Selasa, 14 Maret 2017

MEMELUK GADIS PENDOSA



MEMELUK GADIS GADIS PENDOSA
By Alkanjawi
Pukul setengah dua dini hari, kita baru beranjak setelah sekitar sejam duduk-duduk sambil nyusu cokelat di Burjo Barokah. Bersama teman, Dulakim dan Dulkasep, kita mengobrolkan substansi suatu objek padat di seberang jalan kita minum. Terrace, sebuah tempat hiburan malam yang dini hari masih ramai pengunjung. Parkiran depan penuh walaupun mobil-mobil berdatangan silih berganti. Gedung besar itu memang kelihatan sepi dari luar, namun suara jedak-jeduk musik disko dari dalamnya amat terasa menggetarkan area sekitaran. 
Bukan tentang objek suatu tempat yang kita bicarakan, melainkan sedikit tentang hiburan, gaya hidup, dan orientasi individu yang akrab dengan dunia gemerlap di daerah Babarsari itu.  
Inilah bagian sisi kota Yogya, seperti kota-kota lain dimana terdapat kebiasaan adaptif membangun lokasi hiburan sebagai penyedia layanan kepuasan bagi para pekerja yang otaknya dipenuhi pikiran penat. Mereka menghibur diri dengan minum minuman keras, berjoget bebas untuk bisa “terbang” dan sejenak lepas dari jerat masalah. Di sisi lain, gadis-gadis muda seumur 20-an yang bersih, wangi dan penampilan cantik berpakaian seksi menjadi pramuhibur bagi kalangan yang haus hiburan itu. Tak bisa dipungkiri, gadis-gadis muda itu so happy karena terlanjur tahu bagaimana mendapatkan keuntungan finansial dengan mudah. Kemolekan tubuh mereka masih dihargai cukup mahal oleh industri hiburan.  
Kita sambil ngobrol mulai memperhatikan para gadis yang keluar dari diskotik. Kita sengaja menaruh perhatian karena anak-anak gadis setelah keluar kemudian mereka berjalan menuju ke ruangan burjo tempat kita kongkow. Mereka nampak capek tapi sibuk memeriksa smartphome sambil minum es soda dan ngobrol ditemani cowok seusia. Saya lihat cowok-cowok itu bukan dari dalam Terrace, mereka memakai jaket agak tebal. Saya menduga cowok-cowok ini pacar mereka, atau jika tidak, anak-anak gadis itu adalah mahasiswi, dan teman-teman cowok itu mungkin sekedar teman kuliah yang menjemput mereka sepulang kerja part-time.
Dulakim teman saya berkata lirih: “saya kasihan dengan mereka” katanya sambil bibirnya menunjuk ke arah gadis-gadis cantik itu. “kenapa bang”. Sahut saya. Dia memandang kalau anak-anak gadis itu kerja part-time sebab mereka membutuhkan uang untuk beli keperluan-keperluan mewah. Semua itu untuk memperlihatkan hidup yang bergaya. Mereka malu atau tidak berani minta kepada orang tua dan terpaksa kerja paruh waktu untuk mendapat honor yang cukup besar. Sebagaimana pengalaman teman saya, untuk ukuran tempat hiburan tersebut, kira-kira gadis-gadis itu satu jam dapatlah kalau 500 ribu.
“Kasihannya kenapa bang?” kejar saya. Ia menjelaskan: Ya itukan kalau mereka masih muda. Masih laku kalau tubuhnya masih kencang, kulitnya masih mulus, kalau menggoda masih menggairahkan. Coba kalau nanti sudah usia 35 atau 40 tahunan, kamu lihat wanita-wanita di Malioboro yang kakinya ada tato, atau wanita yang bahunya terbuka kalau berpakaian, itu yang mau sama mereka siapa? Kamu mau sama mereka?
Masuk akal juga penjelasannya. “saya sebenarnya tidak tega melihat mereka”. Tandasnya. Jikalau ada kesempatan, Dulakim ingin sekali menyelamatkan mereka dari dunia gelap. Coba pikirkan, mereka (gadis-gadis) itu pasti mau, bahkan sangat senang kalau ada laki-laki baik yang datang dan mengajaknya menikah, membimbing mereka meninggalkan kebiasaan buruk itu. Kalau nanti bersuami, pasti mereka maunya dapat yang baik-baik. Jika disuruh memlilih, mereka tidak akan mau kalau menikah dengan lelaki yang biasa berlangganan di situ.
Termanggut-manggut saya mendengar tuturan Dulakim. Tak terasa saya lihat gelas sudah sampai di pangkal dasarnya. Minuman sudah habis, sementara dahaga belum mau pisah dari tenggorokan. Maklum, sebelumnya kita menghabiskan dua jam melatih vokal dengan lagu-lagu rock melayu di tempat karoke Shangrilla di daerah yang sama. Dulkasep masih ah-oh. Ia kurang paham tentang bagaimana kerja malam di tempat hiburan. Namun, duduk-duduk di warung Burjo itu kiranya sudah lebih dari cukup sebagai hiburan tersendiri baginya karena sejak tadi mukanya kusut. Habis marahan sama pacar. Katanya.
Sampai tulisan ini diketik, saya belum bisa berhenti berpikir tentang anak-anak gadis di klabnight itu. Apa benar mereka bekerja karena terpaksa? Apa iya mereka bersedia lacur kepada orang-orang berduit supaya bisa dapat duit? Untuk apa diut itu? Lalu, siapakah yang tanggung jawab kepada mereka? Siapa yang bersedia mengentaskan mereka dari lahan yang basah akan dosa itu? Jika ini berlangsung terus-terusan, siapa yang mesti disalahkan? Runyam kan masalahnya!
Diskotik telah menjadi lokal kecil tempat sumber masalah yang pelik untuk dicari jalan keluar. Di Yogya ada ratusan jumlahnya. Ribuan banyanknya di Indonesia, dan jutaan lain tersebar di seluruh dunia. Seolah-olah tempat hiburan telah menjadi kebiasaan yang lazim dan lumrah di tengah masyarakat kota. Namun begitu, rasanya masih mengganjal di jalan nalar akal sehat saya; perbuatan yang mendewakan nafsu itu tidak pantas dilakukan oleh manusia.
Tidakkah anak-anak gadis itu tahu efek buram jangka panjang untuk dirinya, keluarga atau generasi yang mereka turunkan kelak? BIla tak ada yang memperingatkan mereka akan kebaikan di dalam tempat itu, maka rasanya sungguh layak berdosa setiap pejuang kebaikan dari agama manapun di kota ini. Lebih-lebih para pendeta, kiai, bikhu, atau orang-orang pendakwah suci dari LDII, HTI, NU, Muhammadiyah, kalangan sufi. Jikalau persoalan tentang gadis-gadis itu luput dari perhatian mereka, maka tamatlah riwayat saya. Loh, kok malah saya yang tamat? Saya ini kan bukan siapa-siapa!
 Oh God… Please help me.
“Sesungguhnya wanita-wanita yang baik-baik itu untuk laki-laki yang baik-baik.”
 Apakah ayat ini hendak menegaskan bahwa memang ada wanita yang dikuasai oleh nafsu sehingga ia memilih tunduk pada nafsunya sendiri dan ingkar kepada Allah. Ingkar yang artinya abai terhadap pesan-pesan kebaikan sehingga cahaya hidayah terhalang oleh gerhana egoisme nafsu. Jika itu terjadi, maka terjadilah. (mumet). Kalau memang persoalan gadis-gadis itu adalah bagian dari “kehendak,” mengapa hati saya tidak terima melihat mereka berada dalam kehancuran itu. Apakah ketidakterimaan hati saya ini sama dengan ketidakterimaan mereka menjalani nasib buruk sebagai manusia asusila?
 Ya Allah, jika Engkau mengutus saya “memeluk” gadis-gadis itu dengan kasih sayang sebagai manusia, maka perlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Mu. Sesungguhnya persolalan ini bukanlah hal yang ringan sehingga pikiran saya menjadi terbebani karenanya. Kalau saya memilih lari meninggalkan masalah ini, apakah sama halnya saya lari menuju membuat masalah dengan-Mu. Bila kelak di hari pembalasan, karena masalah ini Engkau memerintah malaikat mencegat saya di gerbang surga, maka saya tidak akan melakukan apapun selain menyerah dan tunduk kepada-Mu.
Shubuh, 14 March 2017.




posted by student

Tidak ada komentar:

Alam Pikir Orang Kita

Aktivitas paling tidak di hargai di sini, salah satunya adalah berpikir. Maka jangan sekali-kali mempertontonkan hal itu di depan umum! Me...