Selasa, 07 Maret 2017

ALY D. MUSYRIFA



Selasa 7 March 2017
ALY D. MUSYRIFA
Launching buku puisi karya Penyair Aly D Musyrifa di gedung Teatrikal perpustakaan UIN Sunan Kalijaga telah saya ikuti hingga rampung. Harap Anda tahu, acara ini berbeda dari yang lain: pembacaan puisi-puisi oleh para tokoh, tribut Penyair. Tidak ada diskusi, debat atau perang argument seperti di acara launcing buku sastra pada umumnya. Dan, memang nampak sekali niatnya, acara diselenggarakan untuk menaikdaunkan sang penyair. Hemat saya, sesungguhnya ini harus terjadi dan spesial untuk mengharumkan nama penyair. Kenapa penyair? Karena penyair itulah yang melahirkan puisi-puisi. Lebih dari itu, eksisnya penyair itu menandai bahwa zaman kepenyairan masih belum sirna dari bumi Indonesia.
Saya tentu bukan hadirin penting di acara itu. Namun setidaknya penting bagi saya perlu tahu kalau “O… ini to Penyair, atau penyair itu harus dipublikasi supaya blablabla.” Dari acara ini, saya dan anak-anak generasi muda minimal jadi tahu wajah penyair Aly D Musyrifa. Kita menjadi saksi atas penyair yang bergaya menenteng puisi di kertas, membacanya sambil menata suaranya agar terdengar mantap dan berwibawa di depan mata semua orang, sesekali ia berteriak nada tinggi. Memukau setiap orang dengan lirik dan nada ritmis kata-katanya sendiri. Sedalam kesadaran seorang penyair, tentu saja ia menguasai pengetahuan instrumen show dan insting vokal dalam mendemonstrasikan puisi-puisinya, lebih-lebih untuk tersampaikannya makna pesan supaya audiens terpengaruh dengan pikiran-pikiran yang dikandung puisi-puisi itu.
Apa ada penyair yang tidak bisa membaca puisi? Kalau yang Anda maksudkan membaca puisi dengan demonstrasi atau deklamasi, tidak semua penyair bisa melakukan itu. Tetapi, sederhana saja, bukankah menulis itu adalah buah dari membaca? Jadi proses menulis puisi itu, selain membaca puisi yang sudah tertulis juga membaca ruh puisi yang bergerak di alam realitas, ruh puisi yang cair di arus kehidupan dan belum terkristalisasi oleh kata. Maksud saya, umpamakan wujud kata puisi itu adalah jabang bayi. Anda lihat bayi imut itu adalah wujud pembekuan dari percintaan, nikmat, mangkel, marah, dan macam-macam yang ahirnya dengan kesabaran dan harapan maka jadilah itu si bayi. Begitulah kata-kata lahir. 
Penyair Aly D. Musyrifa yang telah melahirkan banyak puisi, dapatlah Anda menilai bahwa ia seorang manusia yang menemukan dan menjadi dirinya sendiri. Dia jika sedang serius mengungkap makna, bergulat batinnya dengan fenomena dan ekspektasi, memilah-milah dan merangkai kata, serasa dunia ini berhenti berputar. Bintang-bintang bulan dan matahari hanya emblem artistika yang menyertai khusu keasyikan menuju terciptanya karya yang indah. Saya rasa, Ia berhasil menyusun ketenangan, yang mungkin oleh penyair lain ketenangan itu masih menjadi sebuah pencarian besar.
Aly D. Musyrifa itu hanya satu. Sebagai penyair, ia bukan lain adalah seorang yang bisa masuk dalam sirkulasi kehidupannya sendiri. Realitas dirinya melahirkan puisi, di waktu yang bersamaan pula puisi telah mengukuhkan dirinya sebagai manusia. Untuk ini, saya nyalikan diri menguntai selarik ungkapan sang penyair itu.
“Sekali waktu, saya melihat seorang yang ternyata ia berjalan sendirian begitu sangat keren. Semampai dan flamboyan. Sebelumnya, aku kira dia sedang menari, melambaikan isyarat tangan yang perasannya sedang penuh dinamis, antara bahagia atau sedih. Ia terus bergerak bahkanpun angin tidak berhembus. Ia menapakkan kaki seolah tanah lah yang berkehendak mencium telapak kakinya. Ia menundukkan kepala dan rambutnya yang panjang terurai itu seakan-akan menutupi wajah matahari. Ia yang memperhatikan setiap langkah dengan teliti dan ketekunan seperti rajawali. Ia yang menjinakkan degub badai dalam relung jantung dan merubahnya menjadi angin sepoi. Ia yang begitu keren saat berjalan sendirian itu telah memikat apa saja dengan gayanya berjalan. Ia Aly D Musyrifa adalah pesona.”
Kalau Anda bertanya siapa saya? Saya menjawab: saat ini aku adalah kata-kata yang mempuisikan penyair. 


possted by student

Alam Pikir Orang Kita

Aktivitas paling tidak di hargai di sini, salah satunya adalah berpikir. Maka jangan sekali-kali mempertontonkan hal itu di depan umum! Me...