Rabu, 01 Juni 2016

Humanisme; Manunggaling Kawula, Gusti!

Humanisme; Manunggaling Kawula, Gusti!

Malam enam hari menjelang Bulan Ramadhan 1437 H, saya melekan sampai pagi. “Melekan” arti terbatasnya yakni terjaga dengan mata terbuka. Makna luasnya adalah terjaganya mata hati, tidak tidur lahir batin, dan waskita diri memandang dengan mata alam semesta untuk melihat fenomena-fenomena serta problematika yang (akan) terjadi pada keadaan dunia.

Memandanglah mata saya pada lokus Indonesia, dan jadi merah panas mata ini. Betapa tidak, kasus demi kasus yang muncul ke permukaan dunia realitas nasional kita banyak dipenuhi kabar buruk, salah satunya degradasi moral. Seorang Anak SD diperkosa 21 pria, menyusul berita 2 minggu lusa pelajar SMP dicegat 16 lelaki, diperkosa dan dibunuh di tengah hutan. Pembunuhan sadistis Mr. Cangkul dan kasus pencabulan guru agama terhadap muridnya di sebuah SMA. Sungguh bergetar mata hati ini menyaksikan kemanusiaan kita telah jauh terperosok dalam alam mahkluk kebinatangan.

Lalu, sebenarnya apa yang menggelincirkan akal sehat kita sehingga jatuh moralitas dan keadaban kemanusiaan. Mungkin, karena keterlaluan melencengnya paradigma dalam kita melangkah, atau salah tingkah laku kita dari pakem normatif ajaran kebenaran agama. Atau versi ketiga, kita ini sudah sedemikian parahnya disesatkan oleh nafsu jahat di dalam diri kita sendiri.

Saya tunggu pendapat para ahli agama, ahli jiwa, ahli sosial, ahli budaya atau ahli apa saja untuk mengungkapkan akar masalah dan solusi kongkrit tentang persoalan kita ini. Kita benar-benar butuh obat manjur untuk penyakit yang sedang menggejala di sekujur tubuh bangsa. Pangkal bulu alis sebelah kanan saya sampai gatal. Kenapa tak kunjung para ahli itu “turun tangan” turut campur memberi solusi persoalan seradikal mungkin. Kebanyakan kita malah menampakkan diri dengan cara mengecam, mengutuk, membenci mereka (pelaku) untuk dihukum seberat-benarnya. Saya amat mengira, kalau hukuman kebiri atau tembak tepat di jantung pelaku tidak bakal efektif.

Persoalan moral kemanusiaan kita ini begitu akut, banyak sebab yang menjadi imbas anak-anak manusia kita kehilangan harkat kemanusiaannya. Saya ungkapkan kegelisahan ini untuk renungan kita semua, namun, sebelumnya mohon maaf bila yang saya ungkapkan masih kurang kuat: bahwa kita sebagai bangsa berketuhanan telah kalah oleh gerakan-gerakan demokrasi yang digerakkan oleh “sang maha uang”. Uang memaksa kita terbawa arus “ada uang ada tuhan”, artinya, “uang” menggiring manusia menuju menuhankan “uang” itu sendiri.

Katakanlah manifestasi “uang” itu adalah “kekuasaan”. Seorang yang memiliki “uang”, ia merasa bisa bangkit eksistensialisme-nya untuk menguasai sesuatu secara fisik. Ia seolah berkuasa membeli “buah di taman berpagar” atau bahkan bisa merampas dengan paksa “buah” itu dan melemparkan uang segepok sebagai penggantinya. “Uang” menjadi substansi materi telah berakibat pada manusia yang mengedepankan kepuasan fisik untuk sebatas kepuasan “yang tampak”. Di hadapan uang, sekarang manusia seperti benda yang bisa ditukar dengan harga. Dari “uang” tersebut membentuk bawah kesadaran tentang “dengan uang kita bisa membeli segalanya.” Inilah kesadaran palsu yang menghasilkan dehumanisasi di dunia sekarang.  

Terusan kompleksitas paradigma kita yang sulit lepas dari jerat benang kusut materialitas fisik, nyatanya nalar pikir kita juga semakin lapuk untuk kuat mencerdasi diri dengan ajaran agama. Maksud saya setiap ajaran agama pasti punya dasar menjunjung harkat kemanusiaan yang menjadikan manusia sebagai aspek utama dari segala macam kepentingan. Materialisme ternyata mambawa pada pendangkalan kecerdasan diri untuk menerima keluhuran dari norma ataupun nilai-nilai ajaran agama. Saat itu terjadi, hidup kita kehilangan kompas tujuan sehingga rusaklah arah diri karena rusaknya kemurnian pandangan hati. Destruksi materialisme fisik pada kebeningan dan ketenangan hati terdalam kemanusiaan kita, menjadikan kita semua tidak bisa menerima kecerdasan pembeda. Kita tak tahu lagi batasan mana yang baik dan mana yang buruk.

Kemungkinan ketiga penyebab degradasi moral kemanusiaan kita, barangkali karena telah begitu leluasanya elemen syaitoniyyah di jantung pusat kehidupan, menyebar ke seluruh aliran darah, mengisi sendi-sendi, memenuhi urat kesadaran kita hingga secara biologis kita terkendalikan untuk selalu berpikir dan berbuat buruk serta putusnya urat malu di seluruh lapisan kehidupan kita. Belum lagi, efek psikologis pengaruh syaitoniyyah yang nampak pada lemahnya keinginan berbuat baik, 
menipisnya kesabaran, dan hilangnya gairah untuk aktualisasi diri menuju rahmatan lil alamin.

Masih belum lengkap kiranya ungkapan di atas. Saya ingin menambahkan pemahaman untuk sisi konstruk ontologis kamanusiaan kita. Sebagai mahluk yang diciptakan dengan bentuk yang terbaik, tentu “dalaman” kita yang berwujud ruh dan jiwa sebagai penggerak itu secara kualitatif lebih baik daripada jasad fisikal. Karena itu, interelasi semua eleman yang “gaib” dan fisik akan mampu menembus pengetahuan tentang etika juga estetika. Kesadaran tertinggi adalah menjadi hamba Tuhan dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Kalau kita dapat menemukan inti kemanusiaan kita sebagai “abdul rahman” hamba Tuhan, setingkat kita akan naik derajat dan tugas menjadi “khalifah fil ardh” penjaga keseimbangan dengan muatan-muatan kesadaran atas dasar martabat kemanusiaan.

Dalam konteks rekonstruksi hakikat humanis, restui saya menambahi pada kalimat filosofis legendaris “manunggaling kawula gusti” sebagai aktivitas transenden dan pencapaian puncak spiritualitas, dengan tanda koma (,) dan seru (!). Tambahan ini akan secara total merubah maknanya.
Jadi, manungaling kawula, kita hidupkan dengan menyatunya seluruh pengakuan eksistensi kemanusiaan sebagai hamba kepada Gusti! dengan suka rela. Dan, implikasinya kita menjadi sadar, tidak pernah ada dan segala kepemilikan kita ini adalah sebab adanya sang Gusti. Cakrawala akal pikiran, samudera rasa hati dan batang tubuh wadak ini semuanya adalah dari Gusti. Kita sebagai manusia manunggal (berjamaah) dengan kerelaan berkumpul menyatu untuk saling belajar-mengajar, mengkritik dan menerima kritik, membangun- menguatkan, mangasihsayangi satu sama lain. Saling memperingatkan dari berbuat dosa, saling menjaga dari kesalahan, serta saling menyelamatkan dari ketersesatan untuk bersama-sama menuju Tuhan sebagai satu-satunya tempat kembali.

Bila krisis moralitas yang muncul di dunia berasal dari manusia, maka jalan keluar paling mungkin adalah mengembalikan manusia ke jalan kesejatiannya.

Alkanjawi, bertapa di sungai gajahwong, 01 juni 2016.


Tidak ada komentar:

Alam Pikir Orang Kita

Aktivitas paling tidak di hargai di sini, salah satunya adalah berpikir. Maka jangan sekali-kali mempertontonkan hal itu di depan umum! Me...