Sabtu, 20 Februari 2016

Dialog Kontemporer “Soal-soalan” Kedutan

Dialog Kontemporer “Soal-soalan” Kedutan


kita ingin sampaikan sesuatu di sini mengenai sifat dasar manusia yang khas, tentang: sifat manusia yang mampu merasakan sebuah getaran yang terhubung ke dalam jiwanya, bukan hanya getaran yang berasal dari dekat melainkan setiap getaran apapun walaupun jauh asalnya.

Jadi getaran itu katakanlah suatu macam yang dapat kita ketahui melalui kedutan yang sering kali terjadi di wajah kita, terutama di bagian sekitar mata. Primbon Jawa bilang kalau kita kedutan di bibir itu petanda kita akan segera menyantap makanan lezat, bila kedut itu di hidung itu artinya kita akan mencium aroma yang wangi segar, dus kedutan itu terjadi di mata itu pertanda bahwa kita sedang dibicarakan oleh orang lain. Dalam bahasa lain, ada orang lain yang sedang memikirkan dan membicarakan kita. Maksud bicara dalam arti luas yaitu batin dan pikiran orang lain itu sedang ada kita di dalamnya.  

Nah, ini sebuah perumpamaan dari orang yang telah mengalami masa “fokus menganggur.” Dia tidak sedang ingin bekerja untuk orang lain, namun ia tengah sebebas-bebasnya mengeksplor kemampuan diri yang dirasanya hal itu dapat berguna bagi pembentukan karakter unik dirinya. Hasil eksplor ini tidak sepenuhnya terjadi (atau diadaptasi) dari alam nyata, komunikasi yang diciptakan secara semidramatik ini adalah kelanjutan/ perluasan dari kehidupan yang terbatas di alam dunia. Sambil begadang pastilah dapat kita ambil manfaat atas “kerja” seorang yang sedang menjalani fokus ngangggur ini.

Hasil kreativitas kerja pengangguran ini dibentuk dalam format dialog intim yang berjalan searah. Dua objek berbeda satu adalah representasi dari seorang yang sedang fokus menganggur itu, dan lawan dialognya adalah bayangannya sendiri, yakni sebuah bayangan yang diimanensi dari kedut matannya sendiri. Objek bayangan itu di sini kita gambarkan dengan dimensi “o”, dan “me” sebagai dimensi yang satunya. Simak dialognya:

***

me         : apa yang sedang kamu pikirkan? Maksudnya, apa kamu sedang memikirkan aku?


O             : apa pertanyaan itu penting?

me         : eem, nggak sih… tapi sekedar ingin tahu saja, sebab mripat-ku ini sering kali kedutan. Ku kira kamu sedang membatin dan memikirkan aku gitu.

O             : oh, ketahuan ya…

me         : ketauan apanya?

O             : itu tuh, sebenarnya bukan aku yang mikirkan kamu. Tapi justru kamu sendiri malah yang kepikiran terus sama aku? Iya kan… ah, sudahlah jangan boong kalau kamu memang sering memikirkanku.

me         : oohh gitu ya.. iya iya… aku sedang kepikiran sama kamu terus!

O             : terus?

me         : ya gak apa-apa sih,, aku sebenarnya pengen kamu tahu kalau aku ahir-ahir ini sering terbayang-bayang sama kamu.

O             : itu mah urusanmu!

me         : apa benar kamu tak memikirkan aku? Tapi kenapa entah, aku ingin melihat kejujuran menghiasi wajahmu yang kupandang itu.

O             : hmm,

me         : apa?

O             : kalau memang aku memikirkanmu, kamu mau apa?

me         : aku pengin tahu aja, berarti benar kedutan itu menandakan aku sedang dikangenin sama seorang, dan ternyata orang yang kangen sama aku itu kamu toh.

O             : gitu aja?

me         : hmm, kamu suka sama aku?

O             : kalau emang suka, perempuan harus pandai merahasiakan itu kepada orang yang dia sukai. Itu karena sifat malu yang harus terjaga. Bukan malu pada seorang yang disukainya, tapi malu pada keadaan dimana bila itu diucapkan oleh seorang perempuan, maka tentu akan ada yang banyak berubah dari kebudayaan kita. Kuharap kamu mengerti maksudku.

me         : aku… aku suka sama kamu!

O             : aku tahu.


#Inaf, cukup!

Dinding tak lagi kosong kan. Nah, itu sederhana gambaran yang amat tak berguna sekali bukan. Kita sebenarnya punya problem budaya yang kurang terbuka. Tapi jangan lantas dianggap negatif. Cara  mengungkapkan dengan cara yang lembut dan diam-diam itu justru bagian dari kebudayaan cinta yang eksotis. Akan terasa beda kalau cinta diungkapkan dengan gamblang oleh muda-mudi yang masih belum cukup matang dengan cara koar-koar dan latah. Akibatnya akan kurang baik bagi kesehatan kita sebagai masyarakat yang terdidik.

Tak ada sulitnya berkata untuk mengungkapkan cinta bagi kita, apalagi kita yang terbiasa cangkeman dan banyak mulut. Namun bukankah selalu ada sesuatu yang lebih terhormat dan bisa kita pakai sebagai penjaga kehormatan kita dalam proses menemukan kebenaran yang lebih indah diperjuangkan. Memang harus begitu. Setidaknya menemukan hal terlebih dahulu untuk mengurangi awetnya sakit hati dan benci karena tersakiti, di kemudian hari.


Yk, 21 February 2016.
Sumber gambar disini

#stueden

Alam Pikir Orang Kita

Aktivitas paling tidak di hargai di sini, salah satunya adalah berpikir. Maka jangan sekali-kali mempertontonkan hal itu di depan umum! Me...