Kamis, 31 Maret 2016

MEMBUKA TABIR GAIB

 
oleh Alkanjawi
Hari-hari setelah kematian Perwira Naga Putih, Sanuraga kerapkali mendapati bisikan gaib yang mengganggu dirinya. Bisikan itu datang saat menjelang malam. Waktu antara surup atau maghrib itu, Sanu mencoba untuk tak melakuakan aktivitas kecuali bersama orang lain. Kekawatiran bisikan gaib yang akan datang terus mengusik ketakutannya, ia takut terjadi sesuatu di luar kendali dirinya. demi kebaikannya, lantas sanu memilih teman yang pandai dalam hal ilmu gaib. Namanya Gustiasoro, seorang dewasa dari pesantren Wunapraya di tepi pulau Mendo, ada sebuah gunung bernama Klawur dimana terdapat sebuah padepokan yang jarang diketahui orang awam. Di situlah Soro belajar menempa pengetahuan gaib dari kecil hingga sekarang turun gunung setelah memutuskan untuk menikahi gadis desa dari kampung Sanu. Hal-hal penting yang diutarakan Sanu kepada Soro berhubungan dengan keadaan ahir-ahir ini, Sanu sering mendapat gangguan gaib. Soro pun tanggap dan berusaha mencarikan solusi memecahkan kebingungan Sanu itu.
“Sanu, sejak kapan hal itu terjadi padamu?” tanya Soro.
Sanu mencoba menghilangkan rasa takut, ia menjawab “Baru sekitar 4 hari terahir, mas.”
“Aku lihat ada sesuatu yang sedang mengikutimu, seperti sebuah pedang bercahaya putih bergagang naga. Aku kurang tahu siapa yang menggerakkan sebilah pedang itu. Hawa yang kurasakan, pedang itu tidak akan menyakiti atau melukaimu. Tapi bayang-bayang penghuni dari sisi gelap pedang itulah yang sering kamu rasakan membuat kamu tidak nyaman dan merasa terganggu. Memang, seperti ada lima naga hitam kecil jelmaan dari iblis yang beringas dan kejam.”
“Terus aku harus bagaimana, mas?” tanya Sanu.
“kalau boleh saya sarankan, kamu harus melihat sendiri bagaimana bentuk wujud dari sesuatu yang mengganggumu itu, biar kamu bisa berhadapan secara langsung. Hakikatnya mereka lebih lemah, dan cenderung takut bila berhadapan secara langsung dengan manusia”
“Tapi bagaimana caranya?, apa mas bisa membantu saya untuk bisa melihat meraka?” tanya Sanu lagi.
“Aku bisa, tapi ada yang lebih berwenang untuk melakukan itu.”
“Siapa mas?”
“ibumu sendiri”
Sanu mendadak heran. Apa benar ibu Dewitasari paham tentang kejadian ini. Sanu memang merahasiakan kegusarannya ahir-ahir ini kepada ibu atau ayahnya. Ia kawatir bilasaja ibu Dewitasri tahu, hal itu akan membuatnya bersedih akan keadaan anaknya. Karenanya, diam-diam Sanu tidak memberitahukan ganggauan ini kepada keluarga. Sanu malah tercengang ketika mendapat saran dari mas Soro.
“Mengapa harus ibu sendiri yang bisa membantuku? Ibu sebagai orang biasa tidak mungkin bisa melakukan itu. Tapi bagaimanapun, aku harus mencoba memberi tahu kepada ibuku tentang kejadian ini seperti apa yang mas Soro sarankan.” Ujar Sanu.
***
“Ibu ada sesuatu yang hendak aku bicarakan.”
“Ada apa, nak. Katakan saja pada ibu?”
Sanu bercerita tentang pengalaman selama ia kerap merasa diganggu oleh bisikan gaib itu. Ia juga bercerita tentang pengalaman ini sudah ia bicarakan dengan mas Soro.
“Apa yang ibu rahasiakan nampaknya akan segera terungkap. Ibu tidak bisa melakukan hal itu tanpa persetujuan dari ayahmu, nak.”
“Ibu, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Sanu penasaran.
“Beberapa hari yang lalu, ibu dengar kabar Naga Perwira Putih di padepokan Bender telah mati. Dia adalah guru kebatinan yang sakti tapi licik. Piawai dalam ilmu tenaga dalam, bahkan selama ini belum ada yang sanggup menandingi kesaktian tenaga dalamnya. Ibu dan ayahmu waktu muda dulu pernah menjadi muridnya. Perwira Naga Putih berkata jika ia akan mati, ia akan mewariskan ilmu Naga Putih kepada anak pertama dari murid pertamanya, yaitu ayahmu. Kamulah orang yang akan mewarisi ilmu dari bekas guru kami itu. Aku tidak bisa menolak, sebab guru Naga Putih telah bersumpah jika kami menolak hal itu, maka kutukan akan mengenai keluarga kami selama tujuh turunan. Keluarga kami akan lumpuh dan kehilangan segalanya setelah malam pertama pernikahan. Satu-satunya cara terhindar dari kutukan itu adalah dengan merelakan ilmu yang dimiliki oleh Naga Perwira untuk diwariskan kepadamu. Rupanya sudah saatnya ibu dan ayahmu membuka tirai gaib di mata batinmu.”
“Dewita…” suara Bratatanunjaya mendahului derap langkah sendiri setelah ia membuka pintu dan memasuki ruang tamu.
“Kang Mas”. jawab Dewita.
“Aku sudah mendengar percakapan kalian, aku segera mungkin undur dari sawah untuk menemui kalian. Hmm, nampaknya peristiwa besar akan segera terjadi di kampung Pasulawang ini” kata Brata sambil menghela nafas.
“Sanu, anakku. Membuka mata batin bukan hal mudah. Ada pertaruhan yang bila kau gagal, maka tirai gaib itu akan sobek dan tidak akan pernah bisa tertutup kembali. Membuka tirai gaib di mata batinmu tidak bisa dilakukan sendirian tanpa adikmu, Kartika. Kartika yang memegang kunci tirai gaibmu, sedangkan hanya ibumu yang bisa membuka dengan kunci itu. Aku hanya akan menyalurkan tenaga dalam dan melindungi kalian dari kekuatan jahat yang bisa saja muncul dari luar saat proses membuka tirai mata batinmu.”
“Baiklah ayah. Di usia 20 tahun ini, mungkin inilah yang akan menjadi pertaruhan terbesar yang pernah kualami. Aku tidak takut untuk melihat segalanya, tidak takut menghadapi kegelapan dalam diriku sendiri.”

BERSAMBUNG …




Alam Pikir Orang Kita

Aktivitas paling tidak di hargai di sini, salah satunya adalah berpikir. Maka jangan sekali-kali mempertontonkan hal itu di depan umum! Me...