Senin, 06 Juni 2016

Ucapan Terima Kasih

Ucapan Terima Kasih
by Alkanjawi

Tanggal 1 awal ramadan 1437 H, secara personal saya berkali-kali mengucapkan terima kasih untuk tiga hal: kesempatan berpuasa di hari pertama bulan mulia, kedatangan sakit, dan hujan lebat waktu berbuka untuk daerah saya tinggal.

Mengenai ilmu terima kasih, saya tergolong orang yang masih dangkal pemahamannya. Namun begitu, tak pantang untuk surut belajar mengucap kata terima kasih secara terang-terangan dengan lisan dan hati mencoba untuk tulus. Kenapa mesti berterimakasih? Setahu saya, terima kasih adalah satu dari dua inti ajaran keselamatan bagi semua agama, terlebih Islam. kita perlu terima kasih karena apapun yang menjadi bagian fungsional dan struktural pembentuk kemanusiaan kita, semuanya adalah pemberian Allah. Lebih mendasar dari itu, makanan dan minuman yang tersedia sebagai hidangan, sehingga bisa kita konsumsi untuk penghasil energi, tiada lain kecuali semua itu diberi oleh Allah. Tanpa segala macam pemberian itu, kita takkan pernah bisa dan jadi apa-apa.

Lalu kata Allah “wasykuruu lillah” kepada semua manusia, itu merupakan perintah yang nyata untuk senantiasa kita berterimakasih. Seterusnya dari berterimakasih, ekspektasinya adalah kita menjadi ingat kalau kita ini sebenarnya bukanlah siapa-siapa dan tidak punya hak atas apa-apa kecuali “sesuatu” yang semuanya dimiliki Allah. Setelah bisa berterima kasih, kita akan bisa legawa menerima aturan-aturan, yang dengan itu kita dilindungi, diarahkan, dan dijaga oleh Allah untuk kemudian kepadanya kita semua kembali dengan keadaan baik. 

Kata terima kasih berlaku universal untuk apa saja. Tetapi, yang paling tinggi derajat dan hubungan terima kasih hanyalah kepada Allah. Maksud saya, ucapan terima kasih pasti ada sangkut pautnya dengan Allah dan menjadi dasar konteks perlakukannya kepada kita. Dalam sejarah bangsa yang dimenangkan, adalah bangsa yang pandai dalam mensyukuri nikmat apapun, termasuk keadaan itu nampak buruk di sebagian mata manusia. Raja Sulaiman putra Daud yang sukses dengan ilmu pengetahuan dapat membangun kerajaan dan bangsa hingga disegani bangsa lain, pada posisinya sebagai hamba, ia mengembalikan segala sesuatu yang dimilikinya dengan berkata “apakah dengan kejayaan ini akan semakin membuatku kufur ataukah syukur”. Sulaiman bertanya pada eksistensi terdalamnya, dan jawaban yang alamiah mengemuka adalah Sulaiman mampu mensyukuri dengan mengakui bahwa semua itu merupakan pemberian Allah yang harus disyukuri.

Beda halnya pada sikap manusia di sisi lain, yang misalnya dengan karakter angkuh dan tidak kenal kata terima kasih. Dalam cerita sejarah, sebutlah Fira’un. tokoh terbesar yang menguasai seluruh dataran Mesir zaman kuno. Keangkukan itu menghalangi Fira’un dan manusia pengikutnya untuk rendah hati, untuk syukur dan mengakui diri sebagai ciptaan yang lemah. Balasan lisan yang tidak pernah mengatakan terima kasih ialah ia akan dilumat oleh semua kehendak yang tak pernah terucap namun akan tiba-tiba meledak di dalam jantung dirinya sendiri. Kenyataanya, Musa bukanlah orang yang datang dari kerajaan luar melawan Fira’un, melainkan seorang anak yang dibesarkan, diajar strategi, dan dilatih taktik berperang di lingkungan kerajaan sendiri. Dan, memang seringkali kerusakan, kekacauan, dan kehancuran segala sesuatu yang merasa besar nan tak tertandingi justru penghancurnya adalah sesuatu yang berasal dari dalam sendiri.

Memang pada dasarnya sikap terima kasih berkorelasi dengan sikap rendah hati. Bagi kita yang membiasakan diri muhasabah, instrospeksi, menilai, dan menimbang kebaikan dan keburukan diri, kita akan tahu kadar ukuran kita untuk menjadi yang nriman atau yang mbangkang. Namun, bilamana orientasi dalam kehidupan yang kita jalani bukan berdasarkan kadar kemanusiaan kita, yang terjadi adalah kita semakin bodoh dan “dilupakan” untuk menapaki tangga kederajatan yang lebih tinggi sebagai manusia.

Bodoh dan pelupa bukan warisan gen seutuhnya. Manusia menjadi bodoh atau pelupa lebih pada ketidakmampuan mereka dalam mengelola diri, ruang, dan waktu yang semua itu dipasrahkan kepada manusia sebagai faktor penunjang kemuliaan derajat di hadapan Allah. Manusia yang tidak mengerti apalagi mengamalkan syukur, ia akan lebih pada ketergantungan eksternal dan mengabaikan potensi diri yang sebenarnya sama. Peran Allah menjelma pada fungsi alamiah yang bisa kita arahkan untuk kebaikan. Sesungguhnya memang begitulah salah satu cara Allah mengenalkan diri untuk dikagumi oleh akal dan perasaan manusia sehingga mereka menemukan kesejatian eksistensial.

Konsekuensi apabila manusia tidak bersyukur, ia tidak akan menemukan kebenaran di masa sekarang dan dilewatkan untuk urusan penting di masa depan. Sekedar perumpamaan, saat Anda butuh tenaga untuk membenahi atap rumah yang bocor, dan misalnya tetangga Anda, Tarji, ia berkata “Saya panggilkan Pak Karjo saja”. Datanglah Pak Karjo, ia membenahi atap rumah Anda yang bocor. Setelah dapat “imbalan” dari Anda, pak Karjo tidak berterimakasih pada Tarji yang memanggilnya, maka yang terjadi adalah putusnya “tali rizki” yang terhubung antara Pak Karjo, Tarji, dan Allah sebagai perantara hubungan mereka. Bila nanti kejadian serupa terulang, Pak Karjo akan dilupakan Tarji untuk urusan yang lebih penting. Tarji secara alamiah akan menunjuk orang lain untuk dihubungkan dengan kerja dan rizki yang berkaitan dengan Allah.

Hari ini, dalam satu waktu tiba-tiba menyeruak suara batin saya untuk mengucap syukur pada Allah. Saya harap Anda memahami trifakta yang membuat saya berterimakasih: puasa, sakit dan hujan.


Pedak Baru, Bantul, 6 June 2016.




post by student 






Tidak ada komentar:

Alam Pikir Orang Kita

Aktivitas paling tidak di hargai di sini, salah satunya adalah berpikir. Maka jangan sekali-kali mempertontonkan hal itu di depan umum! Me...