, bagaimana prospek perpacaran, dan masa depan percintaan saya. Tidak pula banyak membicarakannya kepada orang lain, ataupun keluarga sendiri. Jika mungkin Anda mempertanyakan normalitas kelelakian saya. Tanpa melalui test atau diagnosa, saya bisa menjawab dengan tegas bahwa saya adalah lelaki normal, saya bisa dan memang naluri saya menyukai lawan jenis. Beberapa kali dalam masa dan lokasi tertentu saya sempat naksir, suka, dan timbul pula “rasa aneh” kepada perempuan. Saya pikir ini wajar, sewajar saya bisa merapikan semua rasa itu dan membingkainya sebagai hiasan taman hati.

Sampai kapan?

“Dua tahun lagi!” Jawab saya. Tak ada dasar empirik sama sekali, jawaban ini saya bikin sekenanya saja. Jika kata-kata tersebut serius, saya kawatir beberapa pertanyaan lain dari Anda akan menggeruduk saya. Dengan siapa? Orang mana? Kenal dimana? Anaknya siapa? Neneknya baik atau nggak? Dan seterusnya tanpa halaman ahir. Memang bagi orang kepo, pernyataan ini menarik untuk dibahas panjang kali kuadrat. Tapi saya tidak tertarik membincangkannya.

Saya kira lebih penting kita kemukakan bukan memfeeling diri sendiri. kita melihat fenomena kaum muda era kekinian yang sedang menjalani pacaran. Mereka yang masih mahasiswa, kursus, atau sekolah memilih pacaran itu sebenarnya apa motifnya, bagaimana modus-modusnya, jenis pacaran seperti apa yang mereka praktikkan dan seterusnya. Ini berkaitan dengan keputusan yang saya ambil terkait kenapa tidak kunjung pula saya berpacaran seperti mereka. Sebabnya, meskipun kelihatannya pacaran seperti urusan sepele dan sekunder, tapi kenyataanya pacaran itu sendiri adalah bagian dari kehidupan kita, bagian dari sistem sosial masyarakat semesta raya, yang menyambung termasuk dalam kosmos yang efeknya pada kehidupan dunia dan segala macam isinya.

Entah dari arah angin mana tradisi pacaran yang berlangsung di masyarakat kita sekarang. Dari Barat atau bahkan dari Utara. Anak-anak muda kini bisa saja bebas mengartikan cinta sebagai perilaku kebersamaan, kesalingmemegangan, saling “ketemuan” yang muaranya mengarah pada pemuasan fisik dan kebutuhan dasar psikologis. Dalam hal ini laki-laki dan perempuan tidak ada bedanya. Kedua pihak yang berbeda kodrat insaniahnya, bila sudah bertemu dalam ruang ekslusif, rerimbunan atau reremangan betapa mudah nilai-nilai moral pusaka wasiat orang tua luntur seketika. Tanpa memikirkan norma yang hidup itu, anak-anak muda kita sebenarnya telah menanggalkan kemanusiaan dan kembali menjadi hewaniah seutuhnya.

Jika begitu negatif betul pacaran yang demikian adanya, tentu akibatnya bukan saja merusak diri sendiri, tetapi juga menyakiti masyarakat dan anti terhadap pendidikan karakter serta revolusi mental yang amat menggaung di tengah-tengah kita. Sebab itu, intinya kita perlu saling mengingatkan, saling mengawasi lingkungan untuk mencegah sebelum terjadi bencana moral dan krisis akhlak. Anak-anak muda memang perlu diawasi, kalau perlu kita tempelkan CCTV pada lensa mata mereka demi keamanan kemanusiaan nasional. Hehe.

Di sisi lain, agak lumayan, bagi beberapa anak muda yang memaknai arti cinta dengan aktualisasi pacaran, mereka kendalikan bersama untuk kepentingan jangka panjang. Sebagai dua organisme yang berbeda pemikiran dan latar kultural, mereka mulai merangkai, mencari titik temu pandangan yang produktif dalam bingkai kerja sama visioner kesejahteraan hidup berkelanjutan. Dengan modal kebersamaan, mereka menguntai impian sedemikian rupa, merancang proposal kerja dan pendukung lainnya, tidak sedikit mereka yang berhasil menambah sisi kemandirian dan pengalaman mengerjakan sesuatu untuk kepentingan hari depan. Anak muda yang berpacaran dengan cara ini namanya kreatif.

Kreatif dari sisi ekonomis. Dengan mereka mencoba-coba kesibukan produktif semacam itu, secara otomatis tercipta daya guna pada proses belajar mereka menemukan kepuasan material. Tapi, kita nyatanya tidak hidup hanya pada kenyataan ekonomi, bukan? Kita hidup dalam naungan masyarakat yang menghormati budaya, adat, religius, yang semua itu membuka celah lain untuk sulit merestui kebersamaan dalam ikatan “pacaran”. Pacaran ekonomis berlangsung pada kesadaran nyata. Sedangkan di bawah kedasaran ekomonis sifat dan naluri anak-anak muda saat kesempatan dalam kebersamaan lain, pastinya ada sesuatu yang tetap terjalin secara rahasia dan privat. Kita tetap berbaik sangka pada mereka, semoga jaminan ekonomis yang mereka hasilkan tidak mempengaruhi pada kebutaan mata hati dan menjadikannya “putih mata” dikemudian hari.

Jadi, kalau saya tidak berpacaran, apakah itu salah?

Wallaualam, saya hanyalah manusia biasa yang takut pada jebakan-jebakan yang tidak terlihat dan tidak tersadari oleh segala keterbatasan saya. Juga tentang batasan-batasan normatif yang saya pegangi, serta bayangan lain yang mungkin saja secara tak terduga menyergap dalam kegelapan mata dan membuat saya pada akhirnya akan menyesal tiada berdaya. Kepada para guru, saya bermohon doa dan bimbingan ke arah jalan yang diridhoi Tuhan.

Yk, 11 maret 2016

posted by STUDEN#

Alam Pikir Orang Kita

Aktivitas paling tidak di hargai di sini, salah satunya adalah berpikir. Maka jangan sekali-kali mempertontonkan hal itu di depan umum! Me...