Rabu, 13 Januari 2016

PUISI; RUMAH TIMUR

RUMAH MENGHADAP KE TIMUR
By alkanjawi

Ketika penyair saut situmorang membaca puisi di malam itu, panggung demokrasi kampus timur sedikit hidup dimeriahkan tawa dan tepukan tangan. Anak-anak muda berkumpul di remang-remang. Di tempat itu, laki perempuan mana bisa aku bedakan. Aku tak betah duduk berlama-lama, dan… Aku pergi berjalan dari depan panggung ke arah buritan. Lalu duduk bersender aku di pagar besi, lama kelamaan tubuhku melurut dari sanderan dan terlentang di atas lempengan batu di bawahku.

Wajahku menghadap langit, mataku berbicara pada awan yang bermendungkan gelisah. Setetes air jatuh diterpa angin mengenai kaki telanjangku. Aku mulai menyadari, ada ribuan bahkan miliaran titik air mengikutinya di atas sana. Titik-titik air sudah melesat jatuh. Lantas saja aku berlari kecil untuk menyelamatkan diri. Biasanya, air pertamakali hujan dapat membuat kulit menjadi gatal. Itu betul.

Berlarian pula di belakangku orang-orang penonton acara, anak-anak muda yang katanya pembela sastra, atau maksudnya, pembela sastrawan penyair, Saut situmorang, yang sedang menjadi tersangka kasus pelecahan. Anak-anak pegiat sastra lintas kampus berkumpul malam itu, astaga..., aku saksikan mereka betapa pandai nian memaki, mengumpat dan menghujat pengkasus saut.

Juga, masih kedengaran dari balik panggung, mereka mengolok-olok secara nyata dan juga dramatik orang yang bernama denny JA. Miris mendengar orasi dan kata-kata yang muncrat dari mulut anak-anak yang katanya pecinta sastra. Ah! Panggung demokrasi kampus kita memang remang-remang betul.

Tak lama di tengah aku sedang berlarian, hujan timpah begitu derasnya. Berpaling aku dari jalan dan beralih menginap ke tempat berlindung. Aku tak sanggup bila hujan menghajarku hingga basah kuyup. Sebuah tampat lapang, itu bernama gelanggang, aku mengiup, menanti bahana hujan meredup. Di situ aku menyaksikan sesuatu yang menjadi puisi ini:






RUMAHKU MENGHADAP KE ARAH TIMUR

Malam di derap hujan aku kedinginan
Di bawah terpal besi di tepi halaman gedung gelanggang
merunduk disekap angin dan percikan air
merinding digrebek kilatan petir yang menyambar

malam ini siapa yang membelaku
dari dingin dan sepi yang menderu
dimana selimut keberanian
dimana angan untuk menerjang

di seberang jalan aku mendekap lutut
suar lampu jalan menyala teramat terang
seolah aku bisa menghitung titik-titik hujan
saat dedaun tertangkap oleh terangnya cahaya

sebatang pohon berdiri menghalang
cahaya tembus menggenang di antara
bayangan dan asap
aku melihat sebuah perhitungan

di antara angin dan hujan bergemuruh petir
seekor kupu-kupu putih memekarkan sayap
terbang terhuyung melawan derai air
ia berputar-putar mencari tempat hinggap

bukan tak mungkin ia tersambar petir
bukan tak mungkin ia lelah dan tergerus musibah
tapi kupu-kupu itu tetap memekarkan sayap
terbang berputar mencari tempat hinggap

kupu-kupu di antara cahaya terang
malam menyaksikan hujan yang kejam
bagi sebagian orang
yang takut menghadapi kenyataan

kupu-kupu itu entah dari mana ia datang
bukankah ini sudah larut malam
kupu-kupu kenapa masih berterbangan
bukankah ini sedang berlangsung hujan

kupu-kupu melintas di pikiranku yang basah
melempem setelah hujan kritik dan angin cemooh
kupu-kupu mencari tempat hinggap
di sebatang pohon kecil yang tumbuh di kepalaku

ia menyelinap di balik daun-daun
aku menghela napas panjang
bersukur atas hilangnya kesakitan
kupu-kupu yang tadi terbang di antara ke dua mataku

seorang lelaki yang memeluk lututnya
sendiri remuk dihantam sepi
meringkuk disergap angin kecewa
tertunduk dibekuk rasa tak berdaya

aku melihat di arah mana kupu-kupu
rumah gelanggang menghadap
ke arah timur jauh terbentang
hujan dan petir bersahutan

rumahku menghadap ke arah timur
aku dan malam panjang menebar impian
di antara hujan yang disinari lampu jalanan
aku mengiupkan diri di bawah terpal besi.


Yk, 13 January 2016.



#studen

Alam Pikir Orang Kita

Aktivitas paling tidak di hargai di sini, salah satunya adalah berpikir. Maka jangan sekali-kali mempertontonkan hal itu di depan umum! Me...