Tampilkan postingan dengan label kerja kreatif. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kerja kreatif. Tampilkan semua postingan

Kamis, 02 Juni 2016

Jangan Senang Ditolong!

Jangan Senang Ditolong!

Hendaknya saat meminta pertolongan, perhatikanlah sebelumnya tentang seberapa kadar kelemahan diri kita untuk menerima ukuran pertolongan.

Sebenarnya maksud saya mengenai ukuran itu, ada hubungannya dengan sifat kata kerja “tolong” yang berlaku tanpa batas. Bila pada hari ini Anda ditolong oleh seseorang (yang entah kenal atau asing), bisa jadi pertolongan itu akan terulang kembali karena Anda terulang pada poisi butuh pertolongan. Begitu juga dalam hubungan Anda sebagai pemberi pertolongan. Pada masa depan yang lain, Anda akan mempoisikan tangan diatas sebagai penyelamat tangan-tangan lemah yang sedang berada di bawah. Perlu diingat, prinsip dalam ukuran tolong menolong adalah kesesuaian atau kesepadanan. Kelebihan walau hanya sedikit akan ada perhitungannya sendiri.

Kenapa harus tepat? Sebenarnya orang butuh ditolong karena terkait kadar waktu atau kekurangan yang ia sedang dialami. Begitu pula sebaliknya bagi penolong. Pagi-pagi, seorang tukang ojek di desa pinggiran berangkat ke pasar untuk narik pelanggan. Sebelum sampai di lokasi pelanggan pertamanya, tiba-tiba di tengah perjalanan ban motornya bocor. Dengan terpaksa ia harus turun dan menemukan tukang tambal ban. Ia gelisah sebab tidak membawa bekal uang yang cukup untuk keperluan memperbaiki motor. Tukang ojek tidak mau merepotkan orang lain. Setelah berjalan dan ahitnya ketemu dengan tukang tambal, ia hanya mampu membayar dengan jumlah uang separuh dari tagihan. Ia meminta tolong supaya kekurangan tagihan itu bisa dibayarkan nanti kalau sudah dapat rejeki. Sang tukang tambal rupanya baik hati dengan berkata: Ambil dulu uang itu, bayarlah nanti setelah kamu ada uang.

Begitu gembira hati tukang ojek. Sedangkan tukang tambal ban memang suka menolong dan terbiasa ikhlas.

Ada sebuah kelegaan hati yang kemudian mengakibatkan sepanjang hari tukang ojek bisa bersyukur, padahal di awal pagi sudah diuji dengan musibah ban motonya bocor. Kebaikan yang ditunjukkan tukang tambal membuat tukang ojek menjadi berbaik prasangka, begitu juga perasaan dan sikapnya terhadap semua orang hari itu. Tukang ojek sadar akan kewajibannya untuk membayar bilamana ia sudah mendapatkan cukup uang dari hasil kerjanya hari ini. Selain mengucapkan terimakasih kepada tukang tambal ban, ia juga mengucapkan terimakasih pada setiap pelanggan. Lebih dari itu, ia bisa mensyukuri dirinya secara lebih dalam; bersyukur musibah hanya berupa ban bocor, bukan putus rem atau ditabrak kendaraan lain.

Memang wajar bila orang merasa senang kalau menerima pertolongan. Tidak wajarnya apabila terkena musibah dan sangat butuh pertolongan, tetapi ketika ada yang mengulurkan tangan, ia menolak untuk menerima pertolongan itu. Ini mungkin berkaitan dengan prinsip. Tapi, nalar sehat kita semua tentu paham kalau prinsip semacam itu sulit untuk diterima logika umum. Saya sendiri, sungguh belum mampu untuk menolak pertolongan siapa saja di saat sedang butuh.

Timbangan
Kehidupan kita sekarang sedang menjumpai iklim yang bawaannya orang lebih mudah untuk meminta daripada memberi. Orang lebih gampang minta tolong, mengandalkan orang lain daripada memilih menyelesaikan permasalahhan (tanggung jawab) dengan bersikap tangguh dan sportif. Mudahnya memperoleh segala macam kebutuhan dan jalan yang semakin terbuka menjadikan mental kita lembek, manja dan ingin dituruti semua kemauan yang kita miliki. Dengan sikap yang demikian itu, perkembangan jiwa dan kekuatan raga akan menurun. Terlebih ketajaman kognitif dan sensitivitas emosional sudah barang tentu menyusut secara drastis.

Ketergantungan dan terus menerus mengandalkan orang lain secara mental ini membahayakan diri. Harap anda tahu, bahwa potensi setiap manusia untuk berani dan menjadi problem solver adalah bagian kekayaan pikiran yang tak terhingga nilainya. Apabila Anda tidak juga segera mengenali potensi itu, dan berlagak bodoh untuk bersedia mengoptimalkannya, maka di lain sisi Anda otomatis telah menelantarkan dan mengarahkan mental ke poisi lumpuh. Dalam kelumpuhan, mental Anda bukan lagi “kritis”, tetapi sudah sampai pada lapis “pematian” atas potensi kemanusiaan. Anda tidak akan bisa melakukan atau menghadapi sesuatu secara merdeka. Saya kira, tiada yang lebih membosankan menghadapi hidup (sekarang atau hari esok) ketika banyak jerat yang melilit dada dan hak atas nafas kebebasan kita.

Seandainya, dalam kaitannya sistem mobilisasi yang kita lakukan untuk membangun bangsa seperti sikap tukang ojek di atas, kemungkinan besar macam-macam keruwetan akibat tradisi manja pemerintah dan sikap miskin kongklomerasi akan bisa kita atasi. Pemerintah kita yang terjebak halusinasi dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar merasa nyaman dengan mental “kere”, hingga berakibat pada sikap selalu butuh pertolongan dan senang menerima “bantuan” dari negara lain, akan bisa kita dihindarkan. Elit politik kita terlalu dekat pada kekuasaan sehingga ingin mengeruk sebanyak-banyaknya keuntungan, akan bisa kita netralkan untuk kepentingan nasional kita.

Atau, jangan-jangan semakin tinggi kedudukan struktural seseorang, ia akan semakin senang untuk ditolong?

Alkanjawi, juni 03, 2016.





post by studen

Rabu, 01 Juni 2016

Siapa Nama Anak Kandung (Intelektualitas) Kita?

Siapa Nama Anak Kandung (Intelektualitas) Kita?

“Ia yang memikul dirinya”, ialah seorang lelaki gagah jiwanya. Ia menempuh laku berjalan jauh untuk memanjakan kekuatan kaki. Sesampai di tengah hutan belantara, tiba-tiba ketemulah ia dengan kerumunan orang-orang ramai sedang berdagang (seperti pasar). Ia dilempar pertanyaan “kisanak siapa, dari mana mau kemana?” ia sejenak diam. Kerumunan orang-orang itu bertambah banyak. Nampaknya bukan hanya manusia. Bayangan-bayangan lain ikut menelusup dalam pertanyaan keras itu. Ia menjawab “Aku Among Raga. Aku dari Aku hendak menemui Aku.”

Among Raga merupa menjadi pudarnya tali atas ikatan pertanyaan hakikat “siapa”. Belantara hutan dan riuh suara-suara itu rupanya ada di dalam dirinya sendiri. Among Raga berjalan jauh ke dalam diri. Among Raga adalah kiasan nama bagi setiap jiwa dan hidup menggerakkan raga, ia bisa nama saya, bisa nama anda, bisa nama siapa saja.

Kisah fiktif di atas bukan dari masa silam. Kisah tersebut saya bikin untuk kita pelajari tentang eksistensialisme dan keberlangsungan diri yang ada kaitannya dengan komunitas kita “komunitas tanpa nama”. Betapa nama itu bagi saya adalah seperti pertanyaan keras yang mengganjal dalam diri (dan seharunya kesadaran kolektif kita juga senada). Gara-gara tak kunjung dirubah nama itu, dada saya dipenuhi was-was tak terkendali,  pikiran negatif seperti mengintai untuk siap mempengaruhi semua sikap menjadi buruk.

Berikut ini salah satu alasan, kenapa batin saya selalu gusar karena sebuah nama.

Adalah tatkala zaman ketiga, segala macam apa saja cepat sekali berlajunya, teknologi, komunikasi, jaringan dari yang terang sampai yang gelap tumbuh dengan prosentase begitu pesat, padahal kita sangat sadar sedang menikmati produk instan dari itu semua. Kita menjadi telah mengemuka menjadi post agraris, post tradisionalis, atau post-post lain yang pada intinya kita sedang disugui modernitas yang masih menawan dan luar biasa. Akses kemudahan ini saya rasakan semakin mengikis dan sedikit menenggelamkan pondasi eksistensialitas manusia sebagai individu yang “person”. Lihatlah teknologi sosial media, berapa miliar akun yang bukan murni asli. Pengelola akun menyembunyikan identitas asli, mereka mengganti sebagian atau keseluruhan menjadi samaran semua.

Apa tuntutan dari kemudahan? Harapannya manusia semakin jujur dan menyatakan diri sebenar-benarnya. Tapi sungguh itu menjadi begitu sulit untuk dilakukan. Adanya kemudahan, justru kita berlomba-lomba membuat kemungkinan-kemungkinan baru yang jauh melepaskan diri dari realitas keaslian kita sendiri. Dan, yang terjadi berikutnya adalah pertanyaan yang hilang “siapakah aku?”

Seorang kawan saya, sebutlah namanya Dulkardeng, sejak lima tahun lalu menjadi pengguna banyak jejaring komunikasi pada sosial media. Saya amat yakin kalau anda mencari informasi tentang nama itu di internet dengan mengetik di secarh engine “Dulkardeng”, tidak ada satu kata pun yang merujuk ke dia. Dulkardeng menggunakan nama lain, nama alias, atau nama samaran untuk menutupi identitias aslinya sehingga ia menemukan keleluasaan untuk melakukan apa saja tanpa merasa kawatir akan ketahuan. Misalnya menggoda akun cewek atau memaki suatu kelompok yang tidak disukainya.

Banyak kemungkinan lain di luar pengetahuan Dulkardeng terkait privasi atau kemanan menggunakan media. Tetapi, justru karena ketidaktahuan itu, ia menjadi besar keberanian dan tajam taring untuk menjadi pemangsa bagi yang lainnya di kandang sosial media. Tentu saja ketika orientasi penggunaan nama itu tidak sesuai, ia akan kehilangan kesempatan menjadi positif di mata kebenaran.

Dulkardeng adalah analogi kecil. Di dunia ini, banyak kelompok lain yang ekslusif dan secara terang-terangan memberi pengumuman dari akun “anonimous” seperti sering dilakukan para hacker. Manusia bertopeng yang juga menyembuyikan identitas individu saat melakukan propaganda atau menyebar ancaman untuk kepentingan tertentu.

Jadi, pendapat sementara saya, di zaman modern ini justru kemanusiaan kita menjadi jauh lebih pengecut dari pada zaman sebelumnya. Kita menampakkan diri dengan wujud yang lain, sedangkan untuk berhadapan langsung face to face secara real tidak pernah berani. Kita tanpa nama menjadi berbahaya dan berpotensi membahayakan bagi yang lain. Tanpa identitas nyata, kita mudah dikuasai arwah pemangsa untuk ‘membunuh” orang lain. Kita tanpa hakikat tanda pengenal seperti pejalan yang menuju ketersesatan tanpa arah tujuan yang bermakna.

Harapan
“Komunitas tanpa nama “ adalah sebuah perkumpulan civitas anak-anak muda akademis Yogyakarta. Mereka sedang belajar menggali kemampuan kreativitas dan menuangkan gagasan atau pikiran mereka melalui karya tulis. Beberapa bulan telah berlaku, setiap seminggu sekali mereka bertemu untuk mengkaji, mengkritisi, merekonstruksi bahkan kadang dekonstruksi terhadap karya tulis yang mereka buat sendiri. Komunitas kecil nomaden ini menyimpan api kecil yang positif untuk menerangi (minimal) kegelapan di ruang kreativitas mereka sendiri.

Orientasi terciptanya sebuah nama kelompok ini maksud saya untuk mengisi “kekosongan” identitas sosial atau yang lainnya. “Komunitas tanpa nama”  hendaknya menjadi sifat temporer dan akan segera tergantikan dengan nama yang baik dan mampu mencerminkan filosifi kemanfaatan. Namun, sampai dua semester lewat, belum kunjung jua kita memperolah nama. Apakah sesulit itu untuk menentukan sebuah nama bagi komunitas? Dalam konteks ini, sungguh menemukan sebuah nama adalah kesulitaan yang maha benar.

Saya personlijk, tidak ingin membawa komunitas ini atau menjadi sebab bagi komunitas ini menuju ke belantara dunia underground. Tidak pula ingin stempel silang merah kultural mendarat di jantung atau seluruh kulit batang tubuh kita.

Sebagai bagian dari komunitas kecil ini, saya dan kita terjebak pada tarik ulur wacana perubahan nama. Saya lebih khawatir jika komunitas yang bersama-sama kita lahirkan ini tidak punya nama baik, sehingga pada saat jibril memberi ilham pengetahuan langit bagi setiap nama, kita terlewatkan. Saya takut, ketika masa pertanggung-jawaban tiba, nama kita disebut di depan gerbang ruang timbangan, kita tidak memberikan muatan kebaikan sama sekali. Saya ngeri, tanpa nama kita menjadi ancaman bagi ketenteraman dan keselamatan manusia.

Sekelumit menukil dari tradisi pemimpin para nabi, sesuatu kebaikan yang lahir mestinya kita sambut dengan gembira. Kemudian pasca kelahiran itu kita beri nama dengan nama-nama yang baik. Kreteria minimal baik itu adalah apabila orang mendengar nama itu disebut, ia akan merasa aman, nyaman dan bergairah untuk melakukan kebaikan. 

Pemberian nama pada komunitas kita ini saya kira tidak perlu lagi diulur-ulur.  Komunitas ini adalah anak intelektualitas kita, anak ideologis kita yang akan segera tumbuh dan membuahkan kreativitas untuk kemajuan bangsa. Setelah terpilihkan nama, kita akan bancaki, kita akan syukuri dengan memintakannya kepada Tuhan agar menjadi komunitas yang berkah dan bermanfaat dunia ahirat.

Dan, bila tetap bernama “komunitas tanpa nama” malah justru laiknya “pahlawan bertopeng” yang selalu menyembunyikan identitas dan kerja demi keselamatan khalayak banyak, secara apapun untuk zaman kekininan ini, saya tak berani memberi garansi.


Alkanjawi, 02 juni 2016.




post by Studen

Kamis, 12 Mei 2016

Kadang Suka Kadang Biasa



puisi-puisi fuad hasan succen


Kadang Suka Kadang Biasa

Kadang-kadang
Dalam renungan apa saja terlihat tak jelas
Ingin ini ingin itu
Keinginan sulit untuk dibatasi

Apa yang membuat suka
Aku mencari keyamanan yang ternyaman
Detik
Setelah bergeser nyaman pergi tiada lagi

Bila sedang tidak peduli akan kadang
Lalu mulai mencoba sebuah kepastian
Kadang datang mengolok-olok dan caci
Kenapa suka, lihatlah betapa ia jelek sekali

Aku runtuh
Kepercayaan menjadi puing-puing
Tak mungkin menyusunnya kembali
Sebab hati juga retak sana sini

Lalu apalah daya
Bila memang kadang-kadang adalah niscaya
Biar cermin renungan ini kuhancurkan saja
Lalu buta segala rencana

Tanpa bayang keinginan
Ini itu adalah aku
Yang tanpa mata
Meluncur ke jurang hampa

---***---

Katakan Cinta

Apa ada cinta?
Ada!
Sudah disampikan dengan kata?
Kau bilang kau ini pemberani

Lihat di luar hujan masih deras
Orang-orang berpuisi tentang langit dan hujan
Kau tahukah dimana petir?
Ia tak pernah ada
Kalau tak mengagetkan
Atau menakutkan!

Apa kau ini masih pemberani?
Jika itu tidak benar lagi
Kau tak perlu jadi seperti petir
Jadilah saja seperti hujan
Setelah jatuhnya hanya sebuah kesepian
Kemana lagi selain menghampiri comberan

Bila ada cinta
Sampaikanlah rasa dengan kata
Sambarkan gelegar suara
Biar ia yang mendobrak gerbang telinga
Biar getar hati dalam istana
Kepada …
Yang membuatmu terpesona

---***---

Kupu-Kupu Merindu

Danau dan gunung dihiasi candi
Danau tempat mandi para bidadari
Dari gunung garuda mengintai sendiri
Saat melihat kain kampuh digelar jadi tirai

Seekor kupu-kupu di kembang membatu
Diam saja melihat air bergelombang membiru
Sedang gadis-gadis dari langit tinggal satu
Tak jadi mandi sebab lupa membawa air susu

Kepada awan si gadis menyeru
Wahai hujan turunlah disisiku
Balutkan air segar dari payudara sucimu
Agar wajah yang bingung menjadi lugu

Bila sudah cantik kuingin menemui manusia
Aku mau bertanya kepadanya tentang cinta
Aku ingin tahu rasanya jatuh cinta
Wahai manusia berilah aku asmara

Kupu-kupu yang diam lalu tergerak diri
Setelah dewi bidadari merindu belai
Kepak sayap lembut memantulkan derai
Di puncak gunung garuda merasa hati

Garuda perkasa menjelma seorang pria
Tampan paras dan senyum memesona
Dewi jelita terpukau memandangnya
Pria gagah menaruh cinta di dadanya

Bahagia berdua mereka di dunia
Membangun candi antara gunung dan telaga
Kupu-kupu masih tetap sebatang kara
Merindu pada khayalan yang tak pernah nyata


---***---

Langkah Pertama

Dari rasa terdalam di hati
Aku mendengar panggilan kecil
Hatiku melangkah senyap mengendap
Belati di tangan menikam jantung sendiri

Engkau gadis jelita yang baru melihat dunia
Merah biru cerita teramat tipis di mata
Jumpa singkat terbalut putih makna
Terpaut senyum termimpi pesona

Engkau yang riang hidup dalam mimpi
Malas dan fantasi teman sepanjang hari
Sedetik waktu berlalu senyum menyemangati
Cinta memang pada anak muda abadi

Katamu rindu mantra suci
Jauh sejengkal tak kuasa ingin selalu bersama
Katamu kangen kehendak setia
Betapa pandai bayang wajah mengelabuhi mata

Rasa mulai tumbuh semai cinta
Gusar dan riskan hampir sama
Bila tenggelam dalam kefanaan
Waspada selamanya tidaklah apa-apa

Anak muda yang mulai ditawan cinta
Bila segalanya telah serasa milik berdua
Ambillah belati dari jantung kefanaan
Biar dengan tangan kita tikam keabadian

Yogyakarta 2015


Jumat, 15 April 2016

Imam dan posisinya




Setelah berpikir dan merenung tentang jalan sebuah keputusan yang akan diambilnya dalam urusan cinta, namun tak jua mendapati solusi yg srek, Alkan tidur lebih awal dari pada malam biasanya. Ia berdoa penuh hadap agar dapat gambaran ilham jawaban dari Tuhan melalui mimpi. Inilah narasi mimpi itu:
***
Di sebuah suaru yang berada di pinggir sungai tepian desa, waktu senja telah tiba dan azhan maghrib berkumandang. Alkan sangat kenal dengan surau itu, tak lain adalah tempat dimana waktu kecil dia belajar mengaji ilmu agama. Di dalam surau, suasana masih sepi, kelihatannya hampir tidak ada orang selain dirinya. Bahkan kiai pun tidak ada di dalam surau, padahal sholat jamaah sudah tepat waktunya.
Merasa ada orang yang baru datang di dalam surau, maka Alkan langsung berdiri untuk shalat mengajak jamaah orang tersebut. Alkan ingin sekali menjadi imam, dan jadilah meraka sholat berjamaah. Di kala niat takbiratul ikram, alkan melafalkan kalimat “imanan lillahi taala.”
Setelah takbir itu ia baru sadar, ternyata Alkan yang posisi berdirinya di tengah ruangan surau itu, ada beberapa orang lain yang dalam satu jamaah posisinya secara garis shaf berada di depan Alkan. Bahkan seorang yang sedang sama-sama sholat itu, posisinya hampir mendekati bilik tempat imam.
Setiap orang (sekitar 10) itu telah berdiri meghadap kiblat sebagai satu-satunya arah sholat. Alkan berdiri di dekat pintu sisi samping surau, dia berdiri paling kiri di antara orang-orang yang berdiri.
Dalam dirinya, Alkan jadi merasa ragu terhadap posisi ia berdiri. Akankah boleh, kalau dalam berjamaah imam sholat posisinya tidak di paling depan. Apakah sah atau tidak sholatnya itu. Kalau awal-awal dia yakin telah menjadi imam sholat, tapi rupanya, ternyata ada orang lain yang secara posisi berada di depannya, keyakinannya itu berubah menjadi keraguan antara sah atau tidak sah. Dia sangat bergejolak, namun tetap saja ia sekuat hati meyakinkan diri mengalahkan keraguan dan meneruskan sholatnya.
Alkan amatlah awam dalam masalah tersebut. Persoalan posisi ini adalah yang pertama kali dialaminya. Betapa dilema dia.
Namun, tiba-tiba saja di tengah orang sedang pada sholat itu, pak kiai datang dari pintu sisi. Kiai yang diikuti beberapa santrinya itu, sambil berjalan lantas saja berkata “sudah-sudah, sholat kalian tidak sah”.
Terbangunlah Alkan dari tidurnya. Sementara hari sudah berganti. 

inaf! interpretasi tobe continue...
Jumat kliwon, 8 rajab 1437 H. 15 April 2016.



posted by student

Kamis, 15 November 2012

Filsafat Kerja Seorang Mekanik

dipublikasikan Majalah Gatra Edisi 27/XVIII 16 Mei 2012 


Ketika jutaan orang terjun mencari kerja, yang terjadi adalah sebuah persaingan yang semakin ketat. Di tengah gelombang pencari kerja yang sangat besar ini, frustrasi akibat pekerjaan banyak dialami para pekerja. Kejenuhan dan kebosanan pada pekerjaan tertentu berimplikasi pada kejiwaan dan membuat stres. Tidak sedikit di antara mereka memilih menanggalkan pekerjaan yang dirasa tidak layak lagi.


Di negara maju, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman, orang yang memiliki keterampilan atau skill dapat memanfaatkannya secara bebas untuk membangun dunia kerja sendiri. Matthew sendiri awalnya hanya seorang mekanik sebuah bengkel. Ia kemudian berhasil membangun bengkel sendiri di Richmond, Virginia, berkat filosofi kerja yang dianutnya: hakikat pekerjaan adalah memberikan sesuatu untuk kebaikan orang lain.


Ia pun menyelesaikan program doktor filsafat politik dari University of Chicago. Sebagai filsuf dan pekerja keras, ia menekankan pribadinya untuk selalu memegang prinsip kesadaran dalam hidup. Hidup secara sadar diartikannya sebagai sikap sadar sepenuhnya atas setiap hal yang dipikirkan dan diperbuat sebagai situasi kemanusiaan. Hidup dengan baik berarti membuat diri kita berdamai dengan keadaan itu dan berusaha mengejawantahkan setiap kehebatan yang dapat diwujudkan dengan nyata. Kehebatan yang manusiawi adalah kehebatan di mana peluang untuk mendapatkan kepuasan itu tidak tertutup bagi banyak orang.


Buku ini memberi spirit kepada pembaca berdasarkan pengalaman pribadi. Crawford bekerja dengan keterampilan tangan yang dipadukan dengan pikiran. Baginya, proses seperti ini akan melahirkan kepuasan batin. Sebagai pekerja di bengkel motor, meski kotor dan berat secara fisik, ia menemukan pengalaman luar biasa: kekuatan kerja keras dengan gerak tubuh dan memutar pikiran.


Sebuah kisah menarik yang patut diteladani pengalaman saat Crawford bekerja sebagai mekanik di sebuah bengkel. Ia selalu berusaha memahami proses menjadi mekanik sepeda motor yang baik. Ia berinteraksi dengan mekanik-mekanik lain dan meluangkan waktu dengan para pengendara motor yang lebih berpengalaman.


Dari pengalaman itu, segala hal yang berkaitan dengan mesin terungkap nyata dalam sebuah lingkaran makna yang lebih luas. Pengalaman luar biasa ini akhirnya memberi peringatan bahwa jika kita menelusuri jejak dari tindakan kita sendiri dari sumbernya, jejak-jejak itu akan menunjukkan sebuah pengertian tentang makna proses kehidupan yang baik. Di sinilah ia menemukan bahwa kerja memiliki potensi untuk menghadirkan suatu ukuran pertalian dengan kehidupan.


Ditulis dengan gaya bercerita dan jenaka, Matthew yakin, pendidikan merupakan tempat penting untuk menciptakan manusia menjadi pekerja keras yang mandiri. Ia menilai, mental baja dan etos kerja yang baik harus diimbangi dengan pendidikan kepribadian berkarakter dan budi luhur. Tanpa dorongan karakter dan sikap luhur ini, mustahil lahir generasi berkualitas yang mampu memaknai kerja sebagai dedikasi untuk kemanusiaan.


Keberhasilan sistem pendidikan di Barat dalam menjawab tuntutan globalisasi kurang relevan diterapkan di negara-negara berkembang. Sebab di negara berkembang banyak ditemui masyarakat menengah ke bawah secara ekonomi. Realitas yang dijumpai, dunia pendidikan, kemudian mengakomodasi sistem korporasi yang hanya menghasilkan kelompok pemenang dan kelompok pecundang.


Di tengah krisis kemandirian bangsa berkembang, Matthew menulis tentang pentingnya melanjutkan gagasan pendidikan kemandirian. Dia berpikir, ketika peserta didik telah lulus dari bangku sekolah, ia akan punya bekal ajaran kemandirian yang nantinya bisa diolah dan dimatangkan dalam dunia kerja. Kemandirian adalah langkah awal untuk memunculkan keberanian mengaplikasikan keterampilan. Dilanjutkan dengan manifestasi dalam bentuk kerja pribadi atau kelompok baru sebagai wadah pekerjaan.


Buku ini lahir dari upaya untuk memahami arti sebuah pekerjaan. Pekerjaan bisa dipahami sebagai pedoman hidup. Artinya, sebuah pekerjaan adalah manifestasi dari olahraga, olah rasa, dan olah jiwa manusia yang pada hakikatnya tercipta sebagai makhluk pekerja.


di resensi oleh Fuad Hasan,
Bergiat di Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Shop Class as Soulcraft: an Inquiry into The Value of Work
Penulis: Matthew B. Crawford
Penerbit: Penerbit Gemilang, Jakarta, 2012, 288 halaman


Alam Pikir Orang Kita

Aktivitas paling tidak di hargai di sini, salah satunya adalah berpikir. Maka jangan sekali-kali mempertontonkan hal itu di depan umum! Me...