Jumat, 12 Februari 2016

Dari "JALAN MENEMBUS KEADILAN" sebuah prakata untuk antologi puisi Fuad Hasan


P
ertama kali, atas anugerah dan karunia Tuhan YME, puisi-puisi ini tercipta. Kedua, berdasar pada semangat dari dalam yang muncul secara tiba-tiba, kiranya telah memberi dorongan bagi saya untuk mengabadikan serpihan kenang-kenangan serta pengalaman yang melibatkan batin, dengan proses olah berpikir nan cukup jernih, – inilah puisi -. Hasil dari perenungan beragam pengalaman yang lahir saban hari di penghujung tahun 2015 hingga awal 2016. Bagi saya, rangkaian puisi-puisi terkumpul ini memiliki kesan dan makna sebagai catatan spesial proses pendewasaan jiwa dan personalitas kedirian saya secara pribadi.
Selanjutnya, dengan ini, keinginan hati saya telah terkabul sebagai usaha belajar mencoba mengumpul-satukan (mengamankan) karya puisi-puisi dalam sebuah naskah manuskrip. Saya bersyukur mulai sadar: rupanya cukup banyak tulisan-tulisan (baik artikel fiksi maupun non-fiksi) dalam bentuk file-file yang terpisah-pisah berserakan dan tidak tertata dengan semestinya, hingga ahirnya sering kali saya terlibat kesulitan untuk mene-mukan posisi tempat keberadaannya. Kondifikasi naskah puisi ini, adalah wujud karya dokumentasi, khususnya karya sastra saya agar dapat bernilai dengan adanya kemudahan untuk dibaca kembali oleh siapa saja.
Dalam pada naskah ini, saya menyusun puisi-puisi dengan latar antara lain; realita sosial dan budaya (bagian i), proses kratif diri (bagian ii), serta narasi kecil dari bilik hati (bagian iii). Problematika sosial serta dinamika budaya menjadi besar kuantitasnya, sehingga menjadi warna khas yang menarik untuk saya masukkan dalam lembaran-lembaran ini. Atas problem tersebut, saya majukan diri untuk mengungkap pesan makna dengan bahasa yang semurni-murninya. Melalui gaya bahasa puitikal ini, saya dedahkan ragam masalah realitas dengan bentuk puisi sebagai bungkus makna pesannya. Dengan begitu saya beharap puisi ini dapat menjadi sudut pandang tersendiri dalam membaca realita dan mengungkap kandungan makna di dalamnya sebagai upaya membuka celah kemungkinan menemukan jalan keluar dan solusi. Puisi-puisi ini, tanpa bermaksud jumawa, saya bilang sebagai karya sastera puisi terbaik saya.
Puisi dikata bagus yaitu; bilamana saya (atau orang lain sebagai pembaca) ketika membaca puisi tersebut akan merasa tergerak dan menemukan sudut pandang untuk berani melihat/ terjun ke dalam medan yang dihimpunnya. Setelah itu, pembaca ikut serta memahami, mengkaji, dan memikirkan medan apa yang ia temui dalam puisi itu. Apakah medan hukum, budaya, bahasa atau seni atau yang lain. Maka, dari pemahaman itu lahirlah upaya inisiasi menemukan solusi menurut yang dia mampu sesuai bidang berpikirnya. Itulah puisi yang menurut saya bagus, terlepas dari segi estetik, kejujuran dan jauh dari munafik sebagai karya sastera.
Tiga tema puisi yang saya masukkan dalam naskah manuskrip ini yakni, pertama ialah aku sebagai manusia dengan alam. ‘Aku’ sebagai saya personal yang terlibat dalam perputaran jagad semesta ini, terpancing untuk terjun mengamati perilaku korporat yang hendak menguasai kekayaan alam Indonesia. Dari situ, ada rasa tidak rela kalau-kalau alam Indonesia yang seharusnya digunakan oleh negara untuk kemakmuran rakyat malah dinikmati oleh sekelompok orang saja. Beberapa puisi di sini adalah kristal kekesalan saya pribadi atas ulah manu-sia yang dengan konspirasinya akan membawa dampak kerusakan alam permai Indonesia. Bila bahasa yang saya gunakan dalam puisi agak kasar, mungkin itu pengeja-wantahan ekspresi ketidakterimaan yang sangat keras.
Kedua, mengenai keprihatinan pribadi atas gejolak batin. Terkadang saya sebut sebagai pergolakan jiwa. Berbagai masalah kerap kali timbul dan menyebabkan gelisah yang tak berkesudahan dalam batin. Utamanya terkait perang ego dengan hati nurani. Suara-suara di dalam jiwa terdengar bagai lonceng yang bersahutan dan sangat bising mengganggu ketenangan hati. Perdebatan demi perdebatan antara suara hati dan ego inilah dinamo yang memutar pikiran saya untuk tidak bisa diam. Segala sesuatu, (bahkan hanya sebatas bayang­) pasti tertangkap percakapan dan berlanjut pada perdebatan yang sengit. Meski melelahkan tapi saya akui hal itu membuat rindu.
Tema bagian tiga adalah tentang luapan eskpresi asmara ‘Aku’ sebagai seorang pemuda yang normal. Posisi ‘Aku’ sebagai sudut pandang pertama; berusaha sebebas-bebasnya mengungkapkan pengalaman perasaan berwarna warni terhadap perempuan. Lebih tepatnya bayangan seorang perempuan. Ini puisi romantik saya masukkan di sini hanya sebagai komplemen. Versi utuh ‘Puisi Romantis’ yang juga deras mengalir selama kurun musim hujan, saya bikin tersendiri dengan judul "Lirikan Hati". Bila lancar, insyaallah terbit pula tahun ini.
Barangkali inilah prakata saya sampaikan. Semoga bisa sedikit membuka daun pintu depan untuk sekalian pembaca memasuki ruang puisi-puisi yang tersusun sederhana dalam buku ini. Selamat membaca!





Fuad Hasan

Yk, Februari 2016

Tidak ada komentar:

Alam Pikir Orang Kita

Aktivitas paling tidak di hargai di sini, salah satunya adalah berpikir. Maka jangan sekali-kali mempertontonkan hal itu di depan umum! Me...