Kamis, 02 Juni 2016

Jangan Senang Ditolong!

Jangan Senang Ditolong!

Hendaknya saat meminta pertolongan, perhatikanlah sebelumnya tentang seberapa kadar kelemahan diri kita untuk menerima ukuran pertolongan.

Sebenarnya maksud saya mengenai ukuran itu, ada hubungannya dengan sifat kata kerja “tolong” yang berlaku tanpa batas. Bila pada hari ini Anda ditolong oleh seseorang (yang entah kenal atau asing), bisa jadi pertolongan itu akan terulang kembali karena Anda terulang pada poisi butuh pertolongan. Begitu juga dalam hubungan Anda sebagai pemberi pertolongan. Pada masa depan yang lain, Anda akan mempoisikan tangan diatas sebagai penyelamat tangan-tangan lemah yang sedang berada di bawah. Perlu diingat, prinsip dalam ukuran tolong menolong adalah kesesuaian atau kesepadanan. Kelebihan walau hanya sedikit akan ada perhitungannya sendiri.

Kenapa harus tepat? Sebenarnya orang butuh ditolong karena terkait kadar waktu atau kekurangan yang ia sedang dialami. Begitu pula sebaliknya bagi penolong. Pagi-pagi, seorang tukang ojek di desa pinggiran berangkat ke pasar untuk narik pelanggan. Sebelum sampai di lokasi pelanggan pertamanya, tiba-tiba di tengah perjalanan ban motornya bocor. Dengan terpaksa ia harus turun dan menemukan tukang tambal ban. Ia gelisah sebab tidak membawa bekal uang yang cukup untuk keperluan memperbaiki motor. Tukang ojek tidak mau merepotkan orang lain. Setelah berjalan dan ahitnya ketemu dengan tukang tambal, ia hanya mampu membayar dengan jumlah uang separuh dari tagihan. Ia meminta tolong supaya kekurangan tagihan itu bisa dibayarkan nanti kalau sudah dapat rejeki. Sang tukang tambal rupanya baik hati dengan berkata: Ambil dulu uang itu, bayarlah nanti setelah kamu ada uang.

Begitu gembira hati tukang ojek. Sedangkan tukang tambal ban memang suka menolong dan terbiasa ikhlas.

Ada sebuah kelegaan hati yang kemudian mengakibatkan sepanjang hari tukang ojek bisa bersyukur, padahal di awal pagi sudah diuji dengan musibah ban motonya bocor. Kebaikan yang ditunjukkan tukang tambal membuat tukang ojek menjadi berbaik prasangka, begitu juga perasaan dan sikapnya terhadap semua orang hari itu. Tukang ojek sadar akan kewajibannya untuk membayar bilamana ia sudah mendapatkan cukup uang dari hasil kerjanya hari ini. Selain mengucapkan terimakasih kepada tukang tambal ban, ia juga mengucapkan terimakasih pada setiap pelanggan. Lebih dari itu, ia bisa mensyukuri dirinya secara lebih dalam; bersyukur musibah hanya berupa ban bocor, bukan putus rem atau ditabrak kendaraan lain.

Memang wajar bila orang merasa senang kalau menerima pertolongan. Tidak wajarnya apabila terkena musibah dan sangat butuh pertolongan, tetapi ketika ada yang mengulurkan tangan, ia menolak untuk menerima pertolongan itu. Ini mungkin berkaitan dengan prinsip. Tapi, nalar sehat kita semua tentu paham kalau prinsip semacam itu sulit untuk diterima logika umum. Saya sendiri, sungguh belum mampu untuk menolak pertolongan siapa saja di saat sedang butuh.

Timbangan
Kehidupan kita sekarang sedang menjumpai iklim yang bawaannya orang lebih mudah untuk meminta daripada memberi. Orang lebih gampang minta tolong, mengandalkan orang lain daripada memilih menyelesaikan permasalahhan (tanggung jawab) dengan bersikap tangguh dan sportif. Mudahnya memperoleh segala macam kebutuhan dan jalan yang semakin terbuka menjadikan mental kita lembek, manja dan ingin dituruti semua kemauan yang kita miliki. Dengan sikap yang demikian itu, perkembangan jiwa dan kekuatan raga akan menurun. Terlebih ketajaman kognitif dan sensitivitas emosional sudah barang tentu menyusut secara drastis.

Ketergantungan dan terus menerus mengandalkan orang lain secara mental ini membahayakan diri. Harap anda tahu, bahwa potensi setiap manusia untuk berani dan menjadi problem solver adalah bagian kekayaan pikiran yang tak terhingga nilainya. Apabila Anda tidak juga segera mengenali potensi itu, dan berlagak bodoh untuk bersedia mengoptimalkannya, maka di lain sisi Anda otomatis telah menelantarkan dan mengarahkan mental ke poisi lumpuh. Dalam kelumpuhan, mental Anda bukan lagi “kritis”, tetapi sudah sampai pada lapis “pematian” atas potensi kemanusiaan. Anda tidak akan bisa melakukan atau menghadapi sesuatu secara merdeka. Saya kira, tiada yang lebih membosankan menghadapi hidup (sekarang atau hari esok) ketika banyak jerat yang melilit dada dan hak atas nafas kebebasan kita.

Seandainya, dalam kaitannya sistem mobilisasi yang kita lakukan untuk membangun bangsa seperti sikap tukang ojek di atas, kemungkinan besar macam-macam keruwetan akibat tradisi manja pemerintah dan sikap miskin kongklomerasi akan bisa kita atasi. Pemerintah kita yang terjebak halusinasi dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar merasa nyaman dengan mental “kere”, hingga berakibat pada sikap selalu butuh pertolongan dan senang menerima “bantuan” dari negara lain, akan bisa kita dihindarkan. Elit politik kita terlalu dekat pada kekuasaan sehingga ingin mengeruk sebanyak-banyaknya keuntungan, akan bisa kita netralkan untuk kepentingan nasional kita.

Atau, jangan-jangan semakin tinggi kedudukan struktural seseorang, ia akan semakin senang untuk ditolong?

Alkanjawi, juni 03, 2016.





post by studen

Tidak ada komentar:

Alam Pikir Orang Kita

Aktivitas paling tidak di hargai di sini, salah satunya adalah berpikir. Maka jangan sekali-kali mempertontonkan hal itu di depan umum! Me...