Kamis, 18 Februari 2016

Membaca “Indonesia Bagian Dari Desa Saya”

Membaca “Indonesia Bagian Dari Desa Saya”
Alkanjawi


Sore tadi bila tak mendung senja pastilah indah. Tapi hujan, yang tergerai dari awan gelap begitu derasnya membasahi bumi. Kampus timur, sepanjang jalan dari Pustaka Fatin, saya pinjam sebuah buku karya Emha. “Indonesia Bagian Dari Desa Saya”. Saya sampaikan diri menerjang basah untuk kuasa duduk di bangku tempat parkiran Kampus timur. Persis di belakang panggung demokrasi. Lebatnya hujan membasahi setiap jengkal peristiwa. Saya mulai membuka buku itu tanpa ragu. Segera ingin memuaskan rasa ingin tahu, apa yang akan dibicarakan Emha. Seperti apa logikanya. Dan, muatan-muatan apa yang berserakan di dalam setiap helai lembaran dari buku terbitan kompas itu.
Jauh di atas sana langit gelap. Suara geledek seolah membuat atap langit retak. Seolah saya menjadi terancam, apakah yang saya baca ini bagian dari bacaan “terlaknat” sehingga langit tidak rela dan mengutus halilintar untuk segera menyambar saya yang sedang membaca. Tapi alhamdulillah, itu tidak terjadi. Di bilik kecil suara hati berbisik pelan sekali. Ia berkata: suara gemuruh di langit itu bukan ancaman yang menakuti setiap bulu kuduk di tengkuk yang menyangga kehidupanmu. Itu adalah suara musik, drum yang dipukul, perkusi yang ditalu, kendang yang ditabuh, dan semua alat musik yang dibunyikan oleh kegembiraan penghuni langit karena menyambutmu sebagai pembaca. Subhanallah, maka saya tertunduk sejenak. Tuhan berilah mereka ketabahan menerima karuniamu yang berbentuk gelegar menyertai hujan. Walaupun nampak mengerikan suaranya, mendebarkan lecutan kilat petirnya, dan mengagetkan suara dentumannya, tapi itu adalah karuniamu atas indera kami yang masih berfungsi dengan baik. Tuhan, dengan itu semua, arahkanlah kami untuk bersyukur.
Aku baca basmalah. Menyebut sang maha pemurah dan penyayang. Romo Mangun memberi prakata untuk buku itu. Romo Mangun Wijaya, jujur sekali dalam tulisannya itu benar-benar mengantarkan segenap pembaca untuk tidak tersesat dan salah arah memandang belantara isinya. Romo Mangun membesarkan hati “calon pembaca” untuk melihat dengan skup luas setiap tulisan-tulisan yang murni tergurat dari kegelisahan seorang anak muda yang ingin memperlihatkan kepada sekalian pembaca tentang hal-hal remeh tapi sangat penuh makna. Kita dituntun untuk menghayati – minimal diri kita sendiri – atas fenomena perubahan sikap hidup masyarakat. Desa yang bukan sekedar bayangan di dalam sebuah negara, melainkan negara yang banyak mengintervensi atas desa dan segala lini yang menyertainya. Desa asal dari segala macam yang kita sebut sebagai Indonesia sekarang.
Tak diamlah halilintar sepanjang saya meniti kata demi kata Romo Mangun Wijaya itu. Bahkan suaranya terus menderu, mengiringi keramaian dalam pikiran saya yang diajak untuk bergejolak. Sebagai manusia, yang muda, yang harus gelisah, yang mesti kritis, yang tidak boleh lemah dan malas untuk mensiasati setiap kejadian untuk menggali hikmah sebanyak mungkin, semampu dan sekuat kita menemukan apa yang dapat diungkap sebagai kebaikan dan keindahan.
Desa era 70-an adalah desa yang desa. Maksudnya, desa seperti gambaran geografis dengan tanah sawah menghampar hijau dan rimbun pepohonan asri. Tak sekedar itu, desa era masa lalu itu membawa ciri khas sebuah kehidupan yang sarat akan keterbukaan, unggah ungguh, gotong-royong dsb. Tapi klise-nya, desa yang shot mudah terpantik oleh modernisme yang secara cepat menjadi kebudyaan baru. Kebudayaan montor, kebudayaan layar tancep dan lain sebagainya yang menunjukkan jumawanya keserbamewahan hidup. Benar kesebamewahan hidup ini menjadi salah satu pemantik segala macam problem yang menggejala luas di desa-desa lain. Emha memotret desa kelahirannya di Jombang Jawa Timur. Dan, tentu saja pembaca tidak akan terpaku pada sebuah desa di Jombang itu, melainkan seperti diantarkan untuk mengunjungi desa-desa lain dalam memori kehidupan kita masing-masing.  
Saya sendiri “mbrojol” ke dunia era 90-an. Sangat mungkin, era 90-an di desa saya itu seperti tahun 80-an di desa lain, atau era 70-an di desa yang lainnya. Desa saya itu jauh cukup terpencil. Proses modernisasi di desa dengan datangnya alat-alat pelengkap modernisasi itu baru menggejala setelah saya bisa mencium bau asap knalpot dari speda motor satu-satunya di desa. “Semacam bau asing yang menawarkan impian dan kemajuan.” Saya melihat dengan jelas – gambar-gambar hidup di televisi yang hanya ada 3 biji di rumah-rumah tertentu– yang menakjubkan. Itulah modernisasi yang mempertontonkan keajaiban. Tapi di satu sisi lainnya, betapa modernisasi dengan alat-alat canggih itu sedemikian merusaknya bagi tatanan sistem budaya yang sejak ratusan tahun dijaga ketat oleh desa.
Apa yang mengerikan? Perubahan! Masyarakat desa kolektif menerima paradigma modernisme tanpa tendeng aling-aling. Sebagian kecil masyarakat tetap berpegang pada jiwa adiluhung dan normatika yang tidak nampak yang hidupnya ada dalam batin yang diyakini. Lama berlalu lama, modernisme dengan kenyataan yang ditawarkannya itu sedikit banyak mengisi ruang keyakinan dan menggeser jiwa adiluhung yang amat dijaganya dahulu. Perubahan banyak menghilangkan inti desa. Dan, tanpa banyak disadari karena desa telah kehilangan suatu pegangan prinsip, maka terjadilah kekacauan sistem budaya dan tradisi yang dianggap menjadi kaku oleh masyarakatnya sendiri.
Tentu saja ini akibat sistemik. Akibat dalam praktiknya lebih amat mengerikan. Modernisasi dalam sistem pemerintahan, sejak masyarakat dikenalkan pada pemilu, umpamanya, praktis sistem menjadi terkotak-kota dan tidak jarang ada yang terpecah belah. Watak desa yang keras dan cenderung bersikeras bertandang cepat, pemilu berdampak sengketa, sentimen, dan konflik yang menyisakan pilu. Terlebih, umat menjadi juga terbelah sebab diam-diam digerakkan oleh kepentingan politik. Secara tidak sadar ini terjadi ketika praktik solat hari raya, satu kelompok masyarakat memilih berjamaah di lapangan, satunya lagi di masjid. Bukan masjid tidak muat kantetapi umat sengaja dihimpun oleh individu tertentu untuk menambah kuantitas sebuah harga tertentu pula.
Banyak sekali gambaran-gambaran tentang kehidupan masyarakat kita yang dituliskan Emha kini seperti tidak berubah dari pertumbuhan desa. Bahkan kita seringkali lihat akibat modernisme itu desa semakin acak-acakan. Kita tahu masyarakat sampai hari ini tidak berhenti berlomba-lomba menumpuk lumbung materi, meningkatkan gaya hidup, meghimpun segala kemampuan untuk memperkaya diri dan untuk terlihat semakin megah. Kita tahu di setiap rumah sekarang dilengkapi ruang parkir kendaraan, rumah berwajah kaca, berlantai mengkilap. Hanya sebagian yang menjadi pemenang itu senang membanggakan diri dengan cara demikian. Kaum lain dalam ekosistem menjadi tumbal sejarah dengan menjangkit sakit hati berada dalam kemiskinan dan kemelaratan.
Helilintar berlomba-lomba lagi menyambar kesadaran. Kini di desa kita rasakan, sangat jarang orang beristighfar di surau atau langgar-langgar di pinggiran kali. Suara-suara pujian kepada Tuhan semakin lirih, suara salawatan semakin jarang digantikan riuh ramai sound sistem dan kaset-kaset seharga 15 ribuan. Betapa masyarakat kita lebih ringan tangan mengeluarkan uang sedikit untuk “membayar” nilai-nilai yang luhur adiluhung itu. Sedang hujan senja membawaku terseret arus dan tenggelam pada pikiran untuk berteriak-teriak: “haiii Halilintar! hebat nian menyambar udara di langit yang gelap pekat.” Entah gelegar itu suara kegembiraan penghuni langit atau kekecewaan yang mulai menebal pada awan yang menjadikannya gemuruh.


Yk, 19 February 2016


studen.

Tidak ada komentar:

Alam Pikir Orang Kita

Aktivitas paling tidak di hargai di sini, salah satunya adalah berpikir. Maka jangan sekali-kali mempertontonkan hal itu di depan umum! Me...